Selamat Tinggal

901 115 0
                                    

......

Juna bermimpi buruk. Dia memimpikan hal-hal mengerikan tentang kepergian Bagas. Tentang pria berinisial D. Tentang insiden Rion. Juga tentang fakta menyakitkan terkait dirinya.

Namun, ketika melihat wajah sendu orangtuanya ketika ia menanyakan perihal Rion, Juna seolah disadarkan. Dia seolah ditampar dengan kenyataan, bahwa semua yang terjadi itu benar adanya. Namun belum sempat ia bersedih kembali, Juna teringat sesuatu yang teramat penting.

"Ayah, Om Ren...."

Rahang Edward tampak mengeras ketika Juna menyebut nama itu. Ia berusaha menekan amarahnya dan mengusap pelan kepala Juna, "Tidak usah pikirkan dia. Ayah sudah tau semuanya. Polisi sedang melacak keberadaannya saat ini."

Juna tertunduk, "Maaf...."

Sandra meraih tangan putranya itu, "Kenapa minta maaf?" tanyanya dengan tangan terulur mengusap keringat di pelipis Juna. Ia tersenyum miris saat melihat perban yang menutupi jahitan di kepala anak itu.

"Maaf, karena gara-gara aku, Rion pergi dari kita."

Sandra terpaku, begitu pun dengan Edward. Ucapan Juna yang begitu lirih membuat mereka kembali menyesali berbagai hal yang terjadi sebelumnya.

"Kamu gak salah," ujar Sandra mengangkat wajah Juna yang tertunduk begitu dalam. "Rion pergi karena takdir. Itu bukan salah kamu."

Juna menggigit bibir, matanya terasa memanas. Logikanya mengatakan tak seharusnya mengatakan ini. Namun hatinya memaksakan mengeluarkan apa yang tengah berkecamuk di pikirannya saat ini.

"Tapi, kalau aku gak ada, Rion bakal baik-baik aja."

Tangis Juna pecah. Sandra langsung memeluknya dengan tangis yang sama. Sementara Edward memilih beranjak keluar karena tak kuasa terus berada di tengah-tengah atmosfer yang menyesakkan itu. Ia memilih menyendiri di lorong rumah sakit yang sepi.

Sampai saat ini, Edward masih tidak menyangka kalau Ren adalah dalang di balik semuanya. Terlebih ketika mengingat pesan-pesan berisi teror yang terdapat di ponsel Juna. Harusnya Edward bisa menebaknya. Orang yang bisa dengan bebas keluar masuk rumahnya selain keluarganya. Orang yang mengetahui semua tentang Juna. Tentu saja dia Renhart Adante. Inisial D yang menegaskan nama 'Dante' di belakang namanya.

Edward benar-benar merasa bodoh sampai tidak menyadari hal itu. Dan lebih bodohnya lagi, dia justru mempercayakan kasus Rion pada Ren yang tak lain adalah pelaku yang ia cari-cari.

Edward merasa gagal sebagai seorang ayah. Dia gagal melindungi Rion. Dan sekarang dia pun nyaris saja kembali kehilangan satu putranya.

Edward merutuki dirinya habis-habisan. Terlebih ketika mengingat banyaknya luka dan memar di tubuh Juna. Dan bisa dipastikan orang yang melakukannya adalah Ren.

Edward jadi semakin ingin membunuh pria itu dengan tangannya menyadari betapa banyak penderitaan yang anaknya alami karena Ren. Dia bersumpah akan menemukan bajingan itu bagaimana pun caranya dan memberikan hukuman yang setimpal. Bahkan bila dia harus menjadi penjahat, Edward tidak peduli. Siapapun yang mengusik keluarganya, mereka harus mati!

..................

Juna tidak tau apa yang terjadi disini. Dia hanya diam ketika Ratna memeluknya sembari menangis. Begitupun Emili yang menatapnya penuh penyesalan. Sebenarnya bukan Emili saja, tapi semua orang yang hadir disana.

Ruang rawat Juna mendadak ramai. Sebab nyaris semua keluarga Mahendra ada disana. Juna tak tau apa yang menggerakkan hati mereka. Tapi tatapan dingin yang dulunya tertuju untuknya kini tak lagi Juna temui.

Sampai ketika fakta itu diungkapkan padanya. Juna hanya bisa terkekeh miris dengan takdir yang seolah tiada lelahnya mempermainkan dirinya.

"Bunda bercanda, kan? Ini gak lucu sama sekali."

ADIOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang