Chapter 7 - Ego

65 9 1
                                    

Arthur berjalan dalam lorong rumah besar nan megah dan seseorang mempersilakan dirinya untuk duduk. Arthur kikuk, tidak tahu harus bagaimana menyikapi situasi yang terjadi padanya sekarang. Tidak lama, seorang pelayan datang padanya membawa segelas susu dan juga beberapa keping cookies. Ingin mengucapkan terima kasih pun sangat sulit untuk mulutnya. Apakah situasi ini benar adanya? Memang benar, nyata. Namun hati dan pikiran Arthur memiliki pendirian masing-masing.

"Sebentar lagi Tuan Darmo akan datang menemui kamu. Jangan takut, Tuan Darmo baik hatinya. Anak muda seperti kamu pasti dimaklumi sama Tuan Darmo. Saya pergi dulu ya. Kalau butuh apa-apa, panggil saja saya. Saya Mbok Ida." ujar Mbok Ida tersenyum seraya menatap Arthur dengan tulus.

"Anak.. muda?" gumam Arthur bertanya-tanya.

"Iya to, kamu anak muda. Masih seger gini badannya." timpal Mbok Ida.

"Mb-mbok saya boleh pinjam cermin?" tanya Arthur.

"Cermin? Kenapa pinjam? Di sebelah kamu ada cermin besar." kata Mbok Ida sambil menunjuk sebuah cermin besar yang sudah kokoh berdiri di sebelah kiri belakang Arthur.

Arthur pun berjalan sedikit ke arah cermin itu dengan perasaan gugup. Kalau memang dirinya berada di tahun-tahun semasa SMA nya, mungkin wajahnya betul kembali muda. Tetapi hal tersebut memerlukan persetujuan dan proses yang panjang kata Ardan. Mustahil jika dirinya bisa terlihat muda dalam waktu semalam.

"Wajahku.." Arthur meraba cermin besar itu tepat di pantulan wajahnya.

Ya, Arthur kembali muda. Tidak hanya wajahnya, namun keseluruhan badannya juga kembali seperti dirinya remaja kala itu. Hanya saja, tahu lalat kecil yang ada dekat matanya itu kembali dan tampak manis. Karena seiring bertambahnya usia, Arthur sempat tidak percaya diri dan memilih menghilangkan tahi lalatnya yang menjadi khas dirinya.

"Arthur."

•••

Arthur menelan ludah ketika ia berhadapan dengan Tuan Darmo, orang yang mencarinya karena dirinya tiba-tiba berada di tengah-tengah kebun sawit miliknya. Arthur pun tidak dapat menjelaskan bagaimana kemungkinannya karena pada masa ini orang-orang juga pasti tidak percaya dengan adanya mesin waktu, alat yang membawanya kemari.

"Sebenarnya, saya tahu kamu. Saya kenal kamu, Nak Arthur." ujar Tuan Darmo seraya tersenyum kecil.

"M-maksud t-tuan?" tanya Arthur gagap.

Tuan Darmo tertawa kecil, "Jangan panggil saya tuan. Kamu bukan pelayan disini. Panggil saya Pak Darmo saja." ujar beliau.

"B-baik Pak."

"Jangan terlalu kaku juga. Orang-orang di masa depan memang seperti itu ya?" lanjutnya kemudian terkekeh. Dengan santainya Tuan Darmo menyeruput kopi hitamnya.

Arthur terbelalak mendengar ucapan Tuan Darmo, 'Orang-orang di masa depan memang seperti itu ya?'

"Pak Darmo tahu.. saya?" tanya Arthur ragu-ragu.

"Nak Arthur, saya mewakili keluarga keponakan saya Ardan mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya atas ulah Ardan yang sudah jahat membuang kamu ke masa lalu. Saya memang berhutang budi dengan kakak saya, alias Ayah Ardan. Tapi saya tidak buta, kamu masih pantas hidup, Nak Arthur." ujar Tuan Darmo.

"Maksud bapak apa? Bapak paman Ardan? Ardan.. seumuran saya kan?" tanya Arthur.

"Iya, Ardan. Ardan Bumi Anjani, keponakan saya. Dia seorang ilmuwan kan di sekolahnya?" ucap Tuan Darmo. Arthur spechless.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HIRAETH - A Story: The Unfinished PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang