Sabtu malam. Hanya tersisa belasan jam saja untuk Arthur memutuskan pilihannya. Arthur duduk di teras rumahnya diselimuti oleh udara dingin usai hujan dan juga ditemani oleh secangkir cokelat hangat yang baru saja ia buat beberapa menit yang lalu. Kini dirinya sulit untuk berpikir jernih untuk bagaimana baiknya. Berbagai pihak yang ia mintai pendapat pun sepertinya tidak setuju jika dirinya menyerahkan diri untuk menjadi 'alat' bagi Ardan untuk melakukan misi pergi ke masa lalu. Namun jauh di lubuk hatinya, dia sangat teringin sekali untuk pergi karena hidupnya yang sekarang ini sedikit membosankan. Kasarnya, ia ingin mengulang masa-masa indahnya bersama perempuan yang selalu ia dambakan hingga kini, Lidya. Mengetahui fakta bahwa Ardan merupakan laki-laki yang menjadi pemenang untuk mendapatkan Lidya adalah patah hati terhebatnya sepanjang masa. Lalu sekarang ia berpikiran menyetujui menjadi 'alat' untuk laki-laki yang bersanding dengan perempuan dambaannya itu? Ironis sekali.
Arthur terlalu malas untuk memegang gadget malam ini. Ia memilih untuk membaca koran-koran yang telah usang yang diletakkan di bawah meja kaca. Tentu berita-berita yang disajikan dalam koran tersebut telah lama terjadi karena kini koran menjadi barang langka. Penerbit koran kini pun dialihkan untuk menulis berita di platform online. Kini, hampir semua orang menggunakan gadget untuk mendapatkan informasi. Jadi, sangat jarang peminat koran di masa kini. Arthur kebanyakan menemukan koran terbitan tahun 2025 dan itu tahun paling menyedihkan sepanjang hidupnya. Tapi mengapa semua ini masih tersimpan disini?
"Kau sedang apa?" tanya Nolan. Arthur sedikit terkejut dengan kehadiran kakaknya yang tiba-tiba ini. Tanpa suara langkah saja tiba-tiba Nolan sudah berdiri di depannya.
"Bagaimana bisa suara tapak kakimu tidak terdengar? Kau mengejutkanku!" ucap Arthur kesal.
Nolan terkekeh, "Mengapa kau mengeluarkan lagi koran-koran itu? Lagipula koran itu sudah usang." ujarnya.
"Itu yang harusnya menjadi pertanyaanku. Aku tidak pernah membeli koran seumur hidupku, jadi ini kau yang beli kan? Kenapa tidak kau buang saja? Apalagi isi dari koran yang bertumpuk ini sama semua, kecelakaan ayah dan ibu." Arthur melempar koran tersebut ke atas meja.
Nolan pun duduk di kursi sebelah Arthur, "Tidak apa-apa, hanya sebagai kenangan saja." ucap Nolan enteng.
"Kenangan? Kau menyimpan kenangan sedih di rumah ini sedangkan kau waktu itu menyuruhku untuk membuang baju milik ibu setelah kematiannya?" ujar Arthur tidak terima.
"Aih mengapa kau mudah sekali marah? Lupakan saja, kita bahas perihal lain." ucap Nolan kemudian menyeruput kopi hitam panas yang baru dibuatkan istrinya.
"Apa ini? Kau membuat kopimu sendiri?" tanya Arthur.
"Tidak mungkin, ini buatan istriku. Khusus untukku dan hanya untukku." ucap Nolan sombong. Arthur memutar bola matanya malas sambil meminum sedikit cokelat hangatnya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan keputusanmu untuk Ardan itu?" tanya Nolan tiba-tiba. Nyaris Arthur menyemburkan cokelat hangat yang telah bercampur air liur itu pada wajah Nolan.
"Aku sedang tidak ingin membahasnya sekarang." ucap Arthur ketus.
Nolan mengangguk pelan, "Memang, produk yang didesain oleh Ardan tiada duanya. Omset perusahaanmu kini melejit karenanya dan benar-benar di luar dugaan. Kau bisa dan sangat boleh mempercayainya perihal itu. Tapi untuk perihal lain, aku tidak mempercayainya. Dia sedikit mencurigakan. Bukankah kau pernah bercerita jika dulu dia membawa kabur penemuannya bersama tim usai lulus sekolah?"
"Albert yang bercerita padamu, bukan aku." timpal Arthur.
"Nah, kau mengingatnya juga kan? Lagipula, apa untungnya jika kau pergi ke masa lalu? Kurasa untungmu hanya untuk urusan bertemu Lidya, kan?" kata Nolan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH - A Story: The Unfinished Past
Fanfiction[CERITA INI FIKSI/ TIDAK NYATA] "Mesin waktu ini seolah-olah memberikanku kesempatan kedua untuk berada di masa-masa yang berharga bagiku. Aku ingin melihatmu lebih lama lagi di versi yang terbaik dalam hidupku." "Bukan tanpa alasan aku meninggalka...