1. Lamaran.

285 61 2
                                    

Jakarta, 28 Januari - 2021.
Green House Cafe.

"Kau memeluknya? Tidak, kau pasti sudah  menciumnya. Benarkan?" Tanyaku pelan meminta penjelasan. Ada rasa takut yang merayap di hatiku untuk mendengar jawabannya.

Dia adalah kekasihku, Irfan. Bekerja sebagai fotografer profesional yang memiliki studionya sendiri. Dia sangat tampan, karena merupakan mantan model yang cukup terkenal.

"Kei, dengerin aku dulu. Aku nggak selingkuh. Dia cuma salah satu modelku."

"Jawabannya?" Tuntutku tak peduli penjelasannya. Aku menatap wajah bingung di hadapanku dengan getir. Aku hanya ingin kejujuran. Walau aku tahu itu menyakitkan, tapi aku tetap ingin mendengarnya dengan telingaku sendiri.

Irfan menunduk, tak bergerak juga tak berani menatap mataku. Dan hanya dengan ini, aku sudah tahu jawabannya. Dia benar-benar melakukannya. Entah kenapa rasa sakit dari kepastian jawaban yang ingin kudengar lebih menyakitkan.

"Ya. Aku memang menciumnya. Tapi Kei, waktu itu aku nggak bermaksud begitu. Jadi karena aku mabuk terus-"

"Cukup, Fan. Semuanya udah jelas. Awalnya aku bakal nunjukin ini ke kamu saat kamu mengelak. Tapi ternyata aku nggak perlu ngeluarin foto kalian berciuman," terangku parau. Rasanya hatiku bergemuruh hebat. Rasa tak percaya dari penghianatan yang akan kuterima, bagaikan belati yang menusuk dalam.

"Foto? Dari mana kamu dapatin itu semua?"

Aku menatap matanya sedih. Sudut bibirku tersenyum lemah. "Itu nggak penting, Fan. Yang jelas kalian memang melakukannya. Kamu jahat ya, Fan. Jahat banget."

"Kei, aku minta maaf. Tapi serius, aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Aku dijebak Kei, aku nggak ngerasa pengen nyium orang lain selain kamu. Kamu tau itu."

Aku tertawa kecil untuk menguburkan rasa sakit yang meremukkan hatiku. Begitu mudahnya penjelasan bahkan ungkapan ciuman yang kembali dilayangkan. Tak peduli meski dia tak menginginkannya, tapi bukti bahwa dia memcium wanita lain itu adalah fakta.

Sebuah penghianatan, walau tak sengaja tapi dia mengakui semuanya. Dia dengan mudah mengakui tapi juga mengelak dalam waktu yang sama. Rasanya, seluruh napasku menjadi sesak. Air mataku turun tanpa bisa kubendung. Kepercayaanku runtuh. Dan rasa cintaku berubah menjadi belati yang menyayat hati. Aku kecewa, aku terluka. Dan pikiran-pikiran liar lain pun mulai bermunculan. Membuat hatiku kian terasa perih.

"Jangan-jangan kamu juga udah tidur dengan dia."

"Keisya!" Bentak Irfan secara spontan. Dia menatap mataku geram, tapi hal itu justru membuatku kian tertawa. Tertawa sedih karena hatiku kian takut mendengar jawabannya.

"Aku nggak mungkin ngelakuin hal kaya gitu, Kei. Kamu mandang aku serendah itu? Tega kamu, Kei."

Dan sekarang, nada itu kenapa seolah olah adalah aku penjahatnya? Padahal hatiku sangat terluka karenanya.

"Kalau aku tega, terus kamu gimana Fan? Yang kamu lakuin di belakangku, itu apa namanya? Kamu penghianat Fan."

"Kei," nada Irfan melemah. Kali ini dia menatapku dengan rasa bersalah. Aku menghapus air mataku dan tersenyum.

"Udahlah Fan. Aku capek. Aku juga nggak mau tersakiti kaya gini. Jadi kita berhenti aja. Hubungan ini, rasanya udah nggak bisa dipertahanin."

"Enggak, Kei. Enggak," tolak Irfan langsung. "Aku baru aja mau ngelamar kamu hari ini, tapi aku nggak nyangka kamu bakal bahas hal seperti ini. Aku minta maaf, Kei. Aku minta maaf. Aku nggak sengaja, aku bersumpah Kei, kalau aku nggak punya wanita lain selain kamu. Aku beneran nggak punya hubungan apa apa sama dia, Kei."

Keira. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang