"Ayo ditelan makanannya! Jadi laki-laki jangan menyusahkan!"
Nyonya Arini masih terus menjajalkan bubur ke mulut suaminya, bahkan memencet hidung pria itu agar mau menelan makanannya.
Lalu tatapan Nyonya Arini berganti pada Tumini yang menundukkan kepala. "Tum! Suap sampai habis. Awas kalau tidak habis! Saya potong gaji kamu! Omong-omong, kamu belum dapat gantinya Jumiati?"
"Ngampunten, Nyonya. Belum. Jumiati yang hilang tiba-tiba dan tidak ada kabarnya sampai sekarang, membuat orang-orang takut kerja di sini."
"Memangnya kamu tidak cerita ke orang-orang kalau Jumiati minggat sama selingkuhannya?!"
"Sudah Nyonya." Tumini semakin membungkukkan punggungnya, agak takut menyampaikan kabar tak sedap selanjutnya. "Tapi ... banyak yang meragukan karena Jumiati tidak pernah terlihat punya selingkuhan selama ini. Yang orang-orang tahu, Jumiati pagi itu masih datang ke sini untuk mengurus Tuan Ario."
"Ya sudah! Selesai menyuapi Tuan, kamu balik lagi ke dapur. Tadi bagian dapur bilang kekurangan tenaga. Buat persiapan besok, jangan sampai ada yang kurang. Saya tidak mau keluarga Mas Ario berkata yang tidak enak didengar tentang jamuan di rumah ini."
"Njihh ... Nyonya ...!" Perlahan Tumini menegakkan punggung, lega majikannya itu tak marah kepadanya. "Tapi ... berarti saya tidak jadi melap badan Tuan kalau begitu?"
"Duhh ...!" Nyonya Arini menghela napas sembari menangkup dahi. "Sudah biarkan saja, tidak usah dilap dulu. Sana, suapi lagi. Terus kamu bantu bagian dapur, yo!"
Sementara Tini yang memperhatikan majikannya sedari tadi lantas bergegas mundur dari pintu saat Nyonya Arini membalik badan dan berjalan cepat ke arahnya.
Tini pun duduk bersimpuh di lantai sembari melipat pakaiannya, berpura tak menyaksikan apa yang diperbuat majikan barunya itu.
"Ayo Tini, ikut saya!" seru Nyonya Arini begitu keluar dari pintu.
Tini pun bergegas mengekor, mengikuti Nyonya Arini yang berjalan tergesa. Sampai tapak kaki mereka tiba di kamar mandi dekat dapur.
"Kamu mandi! Di dalam sudah disiapkan air kembang. Sebelum mandi, Gosok badan kamu pakai lulur yang sudah disediakan. Setelah itu, berpakaian yang rapi dan temui saya di ruang tamu. Mengerti!"
"Njihh ... Nyonya!" jawab Tini dengan dada semakin berdebar.
Ternyata keanehan Nyonya Arini yang sedang hangat diperbincangkan di kampungnya, benar adanya, pikir Tini.
Kakinya pun ragu-ragu memasuki kamar mandi yang baginya terlalu mewah untuk seorang pembantu. Bahkan pakaian pun telah disiapkan, terlipat rapi.
Namun terlepas kemewahan yang didapatnya, tetap saja itu tak mampu mengusir rasa was-was yang masih menggelayuti.
Tak ingin berlarut-larut dengan perasaan aneh yang tak dimengertinya, Tini cepat-cepat menghampiri piring dari tanah liat yang dipenuhi lulur dengan wangi semerbak.
"Ini orang mau nikah apa mau kerja? Masak sampai harus luluran segala?" gumam Tini sembari mengamati tekstur lulur yang tidak terlalu halus ditumbuk.
Lalu diendus lengannya yang sesaat lalu diasapi oleh dupa, kulitnya bahkan telah wangi. "Duhh ... wanginya kok bikin merinding ya. Udah lah jangan dipikirin. Yang penting kerja kerja kerja."
Tini pun bergegas menggosok setiap jengkal kulitnya dengan lulur. Dalam keheningan ia seperti mendengar desisan lirih.
Perempuan yang sedang menggosok betis mulusnya itu sontak menegang, memandang sekeliling kamar mandi dengan waspada, namun ia tak mendapati hewan reptil di manapun.
"Ahh ... cuma salah denger."
Kemudian Tini yang kembali menggosok jari-jari kakinya terhenti saat merasakan sesuatu yang ringan menjatuhi kepalanya.
Tanpa berpikir aneh-aneh, ia menepis benda itu dari rambutnya, mengira itu hanya jaring laba-laba.
Namun Tini yang akhirnya selesai tanpa sengaja menginjak benda putih tipis yang semula dikiranya jaring laba-laba.
"Kok rasane aneh," gumam Tini dengan menggosok-gosokkan ibu jarinya pada benda putih tipis itu. "Tak kiro sawang."
Perempuan itu pun semakin menunduk dan menjumput helaian panjang yang sedikit hancur karena terinjak kakiknya.
"Lah da lahhh ...!" seru Tini sembari menyentak benda itu dari tangannya. "Kulit ulo ...!"
Lalu dengan menelan ludah kepalanya mendongak dan mendapati ular berukuran besar melilit di antara reng kayu atap rumah.
"Aaaaa ...!"
Tini pun memekik saat kepala ular itu menjulur ke bawah dengan tatapan mengerikan.
Tumini yang kebetulan sedang melintas area kamar mandi kemudian mencoba menggedor pintu jati kamar mandi.
"Tin ...! Tini ...! Ono opo?!"
Tini yang gemetaran lututnya karena melihat ular kemudian merangkak menuju pintu dan membuka slot kayu.
"U-ulo ... ono ulo ... Mbok De!"
"Sssstttt ...!" Tumini kemudian cepat-cepat membekap mulut Tini dan berbisik, "Diam Tin ...! Jangan ribut, Nyonya beberapa hari belakangan lagi seneng marah. Nanti kamu kena marah."
Lalu kepala perempuan itu melongok ke dalam kamar mandi dan mengamati setiap sudut bilik namun tidak mendapati apapun. "Mana ularnya, tidak ada gitu kok?"
"I-itu Mbok De, di atas sana!"
Dengan gemetaran Tini menunjuk reng atap kamar mandi, namun tak ada apapun di atas sana, bahkan nihil jaring laba-laba.
"Salah lihat kamu, nggak ada apa-apa di atas sana. Ayo berdiri!"
Tini pun mencoba berdiri dengan lututnya yang masih terasa lemas sembari membetulkan lilitan kain jariknya yang hampir melorot.
"Apalagi ini!" seru Nyonya Arini yang berjalan tergesa ke arah kamar mandi.
"Ini Nyonya, tadi si Tini kepleset," jawab Tumini cepat-cepat.
Pandangan mata Nyonya Arini seketika mengamati tangan Tini yang kebetulan sedang memijit lututnya yang masih gemetaran.
"Ya sudah. Jangan lama-lama, saya tunggu di ruang tamu!" ucap Nyonya Arini sambil lalu.
Kemudian saat punggung Nyonya Rini tak tampak lagi, Tumini bergegas menutup pintu kamar mandi.
"Mulai sekarang, kamu lihat apapun yang aneh di rumah ini, udah pura-pura aja nggak lihat," bisik Tumini dengan mengedarkan pandangannya ke seisi bilik tempat mandi. "Ini kan rumah tua, memang sesekali kelihatan yang aneh-aneh, Tin. Asalkan kamu kerja baik, nggak aneh-aneh, kamu nggak akan kenapa-napa. Lagian mau cari kerja di mana lagi kamu."
"Maksud Mbok De apa? Beneran tadi saya lihat ular, Mbok De. Saya malah kejatuhan kulitnya." Perempuan itu kemudian mencari-cari kulit kering tipis yang kini entah di mana, lenyap tak bersisa. "Lohh ... tadi ada kok di sini."
"Tuh ... kan! Paling-paling kamu cuma kebawa cerita-cerita di luar sana soal Nyonya Arini, jadi kamu bawaannya ketakutan di sini. Pokoknya pesen Mbok De, diam Tin, pura-pura nggak lihat. Apa yang kamu lihat seaneh apapun itu jangan diceritain ke siapa-siapa. Ngerti?"
Alis Tini pun semakin berkerut mendengar itu. "Lah kalau lihat betulan, mana bisa pura-pura nggak lihat, Mbok De. Kalau kita lihat ular mosok yo kita diam aja. Nanti ulernya gigit gimana?"
"Udah, pokoknya. Inget pesen Mbok De. Pura-pura aja nggak lihat. Kamu nggak akan diapa-apain. Kerja yang bener. Udah cepetan sana mandinya!"
Tini yang bingung pun hanya bisa memandang punggung Tumini yang menuju pintu kamar mandi.
Ia masih bingung dengan apa yang dikatakan perempuan itu. Seakan-akan Tumini sudah sangat akrab dengan keganjilan apa yang sedang terjadi di rumah itu.
"Jadi ular yang saya lihat tadi betulan yo, Mbok De?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Garbhini: Ibu Susu untuk Bayi Gaib
Misteri / ThrillerTini baru menginjak 19 tahun saat ia harus menjadi tulang punggung keluarga dan menjadi ibu tunggal karena dinodai majikan sebelumnya. Perempuan itu kemudian melamar pekerjaan sebagai pengasuh bayi di keluarga misterius paling kaya di desanya, di m...