Chapter 2

77 20 9
                                    

Satu-satunya yang paling Sasori takutkan adalah saat Sakura jatuh cinta.

Cintanya pada dunia sains membuat gadis itu mati-matian belajar agar bisa ikut dalam Olimpiade Sains Nasional, tanpa peduli dengan kondisi fisiknya sendiri. Dan bagaimana ia harus bertengkar dengan adik semata wayangnya itu saat lagi-lagi Sang Gadis jatuh cinta pada sebuah Planetarium yang sangat tidak penting menurut Sasori.

Dan ketakutan terbesarnya adalah jika nantinya Sakura akan jatuh cinta pada seorang pria.

Bukannya tak ingin Sakura bahagia. Sakura adalah saudari satu-satunya yang ia punya. Ia menyayanginya lebih dari dirinya sendiri, tentu ia ingin gadis itu bahagia. Ia menginginkan yang terbaik untuk Sang Adik dan tak ingin ia terluka. Karena itu ia takut Sakura jatuh cinta pada sesuatu yang salah, pada seseorang yang salah.

Mengetahui Sang Adik adalah gadis penderita kanker, membuatnya tahu ada batasan-batasan dimana Sakura mau tak mau harus menyadari kondisinya ini dan menahan diri. Dua kali sudah, Sasori mengalah untuk membiarkan adiknya itu melakukan hal yang ia sukai. Tapi kini, saat ia mendengar cerita Ino tentang laki-laki yang menjadi alasan gadis itu bertingkah bodoh dan membahayakan dirinya, ia merasa kalau kali ini Sakuralah yang harus mendengarkannya. Apalagi mengetahui fakta tentang pemuda tersebut yang membuatnya menghela nafas tak habis pikir.

Jadi jangan salahkan dirinya ketika kini ia memasang wajah tidak bersahabat saat melihat wanita berambut legam yang berada di Rumah Sakit itu. Berdiri dengan senyum lembutnya di hadapannya dan Ino, juga Sakura yang kini hanya bisa duduk lemah di kursi rodanya. Berdiri bersama seorang pria di sampingnya dan seorang pemuda kurus di belakangnya yang masih setia menundukkan kepalanya.

"Selamat sore."

"Mau apa anda kemari?"

Senyum Sang Wanita berubah menjadi kaku saat melihat sorot tajam Sasori. Sakura yang tak enak melihat perubahan raut wanita itu hanya memegang tangan Sasori dan menatap pemuda itu dengan tatapan memohon, yang sayangnya tak digubris Sang Pemuda.

"Kami hanya ingin menjenguk–"

"Saya rasa anda sudah bisa melihat kalau adik saya baik-baik saja."

"Sasori-nii!"

Sasori melirik tajam pada Sakura yang berteriak padanya, sebelum mendengus menatap mata yang kini berubah menjadi tatapan ketakutan karena lirikan tajamnya itu. Ia kembali menatap ketiga orang di hadapannya itu, mengubah ekspresinya dan berusaha menekan intonasi suaranya.

"Tidak usah khawatir, Tuan dan Nyonya. Adik saya tidak apa-apa. Saya minta maaf atas kekonyolannya mencampuri urusan kalian. Setelah ini saya pastikan dia tidak akan melakukannya lagi."

Dan setelah mengatakannya, Sasori langsung melangkah pergi. Mengabaikan adiknya yang kini mencengkeram erat tangannya dengan wajah yang tertunduk dan mata yang berkaca-kaca mendengarkan ucapannya.

Namun, saat ia hendak melewati ketiga orang di hadapannya itu, sebuah tangan menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan mendapati pria yang tampaknya adalah pemimpin keluarga itulah yang menahan lengannya. Onyx tajam itu menghujam hazelnya. Namun ditanggapinya dengan ekpresi yang tak kalah datarnya. Tak ada rasa gentar.

"Bagaimana kalau aku mengijinkan adikmu untuk ikut campur dalam urusan kami?"

Suara itu begitu datar. Membuat Sasori mengerutkan alisnya tak suka. Seperti mengerti makna yang tersirat dari kata-kata itu.

"Kalau begitu aku yang tak akan mengijinkannya mencampuri urusan kalian."

Suara Sasori terdengar lebih dingin. Membalas ucapannya sebelum menggulirkan hazelnya menatap pemuda di belakang pria itu, yang kini menatapnya dengan pandangan kosong.

Solar Eclipse SasuSaku versionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang