- ice -

389 51 18
                                    



Tapi kita berdua sama-sama terseret ke langkah yang begitu jauh di garis waktu yang berbeda.”

—cad—






Aku dan kak Gempa tidak pernah dekat.







Padahal kami sangat mirip satu sama lain.





Haha. Aneh.






Kak Gempa bagiku adalah orang yang sanggup meredam semuanya sendirian, meredam amarah, perasaan, dan segalanya sendirian. Tapi melampiaskannya salah.

Aku tahu aku tak punya hak mengatakan ini, karena aku lebih keterlaluan dari kak Gempa.

Tapi kita berdua sama-sama terseret ke langkah yang begitu jauh di garis waktu yang berbeda.





Kami orang yang rusak dan merusak.




Kami orang yang buruk.




Aku menyadari keanehan kak Gempa sejak awal, raut wajahnya, perilakunya. Aku merasa kak Gempa tidak menyukai rumah. Kak Gempa terlihat membenci segalanya. Meski senyuman miliknya tetap terlukis, sorot matanya muak dengan itu.

Kupikir aku salah lihat. Kupikir aku hanya berpikiran buruk tentangnya.

Ternyata aku terlalu lalai dengan itu.







“Kak Lin,” suatu hari aku berbicara pada kak Lin. “Kak Gempa itu, entah kenapa, seperti orang yang terganggu.”

“Terganggu?” kak Lin memandangku lamat. Bukannya dia tidak percaya denganku, hanya saja kak Lin adalah orang yang mempercayai fakta dengan mata kepalanya sendiri, dan aku adalah orang yang mempercayai intuisiku.




Kenapa ...?

Ya.



Awal bermula kulihat saat mereka memasuki jenjang SMP, menjadi orang yang terlalu peka itu tidak menyenangkan, ada hal hal yang menyakiti diri sendiri dibandingkan saat kita lebih baik tak mengetahuinya.

Saat itu kulihat——Kak Tau memasuki sekolah formal pertamanya, wajar jika dia merasa gugup dan senang. Tapi yang kulihat adalah wajah kak Gempa yang tampak tak menyukai kehadiran kak Tau.

Sekilas, aku memalingkan wajah. Kak Gempa, tidak mungkin seperti itu. Selama ini mereka semua baik-baik saja.




Benar, bukan?




Semakin hari perasaanku makin gelisah. Kulihat wajah kak Gempa yang perlahan kehilangan cahaya dan rona meski sikapnya tidak berubah sama sekali, dia tetap tersenyum, dia membantuku mengerjakan pr, dia memasak untuk kami, dia memarahi kak Aze, tak ada yang salah.

Tapi, kenapa wajahnya tampak berbeda?




Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, berbeda dengan kak Aze atau kak Tau, aku memang sengaja menguntit kak Gempa. Kecurigaanku tidak mudah hilang begitu saja. Meski kak Lin menepuk kepalaku dengan lembut. “Bukannya aku tak percaya padamu, Ais, tapi mungkin Gempa hanya lelah... Siapapun  bisa terlihat kusut untuk beberapa hari.”





Sayangnya, kak Gempa bukan orang yang sekadar lelah.

Dia muak.








Aku mendengarnya sendiri dari mulutnya. Saat dia bersama pemabuk-pemabuk itu. Ia tertawa dengan nada yang remeh. “Taufan? Jangan bercanda ...”

cad | gempaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang