Episode 8

1 0 0
                                    

***

Plak.

Suara tamparan keras terdengar memenuhi ruangan bernuansa modern tersebut.

Seorang wanita terlihat sangat emosi pada pria yang sedang berlutut di bawah kakinya. Pria itu sudah begitu tersiksa dengan luka-luka yang dia dapatkan, dari wanita berkacak pinggang di hadapan yang sepertinya masih belum puas sudah mencaci makinya sejak setengah jam lalu.

"Non! Maafkan saya!" Mohon pria itu yang masih saja terus mendapat pukulan di kedua pipinya.

"Tidak ada kata maaf untukmu, Bagas! Sudah sering aku ingatkan, jangan sampai kau gagal melenyapkan wanita kotor itu!" teriak Maya Astrid tepat di depan wajah Bagas.

Pria bayaran yang sudah mengecewakan Maya dengan aksinya yang gagal melenyapkan Dina beserta bayinya.

Sepertinya Bagas masih tidak ingin menyerah memohon ampun dari Maya. Wanita sadis yang suka mencaci maki dirinya dengan sesuka hati jika Bagas lalai menjalankan tugas.

Plak. Satu tamparan mendarat lagi. "Itu untuk kebodohanmu!"

Tamparan lainnya menyusul. "Ini dari emosiku atas kegagalanmu hari ini."

Maya masih saja menampar Bagas dengan keras.

"Nona! Non, maafkan saya."  Bagas tidak bisa menghindar dari serangan Maya. Jika itu dia lakukan maka Maya akan semakin menyiksanya bahkan bisa saja wanita itu mengambil nyawanya dengan menelepon beberapa bodyguard bertubuh besar dan berotot yang siap memukulinya sampai mati.

Bruk!

Akhirnya setelah menendang keras perut Bagas. Maya menyudahi tindakan bengisnya, karena sudah merasa lelah dan puas saat melihat Bagas menderita dengan luka-luka yang cukup serius hampir di semua bagian wajahnya.

"Segera hubungi anak-anak yang lain, agar segera menemuiku malam ini di kantorku!" perintah Maya dengan suara tingginya.

Setelah memberikan perintahnya, Maya segera pergi dari sana untuk menyusun rencana lain agar bisa menyingkirkan Dina dan anaknya.

"Dasar, bodoh!" Makinya dalam perjalanan menuju mobil yang tidak jauh dari hotel tempat dia menginap beberapa hari selama di Surabaya.

"Aku bisa gila, jika belum menyingkirkan Dina dan anaknya itu," gumamnya ketika sudah berada di kursi kemudi mobil.

Maya langsung menghidupkan mesin mobil agar segera pergi meninggalkan hotel tempatnya menginap, kemudian menuju ke arah pusat kota untuk menenangkan diri.

***

Bi Nara sudah siuman satu yang jam lalu dan meminta diantarkan ke ruang inap putri angkatnya; Dina Prayoga.

Hampir seminggu Dina dirawat, tapi baru hari ini Bi Nara bisa menjenguknya bersama Rafka.

Dokter John pun sudah menceritakan semuanya perihal kecelakaan yang Dina alami tadi pagi, sehingga membuat putrinya itu harus menderita kaki terkilir yang cukup serius. Kaki berbalut gips demi menjaga bengkak dan sakit pada kakinya, agar tidak semakin parah jika digunakan banyak bergerak ketika dia sadar nanti.

Begitu sampai di depan ruang inap Bi Nara dan Rafka sama-sama menghentikan langkahnya dan saling menatap sebentar.

"Mas, ini ruangannya 'kan?" Bi Nara menatap Rafka.

"Iya, Bi," sahut Rafka yang sedikit menganggukkan kepala.

"Ayo, kita masuk," ajak Bi Nara berjalan masuk dengan Rafka yang mengikuti dari belakang bibinya.

"Non, Dina ...," kata Bi Nara lemah lembut begitu melihat Dina yang terbaring di atas ranjang dengan kaki kanan terbungkus gips, digantung menggunakan gantungan khusus mereka yang mengalami cedera parah.

Bi Nara memutuskan untuk bermalam di rumah sakit untuk menjaga Dina dan anaknya. Rafka yang melihat wajah Dina, terdiam sejenak, karena wajah itu agak tidak asing. Tapi, Rafka tidak kenal orang yang terbaring di tempat tidur tersebut.

Bukannya pulang meninggalkan Bi Nara, Rafka malah tertuju pada anak Dina yang terlihat tidak sehat dan agak lesu dalam tidurnya. Rafka pun memutuskan untuk ikut menjaga Dina bersama Bi Nara.

***

Pagi ini dokter sudah selesai memeriksa keadaan Dina. Beruntungnya Dina sudah siuman.

"Non, Dina? Anakku?" ucap Bi Nara lembut mendekati ranjang Dina.

"Iya, Bi," balasnya yang terlihat ingin bangkit dari posisinya menyambut ibu angkat yang semalaman menjaganya.

"Hey, jangan bangun dulu dari tidurmu, Nak." Bi Nara mencegah Dina agar tidak memaksa duduk demi menyambutnya dan Rafka. "Oh ya, kalau boleh mulai sekarang kamu panggil saya ibu atau mama aja ya .... Biar lebih akrab kitanya."

"Tapi, Bi?"

"Oh, ayolah Dina. Saya benar-benar sudah anggap kamu sebagai anak sendiri."

"Ba-baiklah, Ma. Mama." Dina tersenyum ramah, kemudian kaget begitu mendapati ada seorang pria tampan yang berdiri tepat di belakang Bi Nara.

"Mama, itu siap—"

"Ini?" potong Bi Nara. Dina mengangguk menatap Rafka dan Bi Nara bergantian.

"Oh, iya. Mama sampai lupa memberitahu jika mama ke sini tidak sendirian. Mas, ayo ke sini," ucap Bi Nara menarik Rafka mendekati ranjang. "Nak, kenalin ... ini Mas Rafka. Keponakan mama yang kebetulan tidak sengaja bertemu kemarin siang ketika mama hendak ke mari," jelas Bi Nara mengenai Rafka ponakannya pada sang putri.

"Maaf, jika kedatangan saya ke sini membuat kamu sedikit tidak nyaman." Rafka meminta maaf pada Dina.

"Eh, bukan seperti itu, m-mas," ucap Dina yang terlihat sedikit ragu memanggil Rafka dengan sebutan 'mas', sama seperti Bu Nara memanggilnya.

"Sebenarnya mama juga sudah menyuruh Mas Rafka untuk pergi, Nak. Tapi, dia menolak dan ingin tetap di sini membantu mama menjaga kamu dan anakmu," terang Bi Nara pada Dina agar putri angkatnya ini tidak merasa marah atau merasa dibohongi karena sudah mengajak tanpa seizinnya.

"Silakan duduk. Maaf, aku tidak bisa melayani kalian dengan baik," ucap Dina kemudian terdiam.

"Sudahlah ... sini biar mama liat lukanya," ucap Bi Nara melihat perban yang ada di kepala anaknya.

Sementara itu, Rafka kembali duduk di sofa yang tidak jauh dari ranjang Dina dan box bayinya.

"Lukanya hanya kecil kok, Ma. Dina pasti akan segera sembuh dan mungkin lusa sudah bisa pulang," tutur Dina menahan rasa sakit, agar tidak terlihat oleh Bi Nara.

Mendengar itu pun, seketika wajah Bi Nara menjadi sangat sedih, karena dia tahu kecelakaan itu pasti membuat Dina menderita. "Ma, hei ... Ada apa?" Dina memegang tangan Bi Nara lembut.

Bi Nara mau tidak mau berusaha agar tidak menangis di depan Dina.

"Maaf, Nak. Mama belum bisa menjaga kalian terutama melindungimu dari perbuatan mama mertuamu itu." Bi Nara meminta maaf pada Dina atas sikap bodohnya selama ini yang tidak mengetahui kondisi Dina selama masih menjadi istri Dika Jordi.

Sebelum Bi Nara keluar dari rumah Jordi. Bi Nara tidak sengaja mendengar sedikit obrolan Leni dan seseorang di telepon saat dia sibuk membereskan barang-barang Dina untuk dibawa.

Rafka menyadari topik yang sedang dibahas Bi Nara dan Dina sedikit sensitif. Dia pun langsung meminta izin keluar.

"Maaf, Bi. Rafka keluar sebentar ya, mau beli kopi di luar," ucap Rafka saat sudah berdiri itu.

"Oh, iya, Mas," jawab Bi Nara yang sedikit melihat pada Rafka. Kemudian kembali menatap Dina yang sepertinya sudah menyadari jika Rafka berusaha menghargai privasi mereka.

Rafka pergi meninggalkan kedua wanita itu, dan mengucapkan salam dengan lembut ketika menutup pintu

Saat sudah memastikan Rafka pergi, Bi Nara kembali melanjutkan obrolan mereka yang sempat tertunda tadi perihal ketidaksadarannya terhadap sikap buruk Leni kepada Dina. Mengenai kecelakaan Dina, Bi Nara menaruh curiga pada Leni, sehingga butuh penjelasan lebih mengenai apa yang sebenarnya terjadi di antara mertua dan menantu itu.

"Nak, tolong jelaskan pada mama semuanya. Kenapa Leni begitu membenci kamumu."



Bersambung ...

I Love You' versi Indonesia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang