"Erli!" teriakku menghambur ke kamarnya.
"Apa?" Erli yang sedang menata rambut terkejut dengan kedatanganku yang tanpa permisi. Bahkan terkesan mendobrak pintu. Wajahnya berkerut-kerut.
"Aku antar kamu ke tempat kerjamu ya?" kataku riang. "Layanan antar jemput gratis, pokoknya."
"Mmm, tumben. Kamu enggak milah sampah?" Erli cukup heran dengan tabiatku hari ini. "Katanya sampah is money." lanjut Erli sambil memastikan sanggulan rambutnya telah rapi.
"Mengantar kamu, kan sebentar. Tapi aku juga mau cuci mata, ding." balasku. "Sesekali libur nggak dosa, toh?"
"Nah, gitu." Erli menjentikkan jari. "Sering-sering aja kayak gini,"
"Spesial untuk hari ini aja aku membuka kebaikan hati."
"Ada sesuatu?" tanya Erli curiga menoleh padaku yang sudah duduk di ranjangnya.
"Jumat berkah," balasku menemukan satu jawaban yang menurutku tepat.
"Berarti Jumat depan, lagi?" Erli mengoleskan lipstik ke bibirnya.
"Enggak janji."
"Kok gitu? Nggak konsisten." rutuk Erli. Dia telah bergerak memilih tas yang tergantung seperti pajangan di toko tas pada satu sisi lemari.
Aku memandanginya dengan kosong. Kata-kata Erli cukup menimpukku. Terkait hatiku mengenai Senpai Ian.
"Heh, bengong! Jadi nganter nggak?" Tangan Erli mengibas-kibas di depan wajahku.
"Iyalah," sahutku mencoba berlagak biasa. Padahal hatiku kebingungan menentukan arah.
Namun, dengan mengantarkan Erli, aku merasa menemukan tempat pelarian sejenak. Selepas itu mungkin aku bisa windows shopping dulu. Jalan-jalan, muter-muter saja, buat menghilangkan penat.
Erli sudah siap diboncengan motor jadulku. Pukul dua kurang lima belas menit, aku memacu motor dengan kecepatan sedang.
"Bisa cepat dikit, enggak?" protes Erli yang biasa bawa motor kayak pembalap.
"Sabar, yang penting selamat sampai tujuan." ucapku sembari memaling ke samping dengan mata tetap melirik ke depan. Takut menabrak emak-emak yang pasang lampu sein ke kanan tapi justru belok menikung ke kiri.
"Tahu gini, tadi aku yang di depan." keluh Erli kemudian.
Mau tak mau aku jadi tertawa ngikik geli. Mengendarai motor dengan pelan begini menurutku ada sensasi tersendiri. Menikmati hembusan angin yang menerpa memberi kesegaran meski tak suci lagi, lalu merasai matahari yang menghangatkan hati, meski menjahati kulit dengan sinar UV. Situasi tersebut lumayan menghibur hawa dingin yang mencengkeram hati.
Begitu tiba di Moro, Erli memprotes lagi karena aku justru masuk ke tempat parkiran.
"Lah, kok malah parkir?" kata Erli sambil turun dari boncengan motor. "Kamu mau belanja sekalian?"
"Mau lihat-lihat aja. Cuci mata." ujarku.
"Cuci mata itu pakai obat tetes mata!" sambar Erli. Tangannya mengulurkan helm padaku. "Eh, aku duluan ya." pamitnya saat melihatku masih berkutat menata helm agar aman.
"Nanti telepon aja kalau mau pulang," kataku pada Erli sebelum gadis itu makin jauh meninggalkanku.
"Oke." sahut Erli melambaikan tangan lalu berlari kecil menuju pintu masuk supermarket.
Siang ini tempat parkir yang dulu selalu penuh sesak, bertambah lengang. Aku melangkah perlahan, seperti kakiku terdapat tambahan beban.
Tiba di ambang pintu masuk yang lebar, mata kuedarkan memindai ke arah mana kaki akan menuju terlebih dahulu. Ke area bazar, ke rak deretan sepatu dan sandal atau melihat-lihat tas yang sama sekali bukan seleraku.
Kemudian aku membiarkan kaki melangkah mengarah ke area bazar barang-barang dengan diskon tinggi. Tumpukan baju, celana hingga pakaian dalam dengan tulisan diskon hingga 70% cukup menggiurkan. Tetapi aku, yang sedang tidak ingin membeli baju hanya mendesis berkali-kali bahwa model yang ada dalam kotak bazar jelek-jelek semua.
Aku melangkah ke area aneka tas wanita. Di sini aku hanya menghela napas, dengan celotehan dalam hati; mahal-mahal amat. Ketika perjalanan diri memasuki ranah sepatu dan sandal, aku sempat mencoba satu dua sepatu atau sandal yang modelnya kusuka. Lalu berjanji dalam hati; nanti kalau punya uang, akan kuambil kamu.
Tiba-tiba suara Virgoun dengan lagunya memenuhi seluruh ruangan. Dadaku kembali sesak. Dengan tergesa-gesa aku segera melangkah keluar sebelum menjadi pingsan.
Aku sungguh butuh udara segar. Aku juga butuh tempat yang tenang tetapi juga tidak mau sendirian. Motor kularikan seolah sedang mengukur setiap jengkal jalan. Pikiranku berloncatan ke sana kemari.
Termasuk kembali menimbang, apakah keputusanku untuk tidak datang ke pernikahan dua senpai-ku sudah benar. Lalu bagaimana jikalau kelak bertemu mereka setelah hari pernikahan? Alasan apa yang akan kuberi. Berkata; bahwa lagu telah kuakhiri?
Sebuah alibi kuat menjaringku supaya tetap bertahan pada pendirian tidak usah datang. Alasan yang kubuat untuk diri sendiri tentu saja. Pertama, karena tidak ada teman. Kedua, rasanya aku tidak akan sanggup menyaksikan Senpai Ian bersanding dengan wanita lain. Aneh memang. Padahal dulu aku yang menolaknya. Alasan ketiga yang terkesan memaksa; malam ini aku ingin menjadi seorang teman yang baik untuk Erli.
Akhirnya aku terdampar di alun-alun. Duduk di bawah pohon beringin di pojokan. Biar saja aku disangka penghuni pohon beringin itu. Biarlah. Aku mengintip jam yang melingkar di tangan. Pukul 17.45 WIB sekarang, jam yang tercantum di undangan Senpai Ian pukul 19.00 WIB. Sebentar lagi mereka akan bersanding di pelaminan.
Baiklah. Aku berdiri menghadap pohon beringin merentangkan tangan ke samping badan lalu mengayunkan secara bersamaan ke arah wajah sambil menghirup aroma segar yang tercipta dari oksigen. Semua akan baik-baik saja La, ayo kita cari makan yang enak.
Kembali aku memacu motor pulang ke rumah. Mandi, salat Magrib lalu mengenakan baju yang terbaik. Pukul 19.15 WIB aku sudah melesat lagi ke jalanan. Tujuanku Choco World. Tempat pernikahan Senpai Ian dan Grisel. Sebuah kafe yang menyaji aneka ragam makanan berbahan dasar cokelat.
Setelah terhadang empat lampu merah, sampailah aku di jalan Tanjung yang merupakan pusat oleh-oleh kota Purwokerto. Menikmati aroma gorengan mendoan membuat perutku jadi lapar. Sabar, sebentar lagi dahaga lapar akan tersiram aneka makanan lezat Choco World.
Detik-detik mendekati Choco World dada semakin berdebar. Melihat deretan mobil yang terparkir di pinggir jalan, pastilah tamu yang datang ratusan. Pelan aku menghela si kuda besi sambil melihat ke area Choco World.
Mendadak aku berubah pikiran. Motor yang seharusnya aku tambatkan pada tempat parkiran motor aku belokkan kembali ke arah berlawanan. Akibatnya aku nyaris menabrak motor lain. Tapi siapa sangka aksi menghindarku justru mendapat sambutan sebuah mobil yang sepertinya hendak masuk ke area parkir mobil.
Brak!
Aku terguling di aspal. Pasrah. Tidak seperti biasanya demikian. Kalau aku mendapat celaka, pasti refleksku otomatis jalan. Langsung meloncat dari sepeda motor, mungkin sekalian atraksi salto biar terlihat jatuh dengan keren. Tidak dengan sekarang. Jatuh dengan tertimpa sepeda motor.
Suasana langsung heboh ada yang menolong, ada yang mengurusi motorku, banyak pula yang hanya menonton.
"Nggak apa-apa, Mbak?" Seorang dari mereka membantuku berdiri.
"Iya, aman, Pak." sahutku setengah meringis sambil memeriksa tubuh sendiri. Hanya ada beberpa luka lecet pada samping telapak tangan sebelah kiri. Yang aku khawatirkan justru mobil yang baru saja aku tabrak. Waduh!
"Shaula?"
"Hah!"
"Tanganmu luka?"
![](https://img.wattpad.com/cover/330415949-288-k182727.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vagabond Trash
RomansaPada suatu malam triple konjungsi Mars, bulan dan bintang Aldebaran menghiasi langit. Shaula sempat berharap bintang yang bersinar paling terang itu akan jatuh dan berubah menjadi satu sosok pria yang tampan, sebagaimana namanya yang terdengar rupaw...