01.Apel&Jeruk

31 14 19
                                    

Asap abu itu meliuk-liuk, seolah menari bersama angin yang meniupnya. Saat dirasa api mengecil seorang pemuda kembali menambah daun kering diatasnya dan api kembali berkobar.

Pemuda itu duduk tak jauh dari pembakaran. Ia mengusap-usapkan tanganya mencoba memberi kehangatan.

Satu puntung rokok ia keluarkan dari saku, menyalakan pemantik dan membakarnya. Kini ada dua polusi udara dalam satu tempat.

Nikotin memang zat terbaik untuk membuat tenang, hal itu yang terpikirkan dalam benak Aloka.

"Dasar bodoh, kenapa daunnya dibakar!"

Aloka tau suara cempreng siapa itu, tanpa harus melihat sumber suara ia sudah tau. Dia Nalu, Naluna mira. Teman kecil Aloka yang selalu ribut.

gadis itu berlari ke pembakaran, menuangkan isi botol minumnya guna memadamkan api.

Aloka yang melihat tentu kesal, dia sudah susah payah mengumpulkan daun kering untuk dibakar tapi justru gadis berambut pendek itu padamkan.

"Ayoklah, musim gugur terlalu dingin aku butuh kehangatan." Aloka berjalan mendekat dan tanganya sibuk memeluk diri sendiri.

"Jika kau butuh kehangatan pulanglah dan nyalakan pemanas, bukanya berkeliaran dengan baju setipis tisu." Gadis itu mendelik, heran dengan kelakuan temanya yang satu ini.

"Lagi pula itu hanya daun kering, mereka sudah jadi sampah tak berguna." Aloka kembali menghisap rokok ditangannya.

"Mereka bisa jadi kompos. Di dunia ini semua hal itu berguna jangan langsung dihancurkan dong." Nalu jongkok, mengeluarkan plastik kecil lalu mengumpulkan sisa daun kering yang belum terbakar.

"Tapi ibuku bilang aku tidak berguna."

Terkejut dengan jawaban Aloka, Nalu memilih untuk menatap langit.

"Bukanya ini masih sore, kenapa rasanya gelap. Loka, aku butuh senter."

Aloka terbahak, hanya dengan Nalu ia bisa melakukan jokes itu. Walau itu sebenarnya kenyataan.

"Ah, airnya sudah matang," ucap seorang wanita berusia empat puluh tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ah, airnya sudah matang," ucap seorang wanita berusia empat puluh tahun.

Ia mengangkat teko lalu menuangkan isinya kedalam sebuah mangkok. Terdapat handuk kecil di samping mangkok tersebut.

Aura hangat menyelimuti rumah berdesain rustic. Dimulai dari dapur lalu merambat keseluruh ruangan. Lantai kayu ulin dengan pemanas di bawahnya memberikan suasana nyaman di musim gugur.

Suara dencitan kayu terdengar tatkala sang wanita menaiki setiap anak tanga. Tangannya membawa sebuah nampan besar berisikan semangkok air hangat, handuk kecil dan semangkok sup jamur.

Knop pintu diputar, perlahan pintu kayu terbuka. Ruangan yang didominasi oleh putih gading dengan sedikit abu muda terlihat sangat nyaman dan rapi.

Seorang pemuda berkulit pucat duduk termenung menatap jendela di pingir ranjang, pungungnya terlihat lemah dan pasrah menyatu dengan sandaran kasur.

Apple And Orange In The Same TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang