Kota Bunekan terkenal akan teknologinya yang melebihi kota lain. Dengan banyaknya bangunan pencakar langit membuktikan bagaimana kota tersebut mengalami kemajuan. Namun kemajuannya melupakan satu hal yang penting dalam kehidupan, yakni tentang kesehatan lingkungan. Kepulan asap dari kendaraan dan pabrik merusak udara yang tadinya bersih. Cukup pekat hingga keindahan asli kota Bunekan tertutupi olehnya. Dan itu merupakan pemandangan tidak menyenangkan ketika siang hari.
Ketika malam hari tiba, semua pabrik dan aktivitas manusia yang berlalu lalang dengan kendaraan besinya berkurang. Waktu seperti inilah udara di kota Bunekan menjadi sedikit lebih sejuk. Dengan langit yang terbebas dari awan pekat, kita dapat melihat bintang-bintang yang berkelip indah melawan keindahan lampu-lampu malam di kota.
"Sangat indah bukan?" Siverra tersenyum dan mengangguk kecil menyetujui pernyataan Griffin.
Hari ini pemuda tersebut mentraktirnya bahan-bahan makanan sesuai janjinya. Ketika dalam perjalanan kembali setelah berbelanja. Griffin menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Area disini termasuk dataran tinggi sehingga dapat memperlihatkan pemandangan yang berada di dataran bawah, seperti kota Bunekan ini.
Perlu kalian ketahui, Siverra tinggal di kawasan perumahan yang asri dan jauh dari keramaian kota. Kata nenek, ayah yang memilih untuk tinggal di perumahan itu setelah banyak melakukan pertimbangan. Berbicara soal ayah, Siverra tiba-tiba saja merindukan laki-laki itu. Setelah satu tahun kematian ibunya, ayah mengalami kecelakaan maut di tol Bunekan II. Nenek menceritakan peristiwa itu ketika ia menginjak usia remaja. Sekarang yang tersisa hanya dia dan neneknya dikeluarga.
"Ibuku berkata jika seseorang sedang dalam keadaan tidak baik. Maka lihat ke langit. Dan nanti perasaanmu akan menjadi lebih tenang." Cetus Griffin menyadari tatapan sendu dari Siverra.
Kedua mata Siverra berkedip-kedip tak percaya menatap pemuda itu. "Kamu baru saja mengucapkan kalimat panjang." Katanya, bersorak terkagum. Griffin berdehem pelan membuat Siverra mem-pout bibirnya kecewa. "Aku menyesal telah memujimu."
"Perkataanmu lebih terdengar seperti sarkasme dibandingkan memuji, Siverra."
Gwak!
Suara nyaring dari burung gagak terdengar tiba-tiba membuat Siverra mengurungkan niatnya untuk membalas. Siverra segera membalikkan tubuhnya. Di seberang jalan terdapat puluhan pohon rindang. Dari dahan pohon-pohon tersebut terlihat ribuan siluet gagak dengan mata merah. Siverra secara alami mundur satu langkah kebelakang. Tangannya memeluk erat lengan Griffin harap-harap pemuda itu dapat melakukan sesuatu.
"Tenang, Ra." Griffin memposisikan dirinya sebagai tameng, menutupi tubuh mungil itu. Tangannya segera membuka kunci mobil menggunakan remot kecil. "Tunggu aba-abaku dan lari masuk kedalam mobil."
Griffin mengumpat dalam hatinya. Ia pikir dengan tidak berada di rumah Siverra, makhluk itu tidak akan mengganggu mereka. Tapi ternyata dugaannya salah. Griffin mengodekan Siverra agar gadis itu bergeser lebih dekat dengan pintu mobil. Ia lantas memberikan aba-aba untuk cepat masuk. Segera setelahnya ia menyusul masuk di bagian kemudi. Saat benda besi itu melaju, para gagak berterbangan mengejarnya.
"Ra, tolong pasangkan sabuk pengamanku." Suruh Griffin yang tak sempat memasang sabuk pengaman lantaran terburu-buru. Tanpa berkata apapun Siverra segera melaksanakan perintahnya.
Mobil melaju dengan sangat kencang hingga terdengar suara gerungan yang cukup keras. Malam ini begitu sunyi, tak ada lagi benda besi selain yang ditumpangi kedua remaja tersebut. Keadaan semakin menegangkan ketika mereka melewati jalan yang kanan kirinya dipenuhi pepohonan.
"Ini bukan jalan menuju rumahku, Fin." Ucap Siverra menyadari jalan yang mereka lalui bukanlah jalan menuju rumah. Pemuda itu lantas menyadari apa yang tengah berlaku. Ia menghentikan laju mobil dengan sangat mendadak hingga hampir membuat Siverra terjedot.
Ia menilik kebelakang tak melihat keberadaan para gagak. "Ternyata mereka makhluk immortal." Gumam pemuda itu, meluruhkan tubuhnya yang sedari tadi tegang.
"Immortal?" Beo Siverra.
Griffin mengacak rambutnya frustasi. Ia menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan. "Mereka makhluk yang memiliki kekuatan mistis. Salah satunya membuka portal dunia lain dan menjebak kita." Pemuda itu menatap sejenak pada Siverra, tangannya terangkat untuk mengelus kepala gadis tersebut. "Dengar. Aku tau ada banyak kebingungan di dalam pikiranmu. Tapi kita harus bergegas pergi dari lokasi ini secepat mungkin."
Pemuda tersebut segera beranjak keluar dari mobil, berlari membukakan pintu untuk Siverra. "Siverra, kamu masih tanggung jawabku. Tolong percaya padaku untuk kali ini." Ucap Griffin, tersenyum lembut harap-harap bisa menyalurkan ketenangan pada gadis itu. Siverra tersenyum dan mengangguk. "Aku akan mempercayaimu."
Pikirannya buntu. Satu-satunya yang Siverra kenal hanyalah pemuda ini. Mau bagaimana pun tidak ada orang lain lagi yang dapat membantunya dalam kebingungan.
Perjalanan mereka kali ini tidak lah semulus melewati jalan aspal. Mereka memilih menjauh dari jalan yang terbuka, memilih melewati dedaunan yang lebat. Griffin memimpin didepan dengan tangan kiri yang menggenggam tangan Siverra. "Seseorang sengaja memerintahkan makhluk immortal itu untuk menjebak kita disini. Cepat atau lambat komplotan mereka akan datang kelokasi." Disetiap perjalanan Griffin menjelaskan bagaimana situasinya kepada Siverra, agar dia tak terlarut dengan banyak pertanyaan di otak.
"Bagaimana kamu bisa tau semua ini?" Tanya Siverra dari belakang. "Aku bukan makhluk yang lahir di bumi. Keluargaku tinggal di dunia yang jauh dari bumi. Manusia disini biasanya menyebutnya dengan istilah planet."
Siverra mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan pernyataan dari pemuda itu. Karena merasa semakin penasaran, ia pun kembali bertanya. "Dan kamu makhluk apa?"
Griffin menghentikan langkahnya. Ia berbalik menundukan wajahnya untuk sejajar dengan Siverra. "Aku tidak tau termasuk makhluk apa."
"... Tapi aku dari bangsa Agharna. "
Pemuda itu tiba-tiba mengendus-endus bau Siverra. "Bau manusiamu sangat khas. Mereka pasti bisa melacakmu karna hal ini." Griffin kembali berdiri tegak. Ia merogoh sesuatu didalam jaketnya. Ia memberikan sebuah botol parfum yang isinya terlihat berwarna ungu dengan gliter cantik. "Itu bukan gliter. Tapi serbuk dari fairy. Dan ada campuran lain didalamnya yang dapat menyamarkan bau seseorang."
Siverra segera menyemprotnya berkali-kali di berbagai tempat dari atas hingga bawah. "Griffin, bangsa Agharna itu semacam suku?" Tanyanya, memberikan kembali parfum tersebut.
Griffin tersenyum penuh misteri. "Bukan suku. Tapi kepala suku."
~~
say something about this part=>
KAMU SEDANG MEMBACA
Papillon
FantasiPapillon memiliki makna kupu-kupu. Kupu-kupu menggambarkan kebebasan. Siverra Estelle terbelenggu oleh takdir yang rumit. Ia mengalami mimpi buruk serta teror yang tak henti-hentinya. Makhluk gelap itu datang terus menerus mencekiknya dan mencoba se...