01.

15 1 0
                                    

Namira menghela napas. Rasanya suntuk dan bosan. Sedari tadi ia menunggu balasan dari Frans. Sepertinya, laki-laki itu sedang sibuk dengan tugas-tugasnya. Namira akan selalu memakluminya.

Namira dan Frans memang dekat. Hubungan mereka tidak jelas. Kadang seperti orang pacaran, kadang hanya seperti berteman. Namira tidak tau seperti apa perasaan Frans padanya. Namira pun tidak berani menanyakannya.

"Ra! Keluar, makan!" Teriakan Kak Sandy membuat Namira terlonjak kaget.

"Iya-iya! Biasa aja, gak usah teriak!" balas Namira kesal.

Mau tidak mau Namira harus beranjak. Sebenarnya malas, tapi Kak Sandy itu tegas. Setegas Papanya. Namira tidak bisa melawannya.

"Anak perempuan bukannya bantuin Mama masak, di kamar mulu," cibir Kak Sandy.

"Mama aja gak nyuruh," balas Namira.

"Harus disuruh dulu gitu?" Namira menatap Kak Sandy malas.

"Udah-udah. Kalian itu, ya, berantem mulu," lerai Bu Zaskia---Mamanya mereka. Pusing melihat kedua anaknya tidak pernah akur.

Mereka akhirnya diam karena sang penguasa rumah berjalan ke arah meja makan. Siapa lagi kalau bukan Papa. Yang hanya bisa mengendalikan Papa, ya Mama.

"Ada keributan apa? Suara kalian kedengaran sampai ruang kerja Papa," kata Pak Julian---Papa mereka sembari menatap kedua anaknya tajam.

Baik Namira maupun Sandy bungkam. Mereka saling tatapan dan memberikan kode. Kemudian, dengan kompak menatap sang Mama meminta bantuan.

"Gak ada apa-apa, Pa. Biasalah," kata Bu Zaskia membuat Namira dan Sandy bernapas lega.

Untungnya Pak Julian tidak memperpanjang sesi tanya beliau. Dia lalu memimpin doa makan, dan mereka pun makan dengan keadaan hening. Ya, peraturan di rumah keluarga Dwiraharja memang sangat ketat. Jika sedang makan, tidak ada yang boleh bersuara, apalagi memainkan ponsel.

Didikan Pak Julian memang keras. Dia tidak ingin kedua anaknya menjadi manja. Tegas, tapi sebenarnya lembut.

***
Namira mengecek ponselnya. Senyumnya merekah kala mendapatkan notifikasi dari Frans. Dengan mata berbinar, Namira mulai membaca kata demi kata yang diketik oleh Frans.

Terselip gomabalan receh di pesan itu. Meskipun receh, tapi tetap membuat Namira salah tingkah. Frans setiap harinya tidak pernah absen mengirimkan gombalannya.

Mereka jarang sekali bertemu. Sekalinya bertemu, harus ditemani Sandy. Ingat, Pak Julian sangat tegas. Dia tidak akan mudah mengizinkan anak gadisnya bertemu dengan seorang pria.

"Kak Frans, aku cinta banget sama kamu. Kapan, sih, kita resmi jadian?" gumam Namira penuh harap.

Tring!

[Ra, aku punya tebak-tebakan, nih.]

Jari Namira mulai mengetik. Membalas pesan dari Frans. Tak lama kemudian, suara nada dering kembali terdengar.

[Ayam, ayam apa yang nyebelin?]

Namira menatap langit-langit kamarnya, sedang berpikir. Apa, ya? Karena tidak menemukan jawabannya, Namira membalasnya tidak tau.

[Yah, kok nyerah, sih? Coba pikir lagi.]

Namira berdecak. Jalan terakhirnya adalah bertanya pada Simbah Google.

Mereka akhirnya harus berhenti saling mengirim pesan karena pukul sudah menunjukkan angka 22. Namira harus segera tidur, begitupun Frans yang memang ingin tidur cepat.

Yang Namira sukai dari Frans adalah dia rajin beribadah. Frans juga sering mengingatkan Namira agar tidak meninggalkan sholat. Frans juga termasuk pekerja keras. Meski keluarganya cukup berada, tapi Frans tidak mau menggunakan privilage itu. Bahkan, dia membayar biaya kuliahnya dengan uangnya sendiri. Tidak heran jika Namira sampai jatuh hati dengan Frans.

CINTA NAMIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang