Tiga Belas

4.5K 1K 57
                                    

Lagi-lagi Jerini mengembuskan napas, meski kali ini dengan berat hati. "Sayangnya ... iya, Mbak."

"Oh," Mbak Ratna terlihat ragu. "Udah lama?"

Jerini menggeleng. Mau tidak mau dia harus menjelaskan, meskipun singkat, kenapa dia nekat pindah ke Surabaya dua tahun lalu dan kapan perceraiannya mulai diproses. Sekalian.

"Oalah," Mbak Ratna manggut-manggut. "Sori yo, Rin. Aku ndak ngerti—"

"Nggak apa-apa, Mbak," Jerini tersenyum tipis. "Aku memang nggak bilang siapa-siapa. Buat apa umbar status? Orang juga nggak nanya apa status pernikahanku."

"Bener," Mbak Ratna menyetujui meskipun dengan kening berkerut.

"Tapi aku paham kok, Mbak, kalau banyak orang yang akan nggak nyaman berteman sama janda. Dan aku cukup tahu diri. Sejak perceraianku resmi diputuskan, aku mulai menjauh dari laki-laki mana pun demi menjaga hal-hal yang nggak diinginkan." Jerini membeberkan kondisinya. "Itu sebabnya aku minta Cakra buat mindahin ke divisi—"

"Cakra? Maksdumu, Pak Cakra?" Mbak Ratna bertanya untuk memastikan. "Jadi maksudmu Pak Cakra udah tahu?"

Jerini mengangguk. "Justru dia orang pertama yang aku kasih tahu. Karena bagaimana pun, aku sering pergi dinas bareng Cakra. Aku nggak mau timbul hal-hal yang nggak ngenakin gara-gara statusku. Kasihan ntar kalau sampai brondong ganteng kayak Cakra digosipin sama janda kayak aku, Mbak."

Alih-alih tegang, Mbak Ratna malah tertawa. "Iso ae awakmu iki, Rin." (Bisa aja kamu ini, Rin).

Mereka terdiam beberapa saat.

"Kalau aku, insyaallah nggak masalah kok, Rin, sama statusmu," Mbak Ratna meyakinkan. "Tapi aku khawatir sama orang julit kayak Dewi itu. Dia resek dan suka iri berlebihan sama orang. Dan kalau sudah nggak suka, modelan Dewi itu maunya ngerusak hidup orang tersebut."

"Jahat bener sih, ya?" Jerini menggeleng tidak paham.

"Makanya kamu harus hati-hati banget. Namanya apes bisa saja kan?"

Jerini mendengkus sebal. "Padahal aku juga nggak ada hubungannya sama Dewi. Ya kali kalo keberadaanku bikin gaji dia dipotong, wajar kalau nggak suka."

"Orang nggak perlu alasan macem-macem buat benci sama orang. Ya kayak Dewi itu. Sejak dulu dia pengin berada di posisi yang dekat dengan orang penting. Dan aku nggak bakal heran kalau dia sirik banget sama statusmu sebelum ini, yang sering ke mana-mana sama Pak Cakra."

"Orang aneh."

"Memang. Makanya, aku khawatir dia bakal nyari celah buat sebar berita jelek soal kamu gara-gara peristiwa barusan. Aku yakin tadi itu dia kena mental banget lho, Rin. Ditolak kayak gitu sama Pak Cakra di depan orang lain. Hanya orang muka tembok yang nggak malu, Rin. Meskipun kalau dipikir yo salahe dhewe –salahnya sendiri— kan?"

Jerini manggut-manggut. "Mbak, Dewi tadi sebut Kirania Rahardja. Itu perempuan cantik yang bareng Pak Rahardja tadi, Mbak? Itu anaknya?"

"Bener. Putri satu-satunya," Mbak Ratna mengangguk lalu menarik lengan Jerini mendekat."Mreneo, tak kandani –ke sini, aku bilangin—, Rin. Ini off the record, hasile aku nguping obrolan bos-bos yang salah satunya superbos sendiri, Pak Rahardja. Katanya, sebenarnya jabatan CSO buat Pak Cakra itu hanya akal-akalan Pak Rahardja aja."

"Kok bisa?" Jerini mengernyit.

"Jadi begini. Bisa jadi setelah ini kunjungan-kunjungan Pak Cakra ke kantor cabang bakal dialihkan ke orang lain. Emang nggak perlu juga Pak Cakra ngurusin bagian remeh-remeh begitu. Ini juga bukan perusahaan teknologi. Nggak butuh CSO, karena lebih butuh business analyst, sesuai dengan keahlian spesifik Pak Cakra. Bahkan jadi senior manager pun Pak Cakra mampu."

Cinta yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang