o n e

1.7K 190 110
                                    

"Lo mau jadi boti gue, nggak?"

Kelakar tawa Kaizen semakin terdengar menggema begitu sang sahabat kembali mengulang kalimat yang sama---yang entah sudah keberapa kali---dengan nada yang super jijik. Sementara dia sendiri sudah tertawa sedari tadi.

"Dikira gue cowok apaan?! Bangsat bangeeet! Dengarnya aja gue geli, cooooooook!"

"Y-ya gimana, ya? Muka lo emang nyerempet ke-cantik, nggak heran sih ada cowok cakep yang naksir sama lo!"

"Gue masih normal, ya, monyet!"

Gelak tawa Kaizen lagi-lagi terdengar semakin keras. Bahkan, dari awal mendengar cerita mengenai sahabatnya yang diberi pertanyaan, "Lo mau jadi 'boti' gue, nggak?" kelakar tawanya tidak bisa ditahan. Dari cerita yang dia simak dengan baik, laki-laki tersebut memiliki ciri-ciri; ganteng, jangan ditanya lagi, mukanya aja spek bule. Badan sempurna, alis tebal, rahang tegas, hidung mancung, bibir kissable, ceklis. Yang paling penting nih, wangi duitnya semerbak ngalahin parfum. Tapi ya, bisa-bisanya gitu loh. Padahal, spek cewek dari yang cantik sampai cantik bangeeeet tuh masih banyak. Masa nyarinya yang sesama jenis, sih?

Makin ke sini makin ke sana, hidup itu kalau nggak haduuuh, ya, hadeeeh.

"Kalau aja posisi gue lagi nggak kerja, udah gue tonjok tuh mukanya yang sok cakep!"

Kaizen yang masih tertawa, semakin mengeraskan tawanya begitu mendengar dumelan sang sahabat, -Galinarael.

-Dia, Galinarael. Remaja yang hidupnya tidak seberuntung anak-anak di luar sana. Siapa Ayahnya, dia tidak tahu. Siapa Ibunya, seorang pelacur dan pecandu.

-Dia, Galinarael. Remaja yang selalu terlihat ceria, meski dunianya sedang tidak baik-baik saja.

-Dia, Galinarael. Remaja yang empat minggu lalu diterima di sekolah menengah atas ternama lewat jalur beasiswa. Pintar? Sudah pasti. Sepupu Kaizen yang notabennya sudah kuliah semester empat jurusan hukum saja, bertanya kepada Galinarael mengenai jawaban; Apa fungsi etika bila sudah ada hukum? Pada detik itu juga, Galinarael langsung menjawab; Pertanyaannya tuh sama kayak, buat apa makan daging? 'Kan udah ada bakso.

-Dia, Galinarael. Remaja enam belas tahun yang harus bekerja keras agar bisa tetap hidup. Semesta memang baik karena selalu memberinya kemudahan. Mempunyai tempat tinggal dan masih diberi kesempatan untuk menelan sesuap nasi setiap hari, misalnya.

"Harusnya lo tanya balik, Ael. Berani bayar berapa, Om. Gituuuu!" celetuk Kaizen yang kemudian kembali tertawa keras. Dia bahkan dengan enteng memukul-mukul lengan Galinarael hingga sahabatnya itu mengaduh sembari protes, "sakit, bangsat!"

Galinarael kembali mendengus saat kelakar tawa Kaizen terdengar semakin keras. Dia tidak tahu bagian lucunya dimana sampai sahabatnya itu tidak berhenti tertawa. Padahal dia sendiri masih kesal karena mengingat kejadian dua hari yang lalu, itu juga yang menjadi alasan mengapa Kaizen masih tertawa saat ini.

"Iya Kak, ada yang bisa saya bantu?" Galinarael bertanya dengan suara yang terdengar kelewat ramah setelah menoleh ke belakang. Bukannya sengaja dibuat-buat, karena hari ini restoran tempatnya bekerja kedatangan bos besar. Dari gosip yang beredar, kunjungan bos besar hari ini untuk menilai langsung para pekerja yang baru masuk, dia sendiri, contohnya. Dia bahkan belum genap sebulan bekerja menjadi pelayan di tempat ini. Meski dia sendiri bisa diterima bekerja di sini karena adanya orang dalam.

Pemuda yang diberi pertanyaan justru meneliti penampilan Galinarael dari atas sampai bawah. Tiga detik kemudian, kepalanya menggeleng beberapa kali dengan tangan yang turut ter-ulur ke depan. "Kenalin, gue Fortis Fortuna, lo bisa panggil gue Fortis. Nama lo?"

Ayo BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang