Part 11

2 0 0
                                    

***

Rafka Fathan merupakan seorang pengusaha muda yang terkenal dengan kepemimpinan tegasnya di kantor. Dia juga pria berwibawa dan disiplin pada waktu.

Rafka tumbuh menjadi sosok mandiri ketika usainya 15 tahun, kala itu dia baru saja pindah bersama keluarganya ke Jakarta, setelah 20 tahun keluarga besar Fathan menetap di Malaysia, karena sang ayah Ben Fathan berkebangsaan Malaysia.

Setelah lulus dari SMA Rafka memilih ikut dengan keluarga ibunya yang merupakan bibinya sendiri; Bibi Nara. Saat itu Bi Nara dan keluarganya tinggal di Yogjakarta karena semua mata pencaharian suaminya berada di sana.

Itulah alasan Rafka begitu dekat dengan bibinya ketimbang ibu kandungannya sendiri; Bu Nana.

Bi Nara juga memiliki seorang putra yang usainya hanya 2 tahun lebih tua dari Rafka dan karena itulah Rafka sendiri merasa sangat nyaman berada di keluarga Adam.

***

Pagi ini, selesai sholat subuh berjamaah di musholah rumah sakit Trisma bersama beberapa perawat laki-laki dan tiga orang dokter. Salah satunya dokter John. Kakak sepupunya yang merupakan dokter kandungan di rumah sakit itu.

Rafka berniat ingin membelikan sarapan pada kedua wanita yang memang masih bersamanya sejak beberapa hari ini di Surabaya.

"Raf!"

Karena mendengar namanya dipanggil, Rafka pun menoleh ke arah sumber suara.

"Kak John." Rafka tersenyum lebar pada dokter John, yang sudah berdiri tepat di sampingnya.

Dokter John membalas senyuman Rafka. "Siapa Dina, Raf?" tanya dokter John langsung to the point ke adik sepupunya yang memang cukup dekat dengannya. Bahkan menjadi penyemangat terbesar dokter John untuk akhirnya mengambil keputusan menikah beberapa tahun lalu dengan istrinya; Ratna Nathan.

Ratna Nathan merupakan perempuan pilihan dokter John, ketika hampir 6 tahun bersamanya jadi kekasih.

Balik ke Rafka yang mendapat pertanyaan itu dari dokter John. Langkah Rafka terhenti, dia agak kaget mendengar pertanyaan kakak sepupunya yang kebetulan semalam lembur di rumah sakit karena banyaknya pasien bersalin. Bahkan ada dua pasien tak terjadwal karena merupakan persalinan prematur.

"Hah, gimana? Kok bisa kamu yang nemenin dia?" Dokter John merangkul Rafka, kembali mengisyaratkan rasa penasarannya.

"Dia anak angkat dari bibiku, Kak." Jawaban Rafka tentu saja seusai fakta mengenai siapa Dina baginya. Ya, sejak bertemu bibinya beberapa waktu lalu. Rafka akhirnya mengetahui siapa Dina dan seberapa berharganya dia bagi Bi Nara. Bi Nara adalah wanita kedua yang sudah menyayanginya ketika masih remaja labil yang belum tentu dengan pilihannya sendiri.

Waktu di mana Rafka masih kurang fokus pendidikannya. Rafka memang tidak begitu tertarik dengan dunia bisnis seperti yang ayahnya geluti saat dia masih kuliah.

Makanya, begitu Rafka ingin fokus pada dunia bisnis dia bertekad akan lebih serius pada pendidikannya yang waktu itu belum bisa menyelesaikan S1 di fakultas pilihannya. Karena asik berkelana menemukan jati diri.

Dokter John segera tersenyum. "Benarkah?"

"Hmm!" angguk Rafka dengan cepat.

Dokter John pun mengangguk mengerti. Tapi, sedikit tersenyum geli saat mengingat bagaimana sikap berlebihan Rafka, jika dilihat dari bagaimana adik sepupunya itu memaksa untuk bisa mengetahui kondisi Dina di waktu pertama datang ke rumah sakit Trisma.

"Kau sudah sarapan, Kak?" Rafka mengubah topik ke hal menarik lainnya. Agar situasi yang mulai membuatnya merasa gugup ini teralihkan. Intinya Rafka ingin menghindar atas pertanyaan yang nantinya akan dokter John lontarkan lagi.

"Belum," jawab dokter John antusias. Lalu, sama-sama melihat ke arah kantin rumah sakit tidak jauh dari sana.

***

"Ayo, aku traktir deh, Kak. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena kau sudah merawat Dina selama bibi belum ada," ajak Rafka memimpin langkah menuju kantin.

"Aku? Kita dong, Raf," sela dokter John tiba-tiba.

"Hah, kita?" Rafka menatap dokter John bingung. Tapi masih berjalan.

"Iya, kau dan bibimu kan yang paling berjasa menjaganya," tambah dokter John diikuti tawanya. "Bahkan kau yang akhir-akhir ini selalu ada di ruangannya."

"Eh, apa?" Rafka kebingungan.

Tidak ingin mendapat serangan dari Rafka. Dokter John mempercepat langkahnya hingga mendahului Rafka yang sepertinya masih belum paham maksud perkataan tersebut.

Rafka terdiam sejenak, otaknya mendadak mengerti ucapan dokter John. "Hei! Dokter John! Sepertinya anda sudah salah paham ke saya heh!" teriaknya yang sudah mempercepat langkah untuk menyusul kakak sepupunya yang sepertinya masih gencar menggodanya tentang Dina.

"Jika kau memang menyukainya. Segera nikahi saja dia, Raf. Aku akan sangat merestui jika kau laki-laki yang akan menggantikan mantan suaminya!" timpal dokter John serius dengan ucapannya. Tapi, itu tidak membuat pria tampan tersebut menghentikan langkahnya menuju kantin rumah sakit tempatnya bekerja selama 4 tahun.

"Hentikan omong kosongmu, Dokter!" Rafka mengejar dokter John. "Jika tidak, sarapan kali ini, tidak akan kubayar makananmu," tambah Rafka memperjelas maksudnya jika sang kakak tidak berhenti menggodanya.

"Dasar pelit!" respons dokter John yang akhirnya menuruti perintah Rafka untuk berhenti menggodanya.

Kedua pria tampan itu sudah sama-sama memasuki kantin rumah sakit dan segera memindai ruangan cukup besar itu untuk mereka mencari meja kosong untuk mereka tempati.

Ternyata, kedatangan keduanya cukup membuat orang-orang yang berada di kantin baik yang sedang menunggu pesanannya atau sedang sarapan menoleh ke arah dokter John dan Rafka.

Sepertinya mereka begitu terpesona dengan ketampanan dokter John dan Rafka ketika keduanya masuk.

Kebetulan pagi ini kantin rumah sakit dipenuhi para kaum hawa yang masih usia produktif hingga kedatangan kedua pria tampan itu cukup mampu membuat mereka tersenyum bahagia dan siap menyambut aktivitas pagi.

"Pagi, Dokter," sapa seorang pramusaji wanita yang sudah cukup mengenal dokter John. Tidak lupa menatap Rafka sekilas sembari tersenyum sangat ramah.

"Pagi, Mbak," balas dokter John sangat lembut.

"Tumben sarapan di sini. Jarang-jarang loh ini!"

"Ah, nggak juga!"

"Ah, biasa juga kan sarapan di restoran mahal bersama teman sejawat lainnya," tambah mbak pramusaji yang sudah menghapal betul tabiat dokter John.

"Maaf, saya menyela perbincangan kalian. Bisa tidak, buatkan saya masing-masing satu bungkus gado-gado campur dan nasi goreng ya ...," kata Rafka sangat sopan pada pramusaji di depan mereka.

Mendengar itu pramusaji pun mengangguk mengerti. "Oh, iya. Tidak apa-apa. Itu sudah jadi tugas kami membuatkan pesanan para pengunjung kantin, Pak," ucap mbak pramusaji.

"Eh, Mbak. Aku juga sekalian dong satu mangkok bubur ayam dan minumannya yang biasa aja. Air putih." Dokter John menjelaskan menu yang akan dia pesan pagi ini.

"Oh ya, punya saya rawon satu, Mbak. Minumannya air putih saja," kata Rafka ikut memberitahukan makanan yang akan dia pesan juga.

"Baiklah, kalau begitu silakan kalian tunggu di sini ya. Pesananya akan segera disiapkan."

"Iya." Rafka dan dokter John kompak mengangguk.

Pramusaji segera pergi dari hadapan dokter John dan Rafka.

Bersambung.

I Love You' versi Indonesia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang