2. janji akhir Irfan.

69 17 0
                                    


"Loh, kok ga jalan, mas? Apa sih yang kamu lihat sampai kamu kaya gitu?"

Rama tersentak, dia menarik pandangannya dari sosok Keira yang mulai berjalan bersama temannya, lalu menatap Sinta, wanita cantik di sampingnya.

"Bukan apa-apa."

"Obat yang kuminta ada, mas?"

"Oh itu," Rama merogoh saku celananya dan tak menemukan apapun. "Harusnya ada disini, tapi kok ga ada ya?" Dan kemudian dia sadar, obat itu dia letaklan dalam asoy lalu digantungkan pada gagang payungnya.

Harusnya masih ada di sana, pikir Rama. Matanya kembali menatap tempat dimana wanita asing memeluknya dan akhirnya payungnya pun dia tinggalkan. Dia berpikir untuk turun mencari, namun dia urungkan ketika melihat Keira mulai berjalan bersama temannya ke sisi mobilnya.

Sinta mencuri pandang pada kaca jendela mobil yang tertutup namun karena hujan cukup deras, jarak pandangnya terbatas. Dia hanya melihat wanita dalam satu payung hitam yang berjalan melewati sisi mobil dan Rama yang kembali terbuai pada pemandangan tersebut.

"Kamu kenal dia mas?"

Rama melirik Sinta sesaat dan kembali pada sosok Keira bersama temannya yang telah melewati mobilnya. Dia dengan jelas melihat kesedihan di sana. Dan setiap melihat wajah Keira, jantungnya terasa nyeri tak terkira.

"Enggak, aku nggak kenal dia."

Sinta terdiam namun melihat Rama lekat. "Kita sebentar lagi nikah loh mas, aku nggak mau kamu bohong sama aku atau nyembunyiin sesuatu,"

"Aku sama sekali ga kenal dia."

"Tapi kenapa kamu-"

"Jantungku rasanya nyeri," Potong Rama cepat. Dia meraba sisi kiri dadanya dan mengelusnya.

"Sakit mas? Kalau gitu ayo kita ke rumah sakit dulu buat periksa."

"Nanti aja. Aku antar kamu pulang dulu."

"Tapi kita kan belum cek gedung untuk pernikahan kita mas?"

"Besok aja, aku capek banget hari ini."

Rama memutar mobilnya menuju rumah Sinta. Keduanya tak ada yang mencoba bicara, Rama yang terlalu sibuk dengan pikirannya, dan Sinta yang diam karena rasa kecewa. Sampai akhir, keduanya hanya diam seolah itu sudah menjadi hal yang biasa.

*
Di sebuah rumah sederhana ber-Cat Biru muda, Rara mengaduk teh panas yang baru diseduh. Dia menyodorkan ke depan Keira yang masih diam.

"Kei, minum teh hangat dulu."

Keira menggeleng, dia berjalan menuju kamarnya lalu menutup pintu rapat. Tanpa menukar pakaian yang basah, dia terduduk di balik pintu dan memeluk lututnya. Rara mendesah, mendekati pintu dan berbicara dengan pelan.

"Kei, lupain dia. Lupakan Irfan dan jangan dekati Rama."

Keira diam ketika suara Rara terdengar dibalik pintu.

"Rama dan Irfan berbeda. Aku cuma ga mau kamu terluka. Benar, Rama menerima transplantasi jantung Irfan tiga tahun lalu saat kamu masih di Jepang. Tapi tanpa transplantasi pun, Irfan juga ga akan selamat. Dia tau itu, tapi dia ingin membantu orang lain di sisa hidupnya. Dia-"

Keira menjauh dari pintu hingga suara Rara tak lagi terdengar. Dia mendekati meja rias, menyentuh fotonya bersama Irfan lalu beralih pada surat lusuh yang masih tergeletak. Di samping surat lusuh itu, sebuah cincin dan sebuket mawar kering yang hanya menyisakan batang rapuh masih berada di tempat yang sama dari pertama dia datang ke rumah sederhana ini dua Minggu lalu. Senyumnya tertarik pelan, tapi air matanya menggenang. Dia menikmati momen itu sampai tak sadar Rara sudah masuk ke dalam kamarnya.

"Aku harus gimana Fan? Semua orang nyuruh aku lupain kamu. Semua orang nyuruh aku buat menyerah. Semuanya terlalu tiba-tiba, sampai aku ga siap buat nerima semuanya."

Rara yang mendengar itu memeluk tubuh Keira dari belakang, dia sangat memahami bagaimana Keira terguncang menerima kenyataan yang baru diketahui dua Minggu ini. Dan sejak kedatangan Keira di rumah ini, tak pernah satu malam pun dia tak mendengar tangisan kehilangan Keira. Dia melihat bagaimana Keira hancur dalam kehilangan. Dia melihat bagaimana cinta yang dalam dapat menjadi penderitaan yang panjang.

"Kei, tiga tahun aku tinggal di rumah ini buat nunggu kedatangan kamu sesuai permintaan Irfan. Rumah ini, rumah yang Irfan beli buat surprise pertunangan kalian. Cincin dan buket itu, masih berada di tempat yang sama sejak Irfan meletakkan terakhir kali sebelum kecelakaan itu terjadi. Aku tahu pasti berat buat kamu, tapi Irfan juga ga akan senang liat kamu larut dalam kesedihan."

"Gimana aku bisa terima, Ra? Kamu bilang Irfan meninggal Tiga Tahun lalu, tapi aku kehilangan kabarnya Dua Tahun ini. Di akhir percakapan kami, dia bahkan nyuruh aku buat nyelesain Study-ku dengan tenang. Dan aku dengan bodohnya nuruti kata-kata dia tanpa tau kalau dia udah ga ada. Dia pergi ninggalin aku gitu aja. Gimana aku bisa terima, Ra? Gimana aku bisa iklas? Aku rasanya mau gila karena ga percaya itu semua."

Rara mengangguk mengerti. "Aku tau ini berat buat kamu, Kei. Aku juga minta maaf karena ga bisa ngabari kamu buat pulang lebih cepat. Maaf, Kei, tapi Irfan minta teman-temannya buat ga ngasih tau kondisi dia ke kamu karena itu bisa ganggu konsentrasimu di Jepang. Percaya Kei, dia selalu memikirkan dan memberikan hal yang paling baik buat kamu. Karena rasa cintanya sebesar itu. Semua orang tau gimana gilanya Irfan dalam mencintai kamu. Dan Irfan ga akan seneng liat kamu yang kaya gini. Dia ga akan seneng liat kamu sedih karena dia, Kei. Dia mau kamu bahagia."

Rara mengusap air matanya yang jatuh. Siapa yang tak tahu kebucinan Irfan pada Keira? Semua teman-temannya tahu bagaimana Irfan mencintai Keira. Tak hanya bekerja keras untuk menyiapkan masa depan mereka berdua, Irfan bahkan mendukung semua hal yang Keira inginkan termasuk menyelesaikan studinya di Jepang. Bahkan sampai akhir, nama Keira tak pernah lepas dari bibir Irfan.

Cinta yang begitu besar dan tulus dari pria baik yang bisa membuat semua wanita di dunia iri hanya dengan melihat perjuangannya. Namun sayang, Tuhan berkata lain hingga takdir memisahkan mereka.

"Kamu tau, Kei? Irfan nyiapin semuanya sendiri, gimana nanti kalian menikah, dan masa depan kalian, dia udah mikirin semuanya. Tapi opsi terakhir buat donorin jantungnya ke Rama, itu juga bukan tanpa pertimbangan. Kata-kata terakhirnya ga berubah. Dia bilang, cintanya sama kamu sampai mati. Sampai akhir, kamu wanita yang dia inginkan."

Keira menangis sejadi-jadinya. Isi surat Irfan yang telah dia baca pun terlintas.

"Kei, janjiku untuk mencintai kamu sampai mati udah aku buktikan. Selama jantungku berdetak, kamu harus yakin bahwa orang yang kuinginkan cuma kamu. Kamu pasti nganggap aku jahat, tapi aku mau yang terbaik buat orang yang kucintai. Dulu kamu adalah orang yang selalu nunggu aku karena cintamu. Tapi sekarang aku akan jadi orang yang nunggu kamu buat bahagia. Bahagialah Kei, karena orang yang kucintai harus bahagia."

Dan karena isi surat itu lah Keira semakin tersesat. "Iya, aku bakal bahagia. Selama jantungmu berdetak orang itu harus aku kan, Fan? Karena itu aku akan berusaha mendapatkan Rama."

Keira. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang