Bagian 10

62 41 28
                                    

Malam itu, Laura terduduk di tepi kasurnya. Kini kamarnya ia kunci, tak ingin rasanya ia diganggu saat ini. Ia melirik lengan kirinya, sayatan-sayatan yang ia buat di malam-malam sebelumnya meninggalkan banyak bekas disana. Laura menambah 1 sayatan lagi malam ini. Hal ini sudah menjadi candunya, walau terkadang ia masih merasa pedih, ditambah saat keluar harus ia tutupi semua bekas itu dengan concealer.

Setelahnya, Laura berdiri melangkahkan kakinya menuju meja belajar di kamarnya. Ia menatap ke arah buku-bukunya yang tertata rapi di mejanya itu. Ia melengus, lalu menyandarkan dirinya pada kursi. "Makin lama, makin aneh." Gumamnya.

"Ngapain dia ngajak belajar diluar? Alesannya juga gak banget." Tanyanya dalam hati. Entah kenapa setiap kali ia melihat buku olimpiade dengan mapnya, yang terlintas dalam pikirannya adalah Aksa. Karena memang setiap harinya di perpustakaan, ia dibuat tak habis pikir dengan cara bersikap Aksa.

Tangan kanan Laura kini meraih pulpen yang berada di kotak pojok meja, ia berniat untuk mempelajari fisika lebih dalam lagi. Terutama tentang teknik, sebagai persiapan olimpiadenya kedepan, juga sebagai bekalnya kuliah nanti. Saat tangan kanannya terulur untuk mengambil pulpen, ia menghentikan pergerakan tangannya. Laura menatap ke arah lengan kanannya yang masih mulus tanpa luka sayatan. Ia tersenyum. Karena ia pikir ia sudah gila, namun ternyata masih ada kewarasan pada dirinya, walau sedikit. Tangan kanannya sengaja ia biarkan karena jika terluka, akan susah baginya untuk bersekolah.

Lengan kanannya memang bersih, namun tidak untuk yang kiri.

Keesokan harinya, rutinitas Aksa masih sama seperti biasanya. Bolos kelas dengan alasan dispensasi, namun mulai hari ini, sedikit demi sedikit ia mulai memperlajari materi sebagai persiapannya di olimpiade yang akan berlangsung kurang dari 1 bulan lagi. Ia menoleh ke arah Laura yang tengah fokus dengan coretannya, "Ra, kaki lo kenapa?" Tanyanya, matanya kini menuju pada kaki siswi yang duduk di sampingnya itu.

Kedua alis Laura bertaut, ia lalu menunduk mengecek kakinya baik kanan maupun kiri, "Apanya? Gak kenapa-napa."

"Bisa jalan gak?" Aksa bertanya untuk kedua kalinya.

"Bisa lah."

Aksa membuang napas dari mulutnya, "Ya udah ayo nanti jalan," Sontak Laura menatap Aksa keheranan, "Maksud gua, belajar, tapi diluar." Sambung Aksa. Ia meremang, cukup gugup melakukan hal ini pada perempuan. Rasanya, saat ini yang ada pada dirinya bukanlah Aksa, tetapi Regan. Tak heran, karena Regan yang menyarankan hal ini. Dan bodohnya, Aksa melakukannya. Karena ini semua demi lancarnya pencitraan.

Tetapi... apa harus sampai sejauh ini?

"Lo budek, atau pura-pura bego? Kemarin gue bilang apa?" Kini Laura menatap tajam ke arah Aksa. Ia merasa cukup terganggu jika Aksa berada di dekatnya, namun jika Aksa berada di luar pengawasannya akan lebih parah lagi. Laura tahu, Aksa tak akan mempersiapkan olimpiade jika tak diawasi olehnya.

Aksa beralih menatap layar ponselnya, "Pura-pura bego? Secara gak langsung lo bilang gua pinter dong." Sarkasnya dengan senyuman miring. Sepertinya memang Aksa berniat memancing emosi Laura. Entahlah, Aksa merasa setiap kali ia telah melakukan hal baik pada Laura, keinginan untuk membuat Laura emosi muncul pada dirinya.

"Realistis aja lah, gak bakal ada yang nyangkal fakta itu disini." Ujar Laura sembari memutar bola matanya, cukup malas ia meladeni lelaki di sebelahnya itu. Dia terlalu menyebalkan bagi Laura.

Lawan bicara Laura mengangguk pelan, "Ya udah, sih, kalau gitu lo cuma bakal liat gua tiduran sebulan ini." Ujarnya lalu beranjak meninggalkan Laura sendiri di bangkunya. "Gua yakin lo bisa mikir resiko, Ra." Lanjutnya.

Langkah kaki Aksa ia tujukan pada bangku Abim. "Bim, Zan, mabar?" Ajak Aksa pada Abim dan Ezan disana.

Abim seketika mengalihkan perhatiannya dari bukunya pada Aksa, "Masih pagi, bego. Tapi, ayo login." Tangan Abim mengambil ponselnya dari loker meja miliknya, begitu juga Ezan yang mau ikut bergabung, bermain game bersama.

"Nice."

Beberapa menit kemudian, setelah menyelesaikan game-nya, Aksa kembali kepada bangkunya. Laura menoleh, "Sa,"

"Hm?" Aksa merespon sembari merapikan kursinya dan duduk setelahnya.

"Mungkin bisa dicoba," Ujar Laura, Aksa yang berada di sampingnya menaikkan satu alisnya tak mengerti apa yang dimaksud Laura. Gadis itu mengalihkan pandangan dari Aksa, "Yang lo bilang tadi."

Aksa membuka mulutnya sembari mengangguk-angguk paham, "Ah, mau kapan? Dimana?"

"Perpusda." Singkat Laura.

"Oke, Wi-Finya enak disana."

"Sebenernya lo mau belajar, atau main game?" Laura menatap tajam ke arah Aksa, nadanya terdengar sedikit marah.

Aksa menggaruk tengkuknya, ia mengangkat kedua bahunya, "Belajar. Tapi ya, tergantung nanti." Balasan dari lelaki itu membuat Laura mendengus, lalu kembali dengan kesibukannya. Aksa-pun sama, ia melihat-lihat beberapa soal teknik bagiannya.

Singkat cerita, sepulang sekolah, Aksa berjalan bersama Laura menuju area parkir. Karena memang sejak pagi, mereka langsung ke perpustakaan tanpa menaruh tas di kelas terlebih dahulu. "Lo punya motor, tapi kenapa naik angkot?" Tanya Aksa yang kini memasang helmnya.

"Daerah sini rame, jadi gak dibolehin sama bokap." Jelas Laura, sementara Aksa ber-oh ria.

"Ya udah naik sini." Seru Aksa, menunjuk ke arah jok belakang motor miliknya dengan dagunya, mengisyaratkan agar Laura segera naik.

Spontan Laura mengerutkan dahinya bingung, "Hah? Lo udah tau gue naik angkot, mana mungkin bawa helm."

"Pinjem punya Regan, dia lagi ekskul. Ambil aja di motor itu, gua udah izin ke dia." Aksa menunjuk motor milik Regan dan menyebut platnya, setelahnya Laura berjalan menuju motor yang dimaksud dan mengambil helm yang bertengger di spionnya. Kemudian, Laura-pun menaiki motor Aksa, berboncengan menuju Perpusda sesuai yang diinginkan Laura.

———————

author's: ini kemarin abis liburan, sekarang up lagi gegara gabut 😔

Friday – July 7th, 2023.
@.ulttrasonic

Izinkan Aku Bernaung [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang