Happy Reading
....Juna adalah anak yang memiliki ingatan yang bagus. Bahkan ia ingat ketika usianya menginjak dua tahun seluruh keluarganya bersuka cita menyambut kelahiran adiknya, Arion Mahendra. Rion adalah anak laki-laki yang mewarisi wajah manis ibu mereka, Sandra. Dia juga adalah anak yang ceria dan ramah membuat semua orang menyukainya.
Jika dicari perumpamaan, Juna dan Rion itu ibarat bayangan dengan cahayanya. Juna sebagai kakak mendukung sang adik untuk terus bersinar terang dengan membuat dirinya menjadi lebih gelap dan pekat.
Juna menyayangi Rion, namun dia tidak selihai Rion dalam mengekspresikan diri. Makanya kerap kali rasa sayangnya itu disalah artikan menjadi rasa benci. Dan seiring berjalannya waktu, kakak beradik yang dulunya saling menjaga dan menyayangi perlahan menjauh dan menjadi asing satu sama lain.
Juna sedari dulu sudah menyadari, meski ia masih terlalu kecil untuk memahami hal tersebut. Dalam keluarga Mahendra, keberadaannya seolah tak diakui. Meski mereka tak menunjukkannya secara terang-terangan namun Juna sadar dan peka terhadap tatapan dingin dan tak bersahabat itu.
Dan semua menjadi semakin jelas ketika Rion lahir. Juna menyadari ada perbedaan besar antara dirinya dan Rion dimata mereka. Bahkan dari namanya saja sudah terlihat bahwa dirinya diasingkan seorang diri. Berbeda dengan Rion dan sepupu-sepunya dari pihak ayah yang memakai nama keluarga di belakang nama mereka. Begitupun Ayah dan Bunda yang dulunya teramat menyayanginya, perlahan berubah semenjak kehadiran Rion. Meski tak begitu parah, ayah dan bunda masih kerap memperlakukan Juna dan Rion secara adil. Walau terkadang mereka seakan cenderung memihak pada Rion.
Namun meski begitu Juna sangat menyayangi adiknya itu. Meski keadaan membuat ia perlahan menjauh, namun percayalah Juna tak akan pernah bisa membenci anak yang dulunya selalu berlari padanya dan memanggilnya Abang dengan ceria.
Juna tidak tau kapan tepatnya hubungannya dan Rion merenggang. Yang jelas, dalam ingatannya, semenjak Rion dan dirinya memasuki masa sekolah. Semua terjadi perlahan. Dimana Rion yang kerap menjadi anak emas kebanggaan sekolah menjadi patokan bagi ayah untuk membandingkan mereka. Dan Juna yang seringkali berbuat ulah dan memiliki nilai akademis rata-rata, membuat bunda kerap merasa putus asa mendidiknya dan lagi-lagi menjadikan Rion sebagai acuan.
Juna tidak menyalahkan Rion, sungguh. Dia hanya menyayangkan bagaimana ayah dan bunda yang dulunya bersikap adil pada mereka berubah seiring berjalannya waktu. Yang mana hal itu semakin memburuk ketika Juna berada dipetengahan masa SMP. Untuk pertama kali, dia terlibat dalam kenakalan remaja semacam tawuran dan juga terseret dalam kasus narkoba.
Edward marah besar saat itu pada Juna, "Sepertinya semua yang ayah dan bunda ajarkan tidak kamu terima dengan baik. Kami benar-benar kecewa dengan kamu. Tidak bisakah kamu menjadi seperti Rion yang patuh dan penurut? Lihat adikmu itu, dia bahkan selalu membuat kami bangga, tidak seperti kamu yang hanya bisa membuat masalah saja. Apa kamu tidak malu sebagai kakaknya?!"
Begitulah kira-kira perkataan Edward setelah melayangkan satu tamparan di pipi Juna yang masih tersisa lebam. Dan Juna hanya diam merasa tak perlu memberikan pembelaan. Ia hanya menunduk tak menatap wajah Edward, maupun Sandra yang hanya diam dengan raut dingin serta Rion yang menatap cemas dirinya.
Juna harus mendekam dibalik jeruji besi selama dua hari sampai kemudian dia terbukti tidak bersalah. Sebab, rupanya ia tidak terlibat dalam tawuran tersebut melainka hanya orang bernasib sial yang kebetulan lewat di area itu. Dan perihal kasus narkoba diantara para siswa yang terlibat tawuran, dia juga terbukti tak menggunakan narkoba setelah dilakukan tes urine. Dan Juna juga bukanlah banda seperti salah satu orang yang tertangkap. Makanya, dia dibebaskan sebab disana posisinya justru dia sebagai korban bukan pelaku.
Supir yang dikirim menjemputnya maupun sambutan Sandra saat dia sampai di rumah tak cukup untuk mengobati luka di hari Juna karena kejadian itu. Rasa tamparan Edward masih membekas jauh di hatinya. Dan itu cukup untuk membuktikan seberapa mereka tidak mempercayainya. Juna sangat kecewa. Pihak aparat yang bukan siap-siapanya saja masih berbaik hati menanyai dan melakukan pemeriksaan untuk membuktikan dia bersalah atau tidaknya. Namun orangtuanya sendiri, justru langsung percaya begitu saja tanpa merasa perlu mendengar pembelaan darinya.
Sejak saat itulah, Juna sepenuhnya merasa asing dengan mereka yang menyebutkan diri sebagai keluarganya.
.......................................................
"Bang Ju--" panggilan Rion terpotong saat ia mendapati kamar Juna yang kosong melompong. Kasurnya sudah terlihat rapi dengan seragam yang kinclong terletak diatasnya. Dan ketika mendengar suara air dari kamar mandi, Rion menebak kalau saudranya itu tengah menjalankan ritual paginya, mandi. Tapi yang bikin heran, ngapain Juna nyiapin seragam di hari minggu yang indah ini.
Pada akhirnya Rion kembali ke kamarnya mengambil sebuah pulpen dan kertas lalu menuliskan sesuatu disana. Ia kembali lagi ke kamar Juna dan keluar setelah meletakkan kertas itu di atas seragam Juna.
Selang 5 menit, Juna keluar dari kamar mandi dengan setelan kaus oblong hitam dan boxar bola berlogo garuda. Ia yang tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk menangkap sebuah kertas di atas seragamnya.
'Cuman ngingetin, hari minggu tanggal merah itu artinya libur.'
Dia mendengus geli saat sadar siapa yang menulis catatan kecil itu. Tentu saja Rion. Tulisannya yang kayak tulisan dokter itu sangat Juna hapal. Mereka memang jarang saling bicara, hanya terkadang saling sapa atau bicara seperlunya. Tapi mereka masih kerap saling peduli satu sama lain dengan cara surat menyurat seperti ini.
Juna menyimpan kertas itu di dalam laci meja belajarnya dimana terdapat banyak tumpukan surat lainnya dari Rion menunjukkan sudah seberap lama mereka berkomunikasi secara tradisional begitu.
Juna tetap memakai seragamnya meski sudah diperingati kalau sekarang adalah hari libur. Sebab dia harus menghadiri kelas tambahan hari ini akibat absensinya yang tak mencukupi untuk naik kelas.
Sedikit informasi, Juna sekarang sudah SMA, masih di tahu pertama. Sebentar lagi naik kelas XI. Sama halnya dengan Rion. Berkat kepintaran adiknya itu dia berhasil loncat kelas dan berada di angkatan yang sama dengan Juna. Hanya saja sekolah mereka berbeda. Rion di sekolah unggulan sementara Juna hanya di sekolah negri biasa sebab nilai ujiannya yang pas-pasan.
"Lingga, kamu mau kemana?" tanya heran Sandra saat melihat Juna melintas melewati ruang makan menuju garasi. Hanya ada wanita itu sendirian tengah menyiapkan sarapan. Edward dan Rion mungkin sedang jogging di taman seperti rutinitas minggu pagi mereka biasanya.
"Sekolah," Juna menyahut singkat.
"Tapi sekarang minggu. Kamu jangan coba-coba bohongi bunda, ya."
Juna mengurungkan langkahnya. Ia menarik nafas panjang sebelum kemudian berbalik menatap sang bunda, "Aku ada kelas tambahan. Aku udah bilang tiga hari lalu, bahkan ada surat pengantarnya. Bunda udah baca?"
Sandra terdiam sejenak, "Maaf, mungkin bunda belum sempat baca. Kamu tau sendiri bunda sibuk ngurusin Rion yang sakit waktu itu."
Ya, Juna sudah bisa menebak sih kalau akan begitu. Dia hanya mengangguk singkat dan berbalik pergi dengan segera. Sama sekali tidak tau kalau Sandra masih ingin bicara untuk menyuruhnya sarapan terlebih dahulu. Sebab sudah terlalu sering, atau bahkan bisa dibilang Juna selalu melewatkan waktu sarapan paginya di rumah selama dua tahun belakangan ini. Anak itu akan pergi terburu-buru di pagi hari atau mendekam di dalam kamarnya saat libur dan baru keluar saat hari sudah beranjak siang.
......................................
Juna benci hujan. Sebab hujan membuat suhu menurun drastis. Dan air yang turun kerap menggenang dimana-mana dan membuat becek jalanan. Selain itu, jika hujan, Rion akan mudah sakit sebab daya tahan tubuh anak itu yang lemah. Dan kalau Rion sudah sakit disaat orangtua mereka sedang tidak di rumah, sudah pasti Juna yang bakal jadi tumbal buat ngejagain bocah itu.
"Pusing...."
"Segitu aja mewek, lakik bukan lo?" Juna ngedumel namun tak ayal menarik selimut untuk Rion dan mengoleskan minyak kayu putih di sekitar pelipis Rion dan memijit-mijitnya pelan.
"Gua gak mewek ya, nyet. Jangan hiperbola."
Kata-kata yang sekonyong-konyong membuat Juna menyentil kening adiknya itu, "Nyat nyet! Nyat nyet! Sopan lo begitu sama gue?"
Rion mencebik dan mengeratkan selimutnya lagi sebab merasa menggigil, "Pijit pijit lagi dong...." pintanya.
Juna menuruti tapi setelah itu ia mengumpat sendiri dengar penuturan Rion selanjutnya.
"Nurut amat cem babu."
"Perasaan lu pas kecil tuh gemoy banget. Gak tau dijejalin duit haram apa gimana sampe gedenya blangsak gini."
Rion tergelak meski sesekali terbatuk dan menarik ingusnya. Ia menarik kuat lengan Juna dan memeluknya seperti guling saat melihat Juna mau beranjak pergi, "Temenin gue tidur."
"Ogah, tidur ndiri," tolak Juna mentah-mentah menarik berusaha menarik lengannya namun tak berhasil.
"Ayolah bang.... Jarang-jarang nih gue mau manja-manja ama lo. Jarang-jarang juga lo perhatian ama gue. Ini kesempatan emas, tidak boleh disia-siakan," bujuk Rion dengan memelas.
Juna mengernyit heran, "Perasaan tadi gue ngasih lo teh manis bukan miras, napa jadi ngelantur cem orang mabok gini?"
Kesal, Rion menghempas kasar tangan Juna yang sedari tadi di peluknya. Ia menatap sinis lelaki itu, "Dahlah, malesin ngomong ama lo."
Juna Cuma mengedikkan bahu acuh dan benaran beranjak pergi tanpa pikir panjang. Membuat Rion menatap tak percaya dengan makhluk tak berperasaan itu.
"AIH BANG LO MAH TEGAAA!!!"
.....................................
'Gue keluar sebentar. Kalau ada apa-apa cepat kabarin gue. Jangan coba-coba kelayapan lo!'
Begitulah kira-kira pesan yang Juna tinggalkan pada kertas yang ia selipkan di bawah gelas di atas nakas Rion. Sementara Rion yang terbangun karena suara petir baru sempat membaca pesan yang sudah ada disana lebih dari tiga jam itu.
Dalam suratnya, Juna juga menambahkan catatan kecil dibagian bawah yang nyaris tak terlihat kalau saja Rion tak jeli. Katanya lelaki itu akan pulang paling lambat jam 11 malam ini. Tapi sekarang sudah lewat satu jam dari yang dijanjikan dan dia masih belum kembali juga. Rion bisa menebak Juna belum pulang sebab surat itu masih ada disana, soalnya kalau Juna sudah pulang sebelum Rion bangun dia pasti mengambil surat ini dan membuangnya.
Namun Rion mencoba berpikir positif. Dia keluar dari kamar untuk memeriksa keberadaan Juna. Beruntung lampu-lampu masih menyala, jadi Rion leluasa menjelajahi area rumah meski masih harus membawa selimut untuk menutupi tubuhnya. Sebab rumah yang kosong dengan backsound hujan dan petir yang menyambar-nyambar adalah kombinasi paling menyeramkan baginya.
"Ngapain kamu?"
"WUAAA!"
Rion terlonjak kaget begitu pun Erick yang barusan menegurnya. Rion menatap horor sepupunya itu yang datang-datang make mantel hitam udah kayak psikopath lagi nyari mangsa.
"Ngagetin aja kamu tuh!" kesal Erick menabok lengan Rion yang berbalut selimut.
Rion tak terima, "Aku juga gak bakal kaget kalau mas gak nongol cem jailangkung begitu!"
Erick mengelus dada sabar dan melepas mantelnya terlebih dahulu.
"Lagian ngapain sih pake mantel segala? Gunanya mobil situ yang segudang tuh apaan coba?"
"Mas tadi buru-buru kesini habis dari rumah sakit. Gak sempat ngambil mobil ke rumah dulu jadi pakai motor yang mas bawa tadi pagi aja kesininya," jelas Erick berjalan menuju dapur dengan kantong kresek di tangannya.
"Ada apa emangnya sampe ngebet banget kesini? Terus itu apa?" tanya Rion beruntun sambil membuntuti langkah Erick menuju dapur.
"Ini soto," kata Erick menuangkan makanan berkuah yang masih mengepulkan uap panas itu ke mangkuk, "Tadi mas dapat kabar kalau kamu sakit dan gak ada yang jagain."
Rion yang sempat tergiur dengan aroma rempah dari kuah soto itu mengernyit heran, "Siapa yang ngabarin?"
"Juna."
Mendengar nama Juna disebut-sebut Rion jadi keingat lagi dengan abangnya itu, "Bang Juna katanya mau pulang jam sebelas paling lambat, Mas. Tapi sampe sekarang masih belum pulang juga. Aku takut dia kenapa-napa."
"Paling juga lagi asik nongkrong sama temen-temennya. Mau pulang tapi gak bisa karena kejebak hujan," ujar Erick acuh tak acuh. "Mending lepas deh itu selimut kamu, nih makan."
Rion menurut dan duduk di meja makan. Tapi hatinya masih belum tenang juga, "Tadi bang Juna pas ngabarin Mas ada bilang dia lagi dimana?"
Erick membereskan sampah bekas bungkusan soto yang dibawanya, ia mengedikkan bahu sebagai tanggapan untuk pertanyaan Rion, "Dia cuman ngabarin tentang kamu doang trus telponnya ditutup gitu aja."
Rion makan dengan kepala penuh tanda tanya. Dia tak bisa berpositif thingking begitu saja seperti Erick. Sebab dia tau kalau Juna memang gak terlalu dekat dengan sepupu-sepupu mereka. Jadi kalau Juna sampai harus menghubungi Erick untuk menjaganya itu artinya pasti terjadi sesuatu yang amat mendesak sampai Juna harus melakukan hal tersebut.
Dan benar saja. Besoknya sekitar jam 9 pagi, saat gerimis masih tersisa di luar sana, Juna pulang dalam keadaan yang tak bisa dibilang baik. Wajahnya sangat pucat serta sudut bibirnya yang tampak sobek dengan matanya yang memerah. Sial bagi Juna karena orangtuanya sudah pulang pagi itu dan menantinya di ruang tamu.
"Dari mana saja kamu?" tanya Edward dengan tatapan tajam terhunus pada putra sulungnya yang tampak berantakan itu.
Juna tak menjawab. Dia hanya berdiri di hadapan ayahnya yang duduk di sofa dengan kepala tertunduk menatap lantai.
"Lingga, lihat ayah kamu dan jawab pertanyaannya," ujar Sandra yang duduk di sebelah Edward.
Namun Juna masih tidak begerak di posisinya dan terdiam seperti tadi.
"Apa kamu mengabaikan perkataan kami, Lingga?" ujar Edward dengan pandangan menghunus tajam. "Apa sekarang? Kamu mau belajar membangkang? Iya?!"
Sandra menenangkan suaminya yang mulai tersulut dengan keterdiaman Juna. Ia menghela nafas sebelum kemudian beranjak berdiri mendekati Juna. Tangannya terangkat menyentuh lengan atas Juna, ia sedikit mengernyit saat merasakan jaket denim yang anak it gunakan sedikit lembab.
"Lingga, apa bisa kami bicara dengan kamu untuk saat ini?" Sandra bertanya pelan.
"Maaf," ujar Juna lirih.
"Maaf untuk apa?"
Juna tidak menjawab lagi. Membuat Sandra menghela nafas lelah, "Kenapa diam? Coba jel--" ucapan Sandra terhenti seketika saat tangannya yang berniat mengangkat wajah Juna yang tertunduk merasakan betapa dinginnya wajah sang putranya. Bahkan ia baru sadar kalau sedari tadi Juna menggertakkan giginya kuat-kuat seakan tengah menahan rasa dingin yang membuat badannya menggigil.
"Lingga, kamu kenapa?!" tanya Sandra panik saat merasai seluruh tubuh Juna menggigil kedinginan. Mata anak itu tampak sayu lalu tak lama tubuhnya ambruk.
Edward spontan berdiri menangkap tubuh Juna agar tak jatuh ke lantai. Ia membawa anak itu untuk dibaringkan ke sofa, "Lingga? Hey! Kamu dengar ayah? Lingga!" panggilnya menepuk-nepuk pipi Juna.
Namun tak ada respon selain mata Juna yang terpejam dan nafasnya yang perlahan terasa semakin samar.
................................
Juna terkena hipotermia. Beruntung ia segera dilarikan ke rumah sakit dan mendapat penanganan segera. Edward berusaha mencari tau sendiri apa yang terjadi pada anak itu semalam. Dan ia mendapati laporan bahwa Juna menemui temannya yang dirawat di rumah sakit setelah mendapat kabar bahwa temannya itu tengah kritis. Dan kabar buruknya, temannya meninggal malam itu sekitar jam 10 dan dimakamkan pagi harinya.
Edward memijit pelipisnya setelah mengetahui hal tersebut. Dia tak terlalu tau dengan lingkup pertemanan Juna. Namun melihat kondisi Juna jadi sekacau itu, pastilah temannya ini sangat berharga baginya. Edward urung memarahi Juna akibat kelalaiannya yang meninggalkan Rion yang sakit seorang diri di rumah. Ditambah kondisi Juna yang bisa dibilang tak baik-baik saja membuat ia merasa bersalah sudah bersikap dingin pada putranya itu pagi ini.
Tapi apakah benar semua itu yang terjadi pada Juna? Karena pada kenyataannya, malam berhujan itu Juna lalui dengan lebih panjang dan menyakitkan ketimbang hanya sekedar kehilangan teman yang berharga baginya. Lagi-lagi, Edward , melakukan kesalahan fatal dimana ia langsung menyimpulkan begitu saja semua yang terjadi dan tak mencari kebenarannya lebih terperinci.
.............................
Flash Back, malam sebelumnya.
Pukul 20:47.
'Apa jadinya kalau adik yang amat kamu sayangi ini mati? Akankah kamu ikut mati dengannya juga?'
From D
Juna mematung setelah mendapati pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya. Dan anehnya, pesan dengan pengirim berinisial D itu bukan kali ini saja datang padanya. Juna sudah berkali-kali memblokir ataupun membalas dengan ancaman akan melaporkan pemilik nomor tersebut. Namun dia terus-terusan meneror Juna lewat pesan ataupun foto-foto tentang dirinya dan keluarganya yang seolah menyiratkan bahwa orang itu mengawasi semua pergerakan mereka.
Dan yang terparah adalah saat ini, ketika dia mengirimkan pesan disertai sebuah foto Rion yang tengah terlelap di kamarnya. Juna buru-buru berlari ke kamar sang adik begitu melihat foto itu. Nafasnya terengah saat tiba disana dan mendapati tak ada siapa-siapa selain Rion yang masih tidur dengan tenang.
Dengan jantung berdebar cemas, Juna dengan tangan gemetar memeriksa kondisi Rion. Ia bernafas lega saat mendapati Rion baik-baik saja, demamnya juga sudah agak mendingan dari yang tadi.
Beralih dari sana, Lingga menatap pintu balkon kamar Rion yang terbuka ketika merasakan angin yang bertiup masuk dari sana. Ia menatap Rion sekali lagi, kemudian mendekat menuju balkon untuk menutup pintunya. Dan ketika pintu hampir tertutup sempurna, dari celah kecil itu Juna melihat seseorang berdiri dibawah tiang lampu di depan rumahnya.
Dalam hujan, orang dengan mantel hitam itu mengangkat ponsel yang ia pegang. Dan dalam hitungan detik, flash menyala. Tak lama ponsel di tangan Juna bergetar. Ia menatap pesan dari nomor asing yang barusan mengiriminya gambar Rion. Sekarang yang dikirimkan justru gambar balkon kamar Rion dengan Juna yang berdiri di balik pintu kaca yang hampir tertutup.
Juna menahan nafas sesaat ketika melihat itu. Tangannya gemetar bahkan ia nyaris menjatuhkan ponsel yang di pegangnya. Ia menatap keluar lagi, tapi orang itu sudah tak disana. Menghilang entah kemana. Juna buru-buru menutup rapat pintu balkon dan menguncinya. Ia menarik gorden dengan cepat setelahnya.
......
Pukul 21:47
'Oh, ya. Bukannya kamu punya seorang teman yang lusa akan keluar dari rumah sakit? Bagaimana jika saya membuatnya keluar dari tempat terkutuk itu lebih cepat? Malam ini mungkin?'
-D
Juna terkesiap setelah membaca pesan itu. Ia melihat Rion yang masih tertidur di sebelahnya lalu mencoba menghubungi Bagas, temannya yang seminggu belakangan di rawat karena mengalami kecelakaan kerja di tempat konstruksi tempatnya bekerja.
Tidak ada jawaban. Membuat Juna mulai berkeringat dingin. Ia menatap Rion sebenar lalu bergegas menuju kamarnya untuk mengambil jaket dan kunci motor. Juna kembali lagi ke kamar Rion untuk meletakkan sebuah surat agar adiknya itu tak kebingungan saat tiba-tiba terbangun nanti.
"Setelah mastiin Bagas aman, gue bakal pulang," ujar Juna pelan mengusap surai Rion lalu begegas pergi. Saat dibagasi, ia ragu untuk meinggalkan Rion sendirian. Jadi dia putuskan untuk menghubungi salah satu sepupunya, Erick. Cuma kontak sepupunya yang satu itu yang Juna punya, makanya dia meminta tolong padanya. Dia bergegas pergi dengan segera setelah yakin Rion akan aman di rumah sendirian.
..................
Pukul 22:47
Bagas menghembuskan nafas terakhirnya setelah berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut keterangan dokter, Bagas terkena serangan jantung dan sempat kritis. Hingga kini nyawanya tak bisa terselamatkan lagi.
Juna hanya bisa berdiri kaku melihat raga Bagas yang terbujur kaku ditangisi oleh Bunda Aisyah, ibu panti yang merawat Bagas sedari kecil. Bagas adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal dipanti asuhan. Juna sudah mengenalnya sedari SD. Dan Bagas tidak melanjutkan jenjang pendidikan ke SMA lantaran dia harus bekerja untuk menopang keuangan di panti dan membiayai adik-adiknya yang lain di panti.
Bagi Juna, Bagas adalah teman yang luar biasa. Dia adalah orang hebat yang mengajarkan Juna tentang arti hidup yang sesungguhnya. Bagas adalah sosok tak tergantikan yang menjadi tempat bergantung pagi puluhan adik-adiknya di panti yang memilik nasib sama sepertinya.
Dan sekarang, orang yang menjadi pelita dan harapan semua orang itu telah pergi. Meninggalkan raungan kesedihan yang mendalam dan menyayat hati. Kepergiannya yang amat tiba-tiba bagai sebuah mimpi buruk yang akan segera hilang setelah terbangun dari tidur. Ini terlalu mengejutkan untuk dianggap sebagai kenyataan. Sebab siangnya, Bagas masih bisa bencanda tawa dan bersikap tengil seperti biasanya. Namun hanya beberapa jam kemudian, laki-laki itu tiba-tiba saja telah tiada.
Juna bahkan tak mampu menangis saking tidak dapat dipercayanya kenyataan ini. Ia hanya terdiam kaku dengan tatapan kosong berusaha menentang relita beribu-ribu kali dalam hatinya.
............................
Pukul 23:47
'Bagaimana? Dia sudah pulang kan sekarang? Semua orang terlihat bahagia atas kepulangannya. Mengharukan sekali.'
-D
Juna mencengkram erat ponselnya begitu pesan itu selesai ia baca. Ia menggertakkan giginya kuat-kuat menahan amarahnya agar tak meluap disini. Dia berusaha menghormati penghuni panti yang tenga berduka akibat kepergian Bagas. Baru beberap menit lalu jenazah Bagas sampai di panti. Dan ditengah tangisan orang-orang yang berduka serta petir yang menggelegar di luar sana, bajingan gila itu kembali mengirimi pesan yang menyulut amarah Juna.
Yang lebih gila lagi, dia mengirimkan foto Juna yang tengah berdiri memegang ponsel di teras luar. Mata Juna langsung menatap nyalang sekitarnya. Ia menatap kesana kemari, dan diantara rintik hujan yang turun dengan lebat ia menemukan sosok dengan mantel hitam persis seperti yang ia lihat di depan rumahnya beberapa jam lalu.
Tanpa pikir panjang, dengan emosi yang memuncak Juna mengejar bajingan itu. Bila benar dia terlibat dalam kematian Bagas, maka Juna bersumpah akan membunuh keparat itu dengan tangannya sendiri.
.....................................
Pukul 00:47
'Kamu terliat kelelahan, apa perlu saya beri sedikit semangat?'
-D
Juna menyugar rambutnya yang basah dan duduk di halte. Hujan semakin lebat dan ia tak peduli sama sekali dengan itu. Bahkan tubuhnya yang basah kuyup saja tidak Juna pedulikan. Dia mendial nomor keparat itu namun langsung direject. Bersamaan dengan itu sebuah video dikirimkan padanya.
"Bagas...." gumam Juna saat melihat wajah Bagas yang diterangis flash dari ponsel di video itu. Bagas yang terbaring di brankar tampak kesakitan memegang dadanya, dia kesulitan bernafas dan merintih meminta tolong. Tapi justru suara tawa cekikikan seseorang yang terdengar. Seolah ia tengah menikmati sebuah tontonan menarik di depan matanya.
"BRENGSEK!!!" Juna membanting ponselnya dengan amarah tak terbendung. Seluruh tubuh bahkan bergetar karena amarah. "ANJING KELUAR LO! BAJINGAN! GUE BUNUH LO SEKARANG JUGA! BANGSAT! ARRGGHHH!!!"
.........................................
Pukul 01:47
"Hahaha....." pria dengan setelan serba hitam dan sebuah topeng kelinci menutupi wajahnya itu tertawa memegang perutnya. Seolah pemandangan Juna yang meringkuk di aspal di depannya adalah hal terlucu yang pernah ia lihat. "Lucu sekali..... Hahahaha......"
"Tadi siapa yang begitu semangat ingin membunuh ku? Lihat sekarang, kamu bahkan tidak berdaya sama sekali," ujarnya memainkan jarum suntik yang berisi obat bius yang barusan ia suntikkan pada Juna. "Mudah sekali memang, kalau mau membunuhmu. Tapi saya tidak akan puas jika kamu pergi dengan semudah itu."
Ia menyeringai dibalik topengnya. Dia berjongkok di samping Juna yang berusaha tetap sadar. Membuatnya terkekeh geli melihat usaha sia-sia anak itu. Terlebih ketika ia melihat sudut bibir Juna yang sobek akibat tamparannya tadi. Ia terlihat puas sekali kemudian mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Terakhir dia menyisipkan ponsel yang sempat Juna banting tadi ke saku celana anak itu. Setelah dirasanya cukup, dia melenggang pergi dengan santai meninggalkan Juna yang tak sadarkan diri dibawah lebatnya hujan menimpa bumi.
...............................................
Setelahnya, beberapa jam kemudian, Juna terbangun disana saat hujan sedikit reda. Ia sama sekali tak peduli dengan apa yang terjadi pada dirinya dan kembali ke panti. Juna menangis keras di kaki Bunda Aisyah memohon maaf membuat wanita itu kebingungan.
"Maaf, Juna gak bisa jagain Bagas. Maaf, Bunda, maaf....."
Bunda Aisyah yang tidak tau apa-apa pun menenangkan anak itu. Dia tau Juna adalah teman dekat Bagas dan kerap membantu-bantu di panti. Dia mewajarkan sikap Juna sekarang ini karena berpikir Juna pasti sangat terpukul akibat kepergian Bagas yang tiba-tiba.
Dan kemudian, setelah semua dipersiapkan dan pemakaman Bagas dilangsungkan. Juna akhirnya kembali ke rumah dengan hati yang hancur dan rasa bersalah yang medalam karena menurutnya, Bagas sudah pasti akan kembali dengan kondisi sehat esok harinya bila saja dia tak terlibat dengan Juna.
...................................................
Gimana?Next kah?
Atau sampai sini aja?

KAMU SEDANG MEMBACA
ADIOS
Roman pour Adolescents.............. "Kamu menderita sekali, bukan? Apa kamu tau? Jika kamu mau, saya bisa membuat kamu pergi jauh dari semua ini. Hanya satu anggukan darimu, saya akan buat semua rasa sakitmu menghilang seketika. Bagaimana? Bukankah ini tawaran yang men...