Lelaki itu memandang seorang wanita yang tengah menyusuri taman di samping rumah mereka. Senyumnya mengembang, seirama dengan senyuman wanita yang saat ini sedang meraba salah satu bunga peliharaannya yang tampak layu.
Wajah lesu wanita itu tak dapat terelakkan, membuat lelaki itu mau tak mau berdiri menghampiri.
"Ada apa, Ma?" tanyanya membuat kepala wanita itu sedikit menoleh. Ia menunjuk bunganya, lantas membuang napas lelah.
"Bunga Mama. Padahal, Mama udah rutin sirami nya," jelasnya dengan sedikit melipat bibirnya kecewa.
Lelaki yang tak lain adalah Altair itu tersenyum tipis, lalu menarik ibunya untuk duduk di kursi menghadap taman.
"Nggak papa, ya, Ma? Bunga jenis itu kan masih ada." Altair memberi pengertian. Beruntung, ibunya itu langsung mengangguk dan tersenyum. Wanita itu masuk ke dalam pelukan putranya, dengan sigap Altair mengelus bahu ibunya lembut.
"Ini jam berapa?" tanya Anggita.
Altair menoleh ke belakang, dari dinding kaca yang langsung mengarah ke ruang tengah. Ia bisa melihat jam besar di samping meja televisi.
"Jam lima sore, Ma." Anggita langsung menjauhkan tubuhnya dari Altair, membuat Altair mengernyit. "Ada apa?"
"Papamu akan pulang sebentar lagi. Mama harus segera masak untuk makan malam."
"Tidak perlu."
Anggita yang akan berjalan, menghentikan langkahnya. Ia dan Altair sama-sama menatap ruang tengah itu hingga tak lama kemudian tampaklah Andre yang datang membawa satu paper bag besar sambil tersenyum lebar.
"Tidak perlu memasak, Papa bawakan makanan."
Anggita tersenyum lebar, ia berjalan setengah berlari menghampiri suaminya lalu memeluknya. Sepasang suami istri paruh baya itu tampak saling berbicara dengan senyum yang terpatri di kedua wajah mereka. Tanpa menyadari keberadaan Altair yang masih berada di taman dan juga menatap mereka dengan senyum tipis.
Ini yang ia inginkan dari dulu. Ayahnya yang peduli, dan ibunya yang bahagia. Altair dulu berusaha untuk mewujudkan ini semua, dan usahanya tidak berakhir sia-sia. Ia bisa merasakan hidup di keluarga harmonis dengan kedua orang tuanya yang saling mencintai.
"Altair, segera masuk dan kita makan malam," titah Andre yang lebih dulu pergi dengan istrinya.
Altair mengangguk, setelahnya ikut menyusul dan makan bersama yang dulu hanya bisa ia bayangkan.
***
Mobil putih itu berhenti tepat di depan pagar sebuah rumah yang sangat ia rindukan. Butuh waktu untuk Erick berani menginjakkan kakinya kembali di rumahnya sendiri setelah kebodohan yang ia lakukan.
Erick menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghelanya panjang. Ia merasa tidak punya muka lagi dihadapan keluarganya. Terutama kedua orang tuanya. Ayahnya pasti kecewa, dan ibunya ... Erick menyesal telah tanpa sadar menyakiti hati wanita yang melahirkannya itu.
Setelah mencoba memberanikan diri, Erick keluar dari mobil. Ia berjalan dengan jantung berdegup kencang melewati pekarangan sampai depan pintu utama rumahnya.
Dengan perasaan campur aduk, Erick mengetuknya beberapa kali. Tidak sampai lima menit, pintu itu terbuka. Kedua orang itu mengerjap, hingga tanpa bisa menahan lagi, Erick langsung memeluknya erat.
"K-kak Erick." Erick semakin mengeratkan pelukannya, tanpa diminta air matanya jatuh.
"Lia. Kakak kangen banget sama kamu." Erick mengurai pelukannya, mengusap kedua pipi adiknya yang juga sama-sama basah oleh air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heartbeat
Teen Fiction"Sekali lo berurusan sama Daniel. Kecil kemungkinan lo buat lepas dari dia. Karena Daniel, bukan orang yang mudah lepasin lawannya." Daniel Aska Sagara, sudah bukan rahasia umum lagi jika orang-orang menyebutnya sebagai cowok yang tidak memiliki ha...