- duri -

197 26 13
                                    

Terjerat, terbelenggu, terikat oleh masa lalu. Di waktu yang terus berputar. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini?”

—cad—





“Orang-orang bilang kakak adalah orang yang baik.” sebuah percakapan terjadi di ruangan yang hening.

“Jika mereka tahu isi hatiku, mereka hanya akan melempariku dengan batu.”




“Terserah,” aku bergumam. “Kakak selalu bersikap keras pada diri kakak sendiri, orang dirumah ini, yang memiliki sikap paling keras terhadap diri kakak hanya kakak sendiri.”

“Diam.” kak Gempa melotot ke arahku. Aku hanya mendengus. Itu benar.





Aku tahu itu benar, kak Gempa sangat mirip dengan kak Ez, secara mindset, tipe orang yang meletakkan kesalahan mereka didepan apapun. Tipe orang yang sama sekali tidak menyadari kehadirannya sangat berharga, alih-alih, mereka hanya berpikir kehadiran mereka merusak, bagaikan magma yang keluar dari gunung berapi. Mereka pikir hanya dengan kehadiran, mereka sudah melukai banyak orang, dan tidak menyadari (atau hanya tidak mau menyadari) bahwa abu yang dikeluarkan darinya adalah sesuatu yang sangat berguna untuk alam. semua orang sudah memaafkan mereka, dan mereka masih mengingat semua kesalahan mereka, tanpa sedikitpun yang terlewat.

Aku menghela nafas. Orang-orang kenapa sih?

Sibuk banget.

Lihat, orang-orang pada jahat, tapi orang-orang baik justru berpikir merekalah yang jahat.




Dunia memang gila.



“Kenapa sih kak?”

Di malam yang harusnya menjadi tenang dan penuh kebahagiaan, dia yang akan menjadi tokoh utama pada besoknya justru berdiri dengan mata yang terguncang seperti gempa.

Oh, dia benar-benar kak Gempa sih. Apa boleh buat?


Aku yang duduk di pembatas balkon menghela nafas melihatnya.




“Bagaimana, bagaimana jika aku ... Mengacaukan semuanya, bagaimana jika aku tak cukup baik, tapi ... Bagaimana ... Ini —”

“Kakak mulai terlihat seperti Thorn.” aku bergumam. Membuat kak Gempa menaikkan alisnya padaku. “Permisi?”

“Yah ...dikit dikit cemas?” aku menjawab.

“Diam,” gerutu kak Gempa.

“Yah, itu benar.” aku mendengus lagi.






“Terima saja kak.” aku tersenyum hambar. “Kak Gempa layak untuk semua ini kok. Sangat.”

Kak Gempa lagi-lagi menghela nafasnya dengan kasar. Tatapan matanya benar-benar sayu dan seolah-olah pasrah. “Ya Allah, Rian...”

“Apa?” aku hanya tertawa. “Allah itu Maha Pengampun, kayak yang di bilang kak Gempa ke kak Is. Kak Gempa suruh kak Is buat memaafkan diri sendiri karena Allah saja mau memaafkan semua dosa, tapi kak Gempa, plis deh.”


Mata emasnya menatapku, berkedut. Nafas dan tangannya bergetar dan ia menghelanya kembali. “Bagaimana denganmu ... Apa yang kau rasakan saat itu?”







“Hari itu?” aku hanya tertawa. “Aku ketakutan, bahagia, cemas juga, tapi yang paling pasti, itu sesuatu yang baru, dan dipenuhi rasa berdebar, tentu saja.”

“...” Kak Gempa hanya memegang wajahnya kembali. Dia benar-benar seperti orang yang terkena panic attack. Padahal dia gak punya. Yang punya panic attack mah Thorn.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

cad | gempaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang