1. Luka yang Berkarat

83 14 25
                                    

Kisah ini dimulai beberapa tahun silam, ketika harta masih menjadi prioritas utama dalam kehidupan dan ketika kasih sayang dengan mudahnya tergantikan oleh setumpuk uang.

Surabaya, 23 Desember 2010

Dinginnya udara pagi berhasil menusuk ke dalam setiap jengkal kulit manusia. Beberapa dari mereka bahkan telah memulai aktivitasnya sejak sholat subuh selesai dilaksanakan.

“Nek, termos nasi ini biar Aksa aja yang bawa ke sekolah pakai sepeda. Nenek nanti tinggal menyusul kalau semua lauk pauknya sudah siap ya?”

Aksara Rinjani, gadis kecil dengan sejuta tawa dalam senyumnya itu selalu membantu nenek dan kakeknya yang berjualan nasi uduk di depan sekolahnya. Tepat di depan SDN 1 Surabaya itu ia bersekolah sekaligus ikut berjualan ketika ada waktu senggang. Ia tak pernah sedikitpun mengeluh kelelahan ataupun merasa malu, justru ia sangat senang jika bisa membantu nenek dan kakeknya berjualan dan mendapat banyak pembeli. Ia juga selalu mengajak teman-teman nya untuk membeli cemilan ringan di tempat neneknya itu.

Gadis yang dianugerahkan kekurangan oleh Tuhan itu, sanggup mengambil hati semua orang yang melihat semangatnya dalam berbuat kebaikan. Sejak lahir mata kanannya tidak bisa berfungsi normal sehingga membuatnya hanya bisa melihat dengan satu mata sebelah kirinya. Namun meski begitu, ia tak pernah putus asa dengan kekurangannya dan justru semakin giat dalam belajar dan membantu neneknya. Ia juga menghabiskan masa kecilnya dengan bermain seperti anak pada umumnya. Kekurangan itu sama sekali tidak mempengaruhi perkembangan dirinya.

“Ya udah, kamu hati-hati bawa sepedanya nak! Nanti kakek biar menyusul kamu setelah pulang dari pasar.”

Aksa mencium tangan neneknya lalu membawa termos nasi yang ukurannya hampir setengah badannya ke boncengan sepeda, “Aksa berangkat ya, Nek, Assalamualaikum.’’

Walaikumsalam.’’

Sejak ia berusia dua tahun, kedua orang tuanya bekerja di luar kota dan hanya pulang satu bulan sekali. Bahkan tak jarang mereka bisa pulang hampir dua bulan sekali, itupun hanya sekedar untuk menengok keadaan rumah saja.

Aksara pun dititipkan kepada kakek dan neneknya selama orang tuanya bekerja. Semua keinginannya pasti terpenuhi, apapun yang ia minta pasti akan dibelikan oleh orang tuanya. Sesuatu yang temannya belum punya, ia pasti sudah punya lebih dulu. Hidupnya sangat jauh dari kata kekurangan kecuali dalam satu hal, kasih sayang.

Meskipun kakek dan neneknya melimpahkan segenap kasih sayang kepadanya bahkan lebih daripada apa yang bisa diberikan orang tuanya, tapi kasih sayang orang tua tetap tidak akan bisa tergantikan oleh apapun. Ia sering melamun ketika melihat teman sebayanya bermain dan ditemani oleh kedua orang tua mereka, ia selalu berfikir kapan bisa berada di posisi seperti temannya itu.

“Kalau kamu rajin belajar, bisa jadi juara satu di kelas pasti Ibu sama Ayah akan pulang dan selalu menemani kamu di rumah. Kamu juga boleh minta apapun yang kamu mau.’’

Perkataan ibunya selalu saja terngiang di kepala gadis kecil itu. Ia selalu belajar dengan giat agar bisa mendapat juara di kelasnya. Ia sangat ingin bisa selalu ditemani orang tua ketika ada acara sekolah maupun saat pergi bermain. Ia pernah sampai menangis saat mendapat juara dua ketika ujian akhir semester satu karena kondisinya saat itu yang memang kurang fit.

Ketika nilainya turun, Ibu dan Ayahnya tidak pulang meskipun untuk sekedar mengambil raport. Mereka malu jika anaknya mendapat nilai yang kurang bagus. Meski sekuat apapun Aksara belajar siang dan malam, jika kondisinya sedang kurang fit pasti konsentrasinya akan buyar. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri dan mengingat kejadian itu agar tidak lagi terulang. Ia tidak ingin membuat orang tuanya kecewa karena telah bersusah payah mencarikan uang untuk kehidupannya.

Lentera AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang