Sebagai karyawan baru, Jerini sangat bersemangat dalam pekerjaannya. Menjadi karyawan di salah satu perusahaan properti untuk fasilitas industri yang telah memiliki beberapa cabang di Jabodetabek adalah karier yang sejak lama dia impikan. Sehingga dia berasumsi Gandhi yang baru dua bulan menjadi suaminya itu memiliki keinginan yang sama. Saat itu Jerini memang tidak peka pada penolakan yang disampaikan oleh Gandhi. Dengan penuh semangat dia meminta suaminya bergabung dengannya.
Gandhi memang telah bekerja menjadi staf marketing sebuah perusahaan properti untuk memasarkan unit perumahan. Pendapatannya sangat kecil karena hanya berdasarkan komisi. Jumlah uang yang didapat menurut Jerini sangat tidak sebanding dengan upaya yang harus dilakukan suaminya. Modal bensin dan pulsa karena harus rajin berkeliling dan menghubungi calon-calon pembeli yang tidak semua berminat terhadap dagangan bernama "rumah". Tentu saja penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua.
Masalah nafkah adala pemicu awal dalam rumah tangga mereka. Sesuatu yang tidak pernah mereka bahas secara tuntas tanpa menimbulkan pertengkaran. Sekali dua kali Jerini mencoba, sampai akhirnya dia menghibur diri dengan alasan toh dirinya memiliki gaji yang jauh lebih memadai dan bisa menyokong biaya rumah tangga dengan cukup layak. Kenapa harus pusing?
Maka ketika lowongan itu ada, dia menganggapnya sebagai solusi untuk meningkatkan penghasilan Gandhi.
"Kesempatan kayak gini nggak datang dua kali, Mas. Bagaimanapun prospek di tempatku bekerja jauh lebih bagus dari tempat kamu sekarang."
"Apa cocok buat aku, Rin?" tanya Gandhi skeptis.
"Aku cocok, pasti kamu juga bisa menjalaninya. Nggak mungkin enggak. Kita kuliah satu almamater satu jurusan," sahut Jerini enteng.
Mereka memang sama-sama kuliah di FEB –Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Gandhi dua tahun lebih tua. Mereka bertemu untuk pertama kali di kelas yang sama ketika Gandhi mengulang mata kuliah tertentu bersama angkatan Jerini. Berawal dari saling meminjam catatan dan tergabung dalam kelompok tugas yang sama, akhirnya mereka menjadi dekat. Dan sebelum semester itu berakhir, Jerini sudah resmi menjadi pacar Gandhi. Bagaimana Jerini tidak berbunga-bunga? Karena Gandhi dikenal sebagai cowok ganteng idola para gadis yang juga aktivis kampus.
"Dicoba ya, Mas?" Jerini setengah memohon. "Ntar aku bantu kok. Pasti bisa. Jangan khawatir."
"Terserah kamu, Rin. Toh memang sejak dulu kamu yang ngurusin kayak gini. Skripsiku juga kamu yang bikinin kan?"
"Ngalah dikit sama idealisme, yang penting cuan!"
Ini adalah bujukan terakhir yang akhirnya meluluhkan kekeraskepalaan Gandhi. Meskipun Jerini juga tidak paham idealisme mana yang ada di kepala Gandhi. Bodo amat lah! Yang penting suaminya mau kerja dengan benar.
Setelah susah payah Jerini melobi sana-sini agar Gandhi lolos saringan masuk karyawan, dia baru bisa bernapas lega saat suaminya akhirnya sekantor dengannya meskipun beda divisi dan jabatannya lebih rendah. Mau bagaimana lagi? IPK Gandhi hanya cukup memenuhi standar lulus tanpa keistimewaan apa pun. Hasil tesnya juga mepet. Tapi Jerini tak peduli. Yang penting sekarang dia tahu pekerjaan Gandhi lebih layak dari sebelumnya. Dan dia akan menyemangati suaminya untuk lebih berprestasi lagi di tempat kerja, agar bisa mencapai level yang lebih baik.
Dulu dia pernah melakukannya saat kuliah. Sekarang pasti tak sulit melanjutkan kembali pola yang sama. Jerini begitu tenggelam dalam rutinitas ini hingga tanpa sadar pola ini terus berulang di sepanjang pernikahan mereka.
"Mas, proposal yang aku minta bisa kelar minggu ini nggak?" tanya Jerini sambil mencoret-coret sesuatu pada catatannya.
"Hm...," sahut Gandhi yang sedang menyetir dan berkonsentrasi penuh pada jalan raya di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Sederhana
ChickLitBukan tentang siapa yang kita kenal paling lama, Yang datang pertama, atau yang paling perhatian. Tapi tentang siapa yang datang dan tidak pernah Pergi