Yang Namanya Melamar Tanpa Cinta Itu Susah

28 3 0
                                        

Apa aku bermimpi? Pertemuan dengan Senpai Ian dan Senpai Grisel siang tadi terasa seperti mimpi. Sesaat tetapi cukup menyengat hati seperti matahari yang waktu itu tengah memanggang bumi.

Perasaan tidak nyaman apa itu? Kenapa aku merasa jadi pelakor? Padahal sejak kami berpisah kurang lebih dua tahun lalu, aku dan Senpai Ian sama sekali tidak pernah kontak secara privat. Saat bertemu di tempat latihan juga kami malah tambah menjaga jarak. Apalagi setelah Senpai Ian lulus dan bekerja di lain kota, makin terbentang rentang di antara kami. Seharusnya aman, kan ya. Maksudku, hatiku tidak menjadi absurd.

Ah, sudahlah. Setelah masa waktu bulan madu selesai, mereka pasti akan meninggalkan kota ini. Muskil akan ada pertemuan-pertemuan tidak terduga seperti tadi.

Yang terpenting sekarang is business!

Ketika memikirkan tentang usahaku sekarang. Aku sangat merasa belum melakukan apa-apa. Tampaknya aku hanya menunggu keajaiban akan datang sebagaimana datangnya bintang jatuh. Dengan memulung ke sana ke mari, bukankah seperti menunggu orang lain membuang sampahnya lalu kupungut satu persatu.

Aku mendesah lalu membuka peramban dari ponselku. Mencoba mencari inspirasi dari mengetikkan; bisnis sampah.

Banyak sekali berita termuat di sana. Hingga pada akhirnya ada satu tulisan yang menggelitik mengenai bank sampah. Jariku kemudian telah menyentuh agar bisa masuk lebih dalam mengenai ulasan artikel. Setelah membaca dengan saksama, model bank sampah ternyata membutuhkan modal.

Kuubah kalimat pada mesin pencarian dengan kata-kata sampah di Purwokerto. Mengulir satu persatu setiap berita yang salah satunya mengungkap bahwa sampah pernah menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan. Tetapi dengan kehadiran TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu) yang berada di beberapa titik di kota ini, masalah sampah sedikit teratasi.

Rasanya aku bermain ke ranah sana. Membuat TPST tersebut. Posisi tubuhku yang semula tiduran dengan segera terduduk seperti matahari yang terbit terlalu cepat. Benar aku memang tidak punya modal untuk mencari sampah lebih banyak. Akan tetapi aku mungkin bisa mendapatkan uang dari sampah itu dengan mudah.

Kenapa tidak?

Aku telah melompat dari ranjang ingin segera menemui Pak Talim. Namun, begitu mendapati ruangan tengah rumah gelap, aku mengurungkan keluar kamar. Ini masih tengah malam, woi!

Sejenak aku mondar-mandir di kamar. Mungkin aku perlu membuat proposal terlebih dahulu. Proposal yang isinya kerja sama dalam hal pembuangan sampah. Aku nanti bisa menebar proposal itu ke kantor kepala desa atau kelurahan, ke instansi yang memiliki banyak warga seperti sekolahan atau rumah sakit dan perusahaan yang ada di Purwokerto, yang tentunya belum tergabung di TPST yang ada.

Untuk output-nya aku harus bisa mencari pabrik daur ulang yang mau bekerja sama. Perlu mencari info lebih jauh nih.

Nah, yang penting sekarang adalah mencari sumber sampah terlebih dahulu. Tentu saja. Aku pun mulai mencoretkan kata-kata pada selembar kertas, sambil sesekali mencontek bentuk dan isi proposal yang ada dalam rengkuhan Mbah Google.

Jadi, nanti aku rencananya mengajukan sebuah penawaran jasa pengambilan sampah. Ada tarif yang kutawarkan sebagai jasa itu. Dan untuk melakukan itu, aku sangat butuh bantuan Pak Talim.

Hosh! Aku mengepalkan dua tangan di atas meja sejajar dengan kertas yang telah penuh dengan tulisan seperti tugas akhir yang pernah kubuat.

Besok pagi aku tinggal berkonsultasi dengan Pak Talim. Kalau beliau setuju, aku tinggal mengetik rancangan proposal ini ke rentalan. Semoga Pak Talim bersedia membantu rencanaku. Termasuk agenda perekrutan orang untuk menjemput sampah. Bukankah, bila sudah mendapat pelanggan serta pendapatan yang pasti kita bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain?

Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang