1. Dia pemilik jantung kekasihku.

98 18 0
                                    

"Ketemu. Akhirnya ketemu juga. Jantung kekasihku yang hilang."

Keira tersenyum, melihat seorang pria yang berdiri di sisi toko Apotek obat dengan tangan memegang gagang payung karena hujan yang mulai turun.

"Kali ini, aku nggak akan nyerah dengan mudah. Aku nggak bakalan lepasin kamu apa pun terjadi."

Langkah Keira semakin mantap dengan tekat yang bulat. Dia berlari di bawah hujan dengan bibir menyunggingkan senyum manis. Sebentar lagi, dia bisa memeluk orang yang begitu dia rindukan. Orang yang membuat hatinya berantakan dengan mimpi panjang juga penderitaan.

"Ketemu! Aku memelukmu, akhirnyaa aku bisa memelukmu."

Keira melabuhkan tubuhnya pada tubuh tegap yang tak siap menerima pelukannya. Tubuh pria itu terdorong sedikit ke belakang, bahkan payung di tangan kokoh itu terlepas. Hujan yang turun pun membasahi tubuh mereka berdua.

"Aku kangen sama kamu. Aku kangen sampai rasanya mau mati," Gumam Keira mengeratkan pelukannya. Ada rindu yang begitu kuat menguar, seolah dia telah mempertaruhkan segalanya untuk menemui kekasihnya.

Pria itu tertegun, tak bergerak untuk membalas pelukan asing yang baru dia terima. Aroma manis tercium di ujung hidungnya, membuat keningnya mengerut sedikit seolah menemukan aroma yang pernah dia cari meski dia tak yakin dengan penciumannya kali ini.

"Aku rindu, aku benar-benar rindu sama kamu, Ra-ma." Kali ini suara lembut Keira sedikit bergetar. Air mata kerinduan pun pecah.

Rama membelalak matanya ketika namanya dipanggil lemah dengan sedikit terbata. Kesadarannya seolah dipaksa kembali, ketika nyeri di jantungnya terasa perih. Kedinginan di ujung matanya terlintas, dengan cepat dia medorong tubuh wanita asing yang memeluknya.

"Maaf, kamu mungkin salah orang. Aku nggak kenal sama kamu."

Kali ini mata Rama melihat sepasang mata merah dengan perasaan dalam yang membuat jantungnya berdegup nyeri. Nyeri yang begitu menyakitkan saat melihat wanita di depannya masih meneteskan air mata. Tangannya refleks ingin terulur, tapi kemudian dia urungkan karena dia menyadari wanita ini sama sekali tak dia kenali. Wajah cantik dengan rambut panjang tergerai yang mulai basah. Lalu kata-kata rindu seolah nyawanya hanyalah mainan karena setengah mati merindukannya. Dipikirkan sekali lagi, semua itu tak masuk akal.

"A-aku-"

Rama mengalihkan pandangannya pada payung tergeletak di antara mereka berdua tanpa berniat mendengarkan penjelasan wanita asing yang menggangunya. Angin yang berhembus membuat payung itu bergerak sedikit menjauh. Dia berniat meraihnya sebelum pelukan hangat itu kembali menahan tubuhnya dari belakang.

"Itu beneran kamu. Orang yang kucari selama ini. Aku sama sekali nggak salah orang." Menghirup aroma tubuh Rama dalam, Keira menyadari bahwa ada yang berbeda.

Rama tak bergerak. Matanya mengunci payung di depannya yang terus bergerak menjauh. Kesabarannya pun terkikis ketika menyadari hampir seluruh pakaiannya telah basah.
"Ck, merepotkan. Jadi basah,"

Dibawah hujan yang kian deras, dia membalikkan badannya lalu menatap wanita di depannya dengan dingin.
"Tapi aku nggak kenal sama kamu." Tolak Rama jelas dengan mendorong tubuh Keira cukup kuat.

Dan Keira terhempas, tubuhnya jatuh ke belakang, seluruh tubuhnya basah. Kedua matanya menatap wajah Rama sedih. Dia tak pernah memikirkan opsi ini, bahwa Rama mungkin saja menolaknya.

"Dia berbeda," batin Keira memberontak seolah tak Terima.

Melihat Keira terjatuh, tangan Rama sempat ingin terulur. Tapi ketika melihat dua mata yang menatapnya sedih, nyeri di jantungnya kian terasa. Membuatnya mengurungkan niat, dan memilih untuk mengabaikan. Lagi pula dia benar-benar tak mengenal wanita di depannya.

"Jangan sembarangan meluk-meluk orang. Orang lain bisa salah paham." Peringat Rama dingin. Dia mengalihkan pandangannya ketika bunyi klakson mobil yang dia kenali terdengar beberapa kali. Tanpa rasa berat, dia pun melangkah pergi saat melihat seorang wanita turun dari mobil berniat menjemputnya.

Dan Keira tersadar ketika hujan kian lebat. Pandangannya sedikit mengabur ketika sosok yang dia peluk beberapa saat lalu mulai menjauh.

"Dia harus berteduh," Gumam Keira panik. "Hujannya terlalu deras, dia harus tetap terlindungi. Gimana kalau dia sakit? Gimana kalau dia ...."

Dan semua kekhawatiran Keira tak berguna ketika dia melihat pria yang dia khawatirkan justru menghampiri seorang wanita lalu mereka bergandengan tangan dibawah satu payung berwarna cerah.

"Keira! Ya Tuhan, Kei, kamu ngapain dibawah hujan begini? Berdiri, berdiri! Kamu bisa sakit, Kei"

Keira menatap keatas, pada payung hitam yang menutupinya. Lalu pada wajah cantik sahabatnya yang terlihat panik karena mengkhawatirkannya.

"Berdiri, Kei. Kamu ngapain duduk disini?"

"Ra, aku menemukannya. Aku menemukan jantung dan hatinya. Tapi dia mengabaikanku. Dia pergi bersama wanita lain setelah menatapku dengan aneh."

Kata-kata Keira sontak membuat Rara menangis. Dia memeluk Keira dengan tangan memukul punggung sahabatnya berkali-kali.

"Keira, Ya Tuhan, Keira. Sadarlah. Dia telah pergi. Irfan nggak ada lagi di sini. Pria itu bukan Irfan. Buka matamu, Kei. Lihat baik-baik, wajah mereka sangat berbeda."

Keira tertampar dengan kata-kata Rara. Irfan telah pergi. Apakah sahabatnya harus mengingatkan kenyataan pahit ini? Apakah sahabatnya harus menjelaskan bahwa dia sudah gila karena tak bisa menerima semuanya? Tidak, dia tidak. Gila. Dia hanya tak bisa terima. Sampai kapan pun, dia tak akan bisa terima.

"Enggak Ra. Irfan nggak pergi. Jantungnya masih ada di dunia ini. Karena itu milik Irfanku, dia juga harus jadi milikku."

Rara menggeleng lemah, prihatin. Tapi dia tak bisa berkata lebih jauh lagi. Karena dia melihat bagaimana gilanya Keira dalam mencari keberadaan Rama.

"Rama cuma punya jantung Irfan, Kei. Tapi mereka bukan orang yang sama. Rama sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Ayo Kei, sadarlah. Rama bukan Irfan."

"Lalu kenapa jika Rama sudah bertunangan? Dia akan menikah denganku. Aku akan membuatnya begitu, seperti janji Irfan padaku, Ra. Kami akan menik-"

Kata-kata Keira terhenti di udara ketika tangan Rara menampar pipinya keras.

"Sadarlah, Kei. Sadarlah. Rama bukan Irfan!"

Tamparan itu sakit, pukulan di punggungnya juga sakit. Lalu kenyataan pahit yang berulang kali dia dengar jauh lebih sakit. Tapi hal itu tak membuat Keira menyerah. Sekilas wajah Irfan terlintas dan hal itu membuat hatinya tak terima.

"Ra, dulu Irfan selalu menungguku. Kali ini, aku. Aku yang akan menunggunya kembali. Aku akan menunggu Rama kembali lalu kita menikah. Aku akan membuatnya seperti itu."

"Terus, gimana sama wanita yang bakal dinikahi Rama?" Tanya Rara lembut. Dia memeluk Keira sekali lagi. "Hentikan, Kei. Kamu bukan orang yang seperti itu. Sahabatku bukan lah orang yang jahat."

Diujung jalan, di sebuah mobil yang masih terparkir, mata Rama mengunci tubuh Keira yang masih terduduk di tanah. Perlahan, tangannya meremas sebelah kiri dadanya yang masih terasa sakit. Setelah tiga tahun menjalani hidup dengan jantung baru, untuk pertama kalinya, dia merasakan jantungnya berdebar nyeri. Dan hal itu terjadi tiba-tiba, tepat ketika dia bertemu wanita asing yang memeluknya.

"Jantungku, kenapa terasa begitu nyeri?"

Keira. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang