Ornamen Klasik

525 99 2
                                    

........

Juna punya cukup banyak alasan mengapa ia masih mencari-cari rumahnya di saat tak ada lagi kehangatan tersisa disana. Disaat hanya kenangan kosong yang tersisa mengisi setiap sudut rumah. Namun Juna punya alasan kuat untuk tetap pulang.

Tujuh belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Dia menghabiskan seluruh hidupnya di bangunan yang telah banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu itu. Ada begitu banyak hal tersimpan disana, meski saat ini itu hanya menjadi omong kosong belaka. Sebab sulit mempercayai begitu banyak waktu yang telah berlalu disana melihat apa yang terjadi kini.

Tau kenapa Juna terus mengunjungi kamar Rion dan membersihkan setiap sudut rumah di setiap harinya? Sebab dia memiliki satu harapan. Sama seperti bunda yang setia menunggui Rion untuk terbangun. Juna pun begitu. Dia berharap, Rion akan kembali suatu saat nanti dan memberi warna pada rumah mereka kembali.

Harapan itu terwujud. Rion sudah pulang. Dia mewarnai rumah mereka lagi. Namun dalam arti yang sama sekali tak pernah Juna harapkan.

Rion pulang hanya untuk sekedar singgah terkahir kalinya. Dia mengantarkan warna kelabu yang penuh duka bersama kepulangannya ke pangkuan sang Pencipta. Dan itu membuat cahaya redup yang berusaha Juna jaga di rumah ini, sempurna padam karena kepergiannya. Rion meninggalkan mereka semua dalam kegelapan mutlak yang menyelimuti keluarga ini hingga hilang arah.

Dan di tengah-tengah upaya Juna menjaga dirinya tetap tegak di tengah kegelapan itu, dia justru dihantam dengan fakta menyakitkan yang membuatnya ambruk tanpa perlawanan.

"Sudah ku bilang, anak pelacur itu hanya akan membawa bencana untuk keluarga ini!"

Juna membeku di tempatnya ketika telunjuk Eyang Ratna, ibu dari Bundanya, mengacung dengan marah pada dirinya.

"Kenapa kalian harus menyelamatkan anak pembawa sial ini?! Lihatlah, kalian telah membesarkan seorang pembunuh! Dia membunuh cucu kesayanganku! Putra kalian!"

Semua yang ada di ruangan itu terdiam seolah tak ada satu orang pun yang mau membantah. Juna menatap orangtuanya yang hanya duduk diam. Ayahnya tampak mengeraskan rahang dan menghindari tatapan Juna, begitupun dengan sang Bunda yang menangis di pelukan Edward-- ayah Juna-- tanpa mau melihat tatapan nanar Juna yang penuh kegamangan.

Juna memberanikan diri mengangkat wajahnya menatap Ratna, "A-apa maksud omongan eyang?"

Tatapan kebencian Ratna sama sekali tak bisa disembunyikan, "Jangan panggil saya eyang, karena sampai kapan pun saya tak akan pernah mengakui anak haram seperti kamu di keluarga ini!"

Juna menelan ludahnya susah payah. Lehernya terasa kaku saat ia menoleh meminta penjelasan pada orang tuanya, "Ayah? Bunda? A-apa maksudnya? Itu gak bener kan?" tanyanya dengan suara bergetar. Jantung Juna bergemuruh detik demi detik terlalui untuk ia dapat mendengar jawaban dari mereka.

Sandra--bunda Juna--menatap Ratna dengan memelas, "Cukup bu, jangan membahas ini lagi."

Emili, ibu dari Edward, melihat menantunya seakan membela Juna pun tak tahan untuk ikut bersuara, "Biarkan saja Sandra, kamu tak harus membela anak itu. Biar dia tau semua kebenarannya dan sadar diri."

Juna semakin dibuat kebingungan. Matanya sudah memanas, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Namun ia berusaha untuk tidak menangis di kondisi ini. Lebih tepatnya ia tak boleh menangis dan terlihat menyedihkan.

"Oma....?"

Emili menatap tajam Juna, "Saya tidak pernah suka kamu memanggil saya begitu. Meski kamu benar adalah putra Edward, tapi kamu hanyalah anak haram yang lahir dari rahim seorang jalang tidak tau diri yang menjebak putraku."

ADIOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang