Budaya merupakan kesungguhan hidup manusia. Terkadang juga dapat dijadikan sebagai hasrat istimewa atau merupakan identitas sebuah tempat hingga menjadi sifat maupun kebiasaan penduduk-penduduknya. Sebagai seseorang yang menginginkan kebebasan, penduduk Amsterdam dapat melakukan apapun untuk memenuhi ekonomi dan sosial mereka. Namun terdapat perbedaan kelas atau identik diantara masyarakat lokal dengan mayoritas kelas tertentu. Itu merupakan suatu ciri khas tempat yang penuh dengan orang-orang jangkung, yaitu orang bertubuh tinggi hampir mencapai ubun-ubun pintu. Banyak hal yang menjadi budaya orang jangkungan tersebut salah satunya adalah kincir angina sebagai pemenuh kebutuhan fisik warga di sana. Terdapat 160 kanal air yang disebut grachten yang telah ada sejak abad ke 16 hingga abad ke 18. Kemudian jembatan kayu bersejarah yang disebut magere brug.
Demi menghasilkan sistem perkuliahan yang baik dan benar, Aku menghubungi Karina untuk datang bersama pada diskusi club mahasiswa Indonesia. Cuaca hari ini di kota siluet dengan piringan music pilihan itu cukup memilukan bagiku. Dingin yang disisakan akibat salju lebat masih menyisahkan tanda belum sepenuhnya menghilang. Begitu juga dengan nyeri di tubuh ku yang masih terasa meski sudah selesai meradang akibat bantuan koyo. Hari ini aku memakai baju yang cukup rapi untuk datang ke club mahasiswa Indonesia. Celana jeans biru dengan kemeja bercorak garis-garis kepadu dengan ikatan rambut kecil menjulang di kepala. Sepatu kesukaanku adalah merek converse yang siap ku bawa kemana saja.
"Amanda". Teriak seseorang sembari melambaikan tangannya.
"Hai, Karina akhirnya kita ketemu". Sapaku kembali melambaikan kedua tanganku menyambut kedatangannya.
"Ya. Aku secepatnya datang setelah kamu telpon". Ujar Karina ceria menjabat tangan Amanda untuk merangkulnya.
"Aku juga terlalu takut untuk telpon kamu. Karena kamu taukan apa yang terjadi di lingkungan kita sekarang". Kata Amanda panjang lebar menyampaikan niatnya untuk menemui Karina ke acara diskusi club mahasiswa Indonesia.
"Karena kita jauh dari rumah ? Lebih baik kita terbuka sedikit ya". Jawab Karina sepintas namun terlihat gugup dengan jawabannya.
Waktu harus terus berdetak untuk mengukur setiap kehidupan menjadi lebih teratur. Aku bertemu Karina ketika hari pertama sebagai seorang pelajar di Amsterdam. Karina berasal dari Cirebon tempat asal sebuah makanan lezat tersaji hingga ke Ambon. Awalnya aku pikir akan sulit untuk akrab dengan ciri khas Karina. Karina lebih sering berterus terang dan tidak merahasiakan apapun kecuali pribadinya sendiri. Kemudian bertolak belakang denganku yang berasal dari Aceh. Aku cenderung tertutup dan rahasia untuk segala hal. Hanya beberapa hal yang menyenangkan yang dapat ku bagikan. Jika Amsterdam harus menjernihkan pikirannya dengan kincir angin. Kami orang Indonesia punya banyak gaya yang bisa di lihat untuk mengukur kepentingan.
"Menurut kamu nanti di club bakalan ramai ngak sih ?". Tanya Karina padaku.
"Aku belum tau, ini pertama kali aku datang ke sana". Jawabku sembari duduk mengahadap Karina.
Setelah lelah menyusuri sebagian gedung kampus. Karina dan aku duduk di taman untuk sejenak merehatkan pikiran dan tubuh akibat kelelahan berjalan. Kami berdua menunggu balasan pesan dari Budi tentang tempat untuk perkumpulan club nanti. Karina terlihat begitu cantik dengan baju gaun pendek berwarna biru. Rambutnya sedikit kecoklatan yang digerai rapi. Wajahnya cantik dengan hidung mancung. Bagian dari pribadinya menentramkan yang melihatnya. Aku tertegun melihat kearah Karina.
"Budi balas pesanku nih, Karina". Kataku pada Karina bersorak menepuk paha Karina kemudian menempel padanya sambil melihat ponsel.
Budi
Hai, Amanda. Jangan lupa ya datang ke kanal Amsterdam, di dekat pusat belanja Kalverstraat. Kami tunggu di sana untuk datang ke rumah Hellen. Salah satu mahasiswa Indonesia keturunan Belanda. Aku jelaskan nanti ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
49 ANDROMEDAE
Teen FictionSelamat datang di kota dengan penduduk paling bahagia sedunia.