Bab 15. Keputusan

17 8 0
                                    


Sesuai apa yang direncanakan kemarin, rapat orang tua murid dan guru berlangsung hari ini.

Sebagian besar orang tua murid yang mendapat surat undangan rapat, sudah pun berkumpul di aula yang biasa digunakan ketika pentas seni rupa. Bisik-bisik mereka mengudara, seakan tidak ada lagi yang namanya privasi. Tidak ada lagi yang namanya rasa empati.

Apa yang mereka inginkan adalah tempat mengeluarkan semua unek-unek atau bahkan kedengkian mereka terhadap Bu Retno dan suaminya, orang tua dari Bagus.

"Saya dengar murid yang dirumorkan itu tuh, juga bermasalah terus di sekolah-sekolah sebelumnya," ucap salah seorang wali murid.

"Ih, itu sih bukan rumor lagi, Bu. Memang kenyataannya begitu, 'kan sampai masuk penjara juga tuh anak."

"Kok bisa diloloskan masuk kesini ya," bisik yang lain.

"Entahlah, aku sendiri juga bingung kok. Apa mungkin mereka nyogok pihak sekolah?"

"Hush! Nggak boleh ngomong kayak gitu, nggak mungkinlah pihak sekolah Nerima sogokan begitu."

"Lalu, karena apa dong?"

"Mereka masuk melalui jalur prestasi, nilai-nilai raport dan hasil ujian masuknya tinggi. Makanya mereka di terima disini," jawab salah satu dari mereka.

"Eh, eh, kedua orang itulah orang tua dari murid tersebut," kata Bu Sisil, salah seorang dari wali murid yang sempat cekcok dengan Bu Retno di grup WA.

"Dasar enggak tahu malu, gimana sih dia didik anaknya?"

"Maklum, dia 'kan bukan orang yang berpendidikan macem kita-kita ini. Sementara suaminya sering dinas ke luar kota, makanya nggak ada lagi yang bisa ngawasi tumbuh kembang anak-anaknya. Terutama tingkah laku kedua anaknya, di luar sekolah."

"Penampilannya saja katro begitu kok, mana ngerti dia ngajarin anaknya untuk bersikap gentleman.

"Tau tuh, gagal banget jadi orang tua!"

"Mending kalau tahu anaknya itu trouble maker, sebaiknya di home schooling kan saja."

"Home schooling 'kan mahal, mereka mana mampu. Biaya dua anak di sekolah internasional ini saja pasti habis uang banyak. Apa lagi yang home schooling."

Hampir semua yang datang di agenda rapat tersebut membicarakan tentang keluarga Bu Retno, melimpahkan semua kesalahan yang kepastiannya juga masih di pertanyakan. Tapi bagi mereka, hal itu bukan urusan mereka. Tujuan utamanya hanya menyingkirkan Bagus yang sudah menimbulkan keresahan di sekolah yang sebelumnya tenang.

Bu Retno yang tersinggung atas berbagai ucapan yang orang tua murid lontarkan kepadanya, Bu Retno bahkan sudah bersiap hendak membalas perbuatan mereka. Namun sang suami menghalangi niatnya tersebut.

"Sabar, Buk. Biarkan saja mereka mau berbuat apa, kita jangan terpancing. Nanti runyam masalahnya," ucap Pak Wisnu.

"Tapi mereka keterlaluan, Yah. Mereka menganggap anak kita sebagai penjahat. Memangnya Ayah nggak sakit hati? Kalau cuman aku yang di hina sih nggak masalah, tapi aku nggak suka dan nggak terima kalau ada orang lain yang menghina dan menjelek-jelekkan anak kita," ujar Bu Retno.

"Iya, Ayah paham. Tapi kita harus sabar, tenang, rapat mau dimulai. Jika Ibuk ngeladeni mereka nggak akan ada habisnya, Buk," kata Pak Wisnu.

Bukan dia tidak sakit hati akan perlakuan yang mereka terima, namun ribut ditempat itu juga bukan hal yang tepat. Pak Wisnu merasa lebih baik mengalah agar keadaan tidak memanas, laki-laki separuh baya itu mencoba menempatkan dirinya sebagai orang tua yang anaknya hilang, sampai sekarang.

"Bapak tuh terlalu baik, mending Bapak kalau nggak mau bantu Ibuk, ya sudah nggak usah ikutan datang," gerutu Bu Retno.

Pak Wisnu beristighfar, memang keadaan belakangan ini selalu menjadi penyebab dia dan istrinya selalu beradu argumen.

"Selamat pagi. Bapak, Ibu dan saudara sekalian. Terima kasih karena sudah hadir di rapat orang tua murid dan Guru, yang diadakan sangat mendadak. Terkait kejadian yang tidak menyenangkan belakangan ini, dimana empat orang siswi dinyatakan hilang dan sampai saat ini belum ditemukan," tutur Pak Anwar memulai rapat tersebut.

"Nggak usah bertele-tele deh, Pak Anwar. Langsung ke intinya saja," sergah ibu Widuri. Lirikan tajam ibu Widuri di tujukan langsung pada Bu Retno.

"Betul itu! Cepat tangkap anak pembawa bencana itu!"

"Keluarkan anak itu dari sekolah ini!"

"Kami tidak mau menyekolahkan anak kami bersama dengan seorang kriminal!"

"Setuju! Kalau tidak ada tindakan apapun, kami akan memindahkan anak-anak kami!"

"Benar!"

"Kembalikan anak-anak kami!"

Keadaan semakin tidak kondusif setelah ibu Widuri memancing emosi orang tua murid, yang kebanyakan dari mereka bersumbu pendek.

"Sabar ibu-ibu, sabar," ucap Pak Anwar.

"Bagaimana kami bisa sabar, jika anak-anak kami masih belum ditemukan!" Seru Ibu Risa.

"Suruh si Bagus untuk menyerahkan kembali anak-anak kami!" sahut Ibu Nia.

"Betul itu! Bila perlu keluar kan dia dari sekolah ini, penjarakan saja!" teriak sebagian orang tua murid.

"Anak saya bukan penjahat! Anak saya tidak melakukan hal tersebut!" teriak Bu Retno.

"Sekali pembuat onar, dia akan terus menimbulkan masalah di mana pun mereka berada!" Suara teriakan ibu Widuri kembali menyulutkan api di hati orang tua murid yang lainnya.

"Tapi, anak saya tidak bersalah. Bagus hanya tidak pandai mengekspresikan perasaannya, tapi dia anak yang baik," lirih suara Bu Retno memberikan pembelaan terhadap putra sulungnya.

Hatinya teramat sakit, tidak terbayang betapa sakitnya perasaannya ketika dia terus mendengar anaknya dijadikan bulan-bulanan orang tua murid.

Situasi rapat semakin tidak terkendali, rapat yang diharapkan bisa memberi jalan keluar, justru sekarang jadi merunyamkan keadaan.

Di satu sisi orang tua murid yang anak-anak mereka hilang, terus menuntut keadilan. Sementara disisi lain Bu Retno dan Pak Wisnu yang tidak terima anaknya dituduh sebagai penyebab hilangnya mereka.

"Jangan diam saja dong, Pak! Apa keputusannya?"

"Benar itu! Kalau tidak segera diambil tindakan, makin banyak yang akan jadi korban!"

"Dengan sangat terpaksa saya mengambil keputusan untuk men-skors Bagus, dengan batas waktu yang tidak ditentukan. Sampai situasi terkendali dan pihak kepolisian telah menemukan siswi-siswi yang hilang. Dengan ini rapat telah selesai. Terima kasih untuk waktu yang Bapak dan Ibu luangkan," tutur Pak Anwar. Bagaikan hakim yang telah mengetuk palu di persidangan.

Keputusan tersebut sudah tidak dapat diganggu gugat. Bu Retno yang mendengar hasil rapat tersebut tentu saja tidak terima, air mata sudah tidak dapat lagi dibendung.

Pak Wisnu sendiri tidak bisa berkata lagi, dia mengerti kenapa pihak sekolah mengambil jalan tersebut. Namun ayah dari dua putra ini, juga tidak terima anaknya menjadi kambing hitam. Entah sampai kapan segala tuduhan tersebut harus mereka terima.

Orang tua murid yang puas dengan keputusan itu, pulang dengan hati riang. Sedangkan Bu Retno dan Pak Wahyu, pulang dengan hati yang terkoyak.

The Twins Secret (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang