Epilog

89 5 5
                                    

"Berdasarkan pasal 339 KUHP , Saudara Laut terkena ancaman pidana penjara seumur hidup, paling lama dua puluh tahun. Dan untuk Dokter Angga yang terlibat dalam penjualan organ terkena Pasal 192 UU 36/2009. Terdakwa Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."

Tok

Suara ketukan palu sebagai akhir dari persidangan yang dilakukan atas dakwaan kasus pembunuhan dan kasus penjualan organ yang melibatkan dua orang. Laut dan Dokter Angga.

Langit yang terduduk di antara Ayahnya dan Ibunya hanya bisa terduduk lemas. Pikirannya sudah lelah. Ia kembali lagi memikirkan uang yang ida terima dari adiknya. Apakah ini solusi singkat yang dilakukan oleh adiknya untuk membantu permasalahannya? Dengan membunuh Bagas dan menjual organnya demi kesempurnaan progja yang dirinya cari? Langit benar-benar tidak bisa menerima hal ini.

Sinta menangis dalam diam, air matanya sudah habis sedari tadi. Kejadian yang menimpa anak keduanya adalah mutlak kesalahannya. Karena masalalunya ia berhasil membuat anaknya bertingkah dengan keputusan yang diluar kendali. Mengambil jalan akibat perseteruan perbandingan dan ucapan paksaan untuk terlihat bisa seperti Kakaknya.

Ibu Sutar hanya bisa terduduk di pojok ruangan, memeluk anak-anaknya. Keheranan merajai pikirannya, betapa Laut berhasil menyembunyikan permasalahan sebesar ini seorang diri, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya.

Saka, Deo, Reihan, Lisa, dan Risa terbungkam dalam kebisuan. Pikiran mereka tak mampu membentuk imajinasi atas aksi yang dilakukan oleh Laut. Ia menciptakan cerita yang rumit dan memerlukan waktu yang panjang untuk mengelabui pihak berwenang, menyusun sandiwara yang membingungkan.

Dokter Angga, sebagai asisten Sinta dalam proses otopsi Bagas, telah menyusun manipulasi data hasil otopsi tersebut. Tindakan ini merintangi Polisi Ali dalam menemukan bukti-bukti yang diinginkan.

Laut berdiri dari duduknya, sorot mata yang melihat, terlihat merasa iba dan marah yang menjadi satu. Langit dan Laut saling berkontak mata. Dalam tatapan lembut, Laut tersenyum pada Kakaknya. Mata Laut menyipit membentuk huruf U yang mencerminkan kejujuran yang tulus. Langit terdiam, tak sanggup merespons. Hanya air mata yang meluncur deras, menyaksikan adiknya menjauh bersama polisi yang mengawalnya di belakang.

Saat terduduk dalam keheningan yang membelenggu, terpaku oleh ketakutan dan penderitaan yang menghantamnya. Langit merenungkan betapa jauh adiknya, Laut, telah terjerumus dalam labirin gelap kejahatan. Dalam diam, ia berusaha mencari pemahaman atas apa yang mendorong Laut melakukan perbuatan sedemikian keji.

"Apa ini alasan lo Dek, selalu bilang bayang buat Gua? Kesempurnaan yang Gua cari, lo yang ngelengkapin selama ini? Gua terlalu tolol buat gak ngenyadarin hal itu. Yang gak sempurna itu ternyata Gua, bukan lo Dek," batin Langit meredam segala emosi yang berkecamuk dalam dirinya.

...

PLAK!

Satu tamparan mendarat di pipi Sinta. Wanita itu memegang pipinya yang hangat karena kesakitan.

"Saya baru sekali ini bertemu dengan Ibu yang tidak berhasil menjaga anaknya. Bahkan potensi yang dimiliki anaknya pun tidak tahu," kata Ibu Sutar tajam.

Mereka berdua kini tengah bertemu empat mata di tempat yang lumayan sepi. Sehingga obrolan mereka tidak dapat yang mendengar. Dalam situasi saat ini Ibu Sutar lah yang mengajak pertemuan ini setelah persidangan selesai.

Sinta melihat wanita yang jauh lebih tua darinya itu dengan nanar, seakan tidak menerima tamparan tersebut. Sinta ingin menampar kembali, namun sebuah tangan memberhentikannya.

Langit Dan Laut (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang