S - 3

1K 121 15
                                    

𝐒 . 𝐄 . 𝐑 . 𝐆 . 𝐈 . 𝐎

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐂𝐡𝐢𝐧𝐠𝐮!!

- * -

Tak mudah bagi Gio melupakan kejadian paling menyakitkan dalam hidupnya.

Hari dimana mendung menutupi awan tapi dirinya tetap memaksa pergi di cuaca seperti itu. Gio ingat sekali jika saat itu dirinya tengah bercanda dengan Ayah dan Ibunya sebelum kemudian terguling beberapa kali.

Gio melihat bagaimana kedua orang tuanya masih menyuruhnya untuk menyelamatkan diri saat itu, bahkan keadaan mereka berdua tak bisa dibilang baik-baik saja. Mereka berdua terjepit hingga saat evakuasi di lakukan.   Gio yakin, sakitnya pasti sangat luar biasa.

"Heran, orang tua di bumi ini kenapa sih suka banget mengorbankan nyawa? Gio  lebih suka meninggal di tempat sama Ayah Bunda, tapi Bundanya malah mohon-mohon supaya Gio nyelamatin diri di saat terakhirnya." Gio mengusap lembut figura foto keluarganya.

Gio tak pernah merelakan apa yang terjadi padanya, meski suatu waktu dirinya terus menekan hatinya supaya ikhlas tetap saja rasanya menyesakkan. Apalagi kedua orang tuanya meninggal tepat di depan matanya.

"Kita nggak akan pernah makan bersama lagi, nggak akan tidur bersama lagi, nggak akan hidup bersama lagi ataupun senyum bersama lagi. Yang seperti itu Gio anggap hukuman, bukan kehidupan."

Umur Gio memang masih belia, tapi pemikirannya tak begitu. Ia cukup tahu apa itu sendirian hingga bisa takut juga karenanya.

"Gio nggak takut meninggal. Tapi Bunda pengen Gio masih disini. Gio bisa aja nggak nurut sama Bunda, tapi kalo waktu itu ikut meninggal apa Bunda nggak akan marah?" tanya Gio entah pada siapa.

Dititik sendirian seperti ini mengingat masa lalu memang hal yang biasa bagi Gio. Namun rasa sakitnya itu luar biasa sekali. Jika boleh Gio ingin melupakan semuanya, namun jika itu terjadi bukankah kenangan terakhir dengan orang tuanya juga hilang?

🍀🍀🍀🍀

"Ini malem pake hujan deh, padahal mau kumpul sama temen." gerutu Ryu.

Anak itu tengah duduk di tepi jendela melihat hujan besar yang tengah mengguyur kota. Angin setra petir melengkapi hujan malam ini seolah ingin membuat orang-orang yang berniat keluar tetap tinggal di rumah mereka.

Yah, termasuk Ryu juga sih.

Asik menatap hujan membuat Ryu bisa melihat mobil Mas-nya yang baru saja terparkir di depan rumah. Pemuda itu berlari masuk ke rumah dengan tas kerja yang melindungi kepalanya agar tak terlalu basah.

Ryu mengikuti kegiatan kakak pertamanya yang langsung mengambil asal handuk di tempat penyimpanan dekat dapur dan mengeringkan bajunya.  Pemuda itu mendudukkan diri di sofa dan berselonjor meregangkan ototnya. Rasanya lelah sekali setelah menuruti salah satu client yang ingin bertemu di minggu sore.

Ryu yang melihat Mas-nya tengah berselonjor pun menghampiri sang kakak. Si bungsu itu duduk tepat di sisi Mahen dan langsung menyandarkan kepalanya di bahu Mahen. Jangan lupa, bungsu tiga bersaudara itu juga punya jiwa manja di dalam dirinya.

"Kalian ninggalin Ryu waktu Ryu tidur. Tega.." ucap anak itu.

Mahen memang langsung pergi begitu saja, dirinya menitipkan si bungsu pada Arca, tapi tadi anak itu mengabari Mahen jika katanya ada tugas yang belum di selesaikan dan deadline tugasnya kebetulan adalah besok.

"Salahin abangmu yang lupa jadwal. Kalo tau dia pergi juga Mas pasti ajakin kamu." ucap Mahen.

Ryu mendengus. Sendirian di rumah itu sangat tidak menyenangkan. Mana pula hujan deras, makin menyebalkan saja rasanya.

Tapi ngomong-ngomong soal hujan deras dan sendirian di rumah Ryu jadi teringat pada Gio, bukankah dia juga sendirian di rumah?

"Mas, Gio sendirian kan di rumah?" tanya Ryu.

"Kata pak Asep sih gitu." santai Mahen.

"Kenapa?"

Ryu langsung khawatir. Dia saja yang sudah besar takut sendirian di rumah saat hujan begini. Apalagi kan ini sudah malam.

"Jemput gih Mas. Kasian tau dia. Lagian hujan gede gini anak kecil sendirian di rumah pasti ketakutan." suruh Ryu. Jujur dia khawatir pada bocah imut itu.

"Nggak mau ah. Lagian ngapain jemput dia? Nanti nyusahin disini." tolak Mahen mentah-mentah.

Ryu mendengus kesal. Anak itu langsung melangkah pergi meninggalkan Mahen yang masih duduk di sofa.

"Heh, mau kemana Ryu?! Lagi hujan tau!" teriak Mahen saat Ryu telah membuka pintu depan.

Namun Ryu mana mau menjawab, anak itu hanya berbalik dan menatap tajam Mahen lalu kemudian pergi ke tempat yang ia tuju. Masa bodo dengan Mahen yang mungkin marah-marah nanti, yang penting degemnya jemout dulu aja.

🍀🍀🍀🍀

Di derasnya Hujan Ryu kini menggedor pintu rumah yang nampak sangat sepi itu. Ryu mencoba memanggil nama Gio beberapa kali, namun belum ada jawaban juga dari dalam. Mulai ada rasa khawatir di hati Ryu, namun Ryu juga berpikir jika mungkin saja Gio tak ada di rumah.

Ryu menatap nanar pintu rumah Gio, anak itu bersiap-siap pergi dari rumah Gio. Mungkin saja kan dugaannya benar?

Namun, tak lama berselang pintu rumah itu akhirnya terbuka. Ryu menghela napas sebab baru saja dia akan memutuskan untuk pulang dan Gio muncul tepat pada waktunya. Ryu disuguhkan pada wajah bantal anak itu, dan jangan lupa pula dengan boneka karakter film Toys Story yang ia bawa.

"Kakak? Kok disini?" tanya Gio kaget. Ia melihat sekitaran, hujan deras dan angin serta petir menyeramkan membuat Gio bergidik.

"Kakak mau jemput kamu. Hujan gede gini nggak baik sendirian di rumah dek." ucap Ryu. Gio yang mendengar itu tentu saja heran.

"Eh? Jemput?"

"Iya jemput. Yuk ke rumah? Disini kamu sendirian, kalo di rumah kan ada Mas Mahen sama Kakak." Ryu menarik pelan tangan Gio, namun anak itu bergerak, ia malah menatap sendu Ryu.

"Takut Mas Hen marah. Dia kan nggak suka Gio." cicitnya.

Ryu yang tinggi langsung berjongkok menyamakan tingginya dengan Gio. Remaja itu tersenyum mencoba meyakinkan Gio.

"Kamu sama kakak, nanti kita ke kamar kakak. Kalo Mas Hen marah biar tak marahin balik nanti!" ucap Ryu sembari mengusap bahu Gio lembut.

Melihat wajah Ryu yang tulus Gio pun mengangguk lucu. Lagian dia juga takut kok di rumah sendirian, kan biasanya ada Ayah Bunda, tapi sekarang mereka kan nggak ada. Tadi saja dia ketiduran saking takutnya, tadi bersembunyi di bawah selimut dan tak sadar malah tertidur setelah lelah menangis.

"Iya deh Gio ikut. Tapi tunggu dulu ya? Gio mau bawa Maxim dulu ke kamar." pinta anak itu.

"Maxim? Siapa?"

"Peliharaan aku. Nggak apa-apa kan?" tanya Gio. Ryu tersenyum.

"Iya nggak apa-apa kok. Kakak tungguin."

"Makasi kakak.."

-

𝐊𝐚𝐩𝐚𝐧-𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐠𝐢🤗

𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧 𝐲𝐚𝐚.

𝐒𝐞𝐞 𝐲𝐨𝐮𝐮❤❤

S . E . R . G . I . O  [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang