3. Ruang Bimbingan Konseling

11 1 0
                                    

—Happy Reading—

*****

Suara papan ketik yang ditekan terlalu keras mengisi ruang kelas yang tadinya hening. Kelas XI IPA 1 sepi karena bel istirahat berbunyi 10 menit yang lalu. Siswa-siswi sibuk mengantre di kantin, kecuali Ayra dan ketiga sahabat tercintanya.

Ayra dengan serius melihat sesuatu di layar laptop yang Rinai tunjukkan padanya. Sementara Nabila menyilangkan tangan di depan dada seraya memikirkan sesuatu.

"Ada 8 anak yang keluar dari sekolah selama 2 tahun ini. Dua di drop out karena pelanggaran tertentu. Terus 2 siswi dikeluarin dari sekolah karena kena kasus. Katanya sih... hamil di luar nikah. Yang empatnya pindah sekolah tanpa alasan, dan mereka cewek." Rinai memberikan penjelasan tentang apa yang ia temui dengan lancar dan tenang.

"Kira-kira yang 4 siswi itu pindah kenapa, ya?" tanya Nada.

Rinai menopang dagu dengan kedua lengannya. "Kebanyakan bilang karena bullying, tapi kemungkinan besar ada yang kasusnya sama kayak Haura."

"Apa mungkin... pelakunya sama?" sahut Nabila.

Ayra mengerutkan dahi, sedikit kurang setuju dengan ucapan Nabila. "Bisa aja beda, kan? Ya... cowok yang brengsek kan nggak cuma satu di sini."

Rinai mengangguk setuju. Tangannya mengambil alih laptop dari hadapan Ayra. "Ini sebagai gambaran aja. Gue nggak tau pelaku kasusnya Haura mungkin bisa aja sama dengan pelaku kasus yang dulu. Bisa aja Haura bukan yang pertama jadi korbannya," ujarnya.

Ayra menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Pikirannya terbagi ke banyak hal sekarang. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang muncul. Namun tekadnya tetap sama, mengungkap pelaku kasus pelecehan Haura Athaya.

Sesaat hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Bersamaan dengan otak 4 orang di dalam ruangan yang sama-sama berpikir keras tentang tindakan apa yang harus mereka ambil.

"Bu Arunika," Ayra tiba-tiba menyeletuk.

Yang lain menoleh. Sama-sama mengangkat alis dan melempar tatapan bertanya.

"Bu Arunika?"

Ayra menganggukkan kepalanya. "Iya, Bu Arunika kan guru BK yang lumayan baik sama kita. Mungkin gue bisa bicara sama dia. Dia pasti tau tentang kasus yang dialami anak-anak. Gue juga mau tanya gimana waktu Haura speak up, kenapa sekolah nggak ngelakuin tindakan apapun sampai sekarang? Sekalian, gue mau tanya pendapat dia tentang... tersangka? Semoga aja dia mau jawab," ucapnya panjang lebar.

"Boleh, tapi jangan sampai ketahuan siapapun kalo lo komunikasi sama Bu Arunika," sahut Rinai.

Nabila mengetuk meja dengan jemarinya, kemudian menganggukkan kepala. "Gue setuju, tapi jangan sampai Bu Arunika tau kalo lo curiga sama salah satu anak emas SMANLA."

"Gue ikut, ya?" pinta Nada.

Ayra menggeleng pelan. "Gue sendirian aja nggak papa. Gue tau lo lagi nggak boleh pergi lama-lama sama Tante lo. Selesein dulu masalah lo di rumah, Nad."

Ayra kemudian menatap mata Rinai dan Nabila. Seolah tahu apa yang akan mereka katakan, Ayra tersenyum tipis. "Kalian juga nggak usah, deh. Nabil mau beli buku kan rencananya? Rinai juga mau ke makam sama Papa lo kan?"

Ayra bahkan hafal jadwal sehari-hari yang sahabatnya miliki. Ia ingat rencana yang mereka katakan sebelumnya. Ia juga tahu dan paham masalah apa yang sedang dialami oleh mereka.

"Gue bisa besok aja beli bukunya," Nabila menyaut.

Arya terkekeh pelan dengan ekspresi mengejek. "Selain beli buku lo juga punya agenda lain kalo lo lupa. Mending lo belajar, atau apa kek di rumah," Ayra menunjuk lengan Nabila yang terdapat bekas luka yang belum benar-benar kering. Tadinya lengan itu ditutupi oleh cardigan hitam yang gadis itu pakai. "Gue nggak mau lo dimarahin, lagi."

School Case & Direct Message Where stories live. Discover now