Bab 23. Siapa pelakunya?

21 6 0
                                    

Deru suara sirine mobil polisi memecahkan suasana di sore hari yang mencekam, kini bukan hanya ibu Widuri, Pak RT, dan teman-teman dari ibu Widuri saja yang mengerubungi penemuan dari paket berisi mayat Widuri yang dalam kondisi mengenaskan.

Bahkan ibu Widuri sendiri beberapa kali pingsan, dirinya masih belum bisa menerima bahwa putri tunggalnya telah tiada. Hatinya terpukul dan serasa dicabik-cabik ribuan kali, kini dia tidak punya harapan lagi akan bisa berkumpul lagi dengan putrinya.

Dunia yang selama ini dia bangun dengan sedemikian indahnya, sekarang hancur berkeping-keping. Pandangan matanya kabur, ketika dia dihampiri oleh petugas polisi untuk dimintai keterangan pun dirinya tidak dapat merespon sama sekali.

"Bagaimana anda menemukan paket ini? Apakah anda sama sekali tidak menemui hal yang aneh? Misalanya pengirimnya atau apa gitu?" tanya salah satu petugas polisi yang datang saat itu, pertanyaan tersebut ditujukan kepada Pak RT. Sebab ibu Widuri kini terbaring tak sadarkan diri, sehingga sudah dipastikan bahwa perempuan paruh baya itu tidak bisa diajak bekerja sama.

"Saya tidak tahu, Pak Polisi. Sebab sewaktu saya menemukan paketan ini, sudah tergeletak di depan rumah saya. Di luar rumah juga tidak ada siapapun,"ujar Pak RT.

Polisi itu kemudian melakukan penyelidikan menyeluruh ke sekitar rumah, beberapa warga juga dimintai keterangan namun jawabannya tetap sama. Mereka tidak mengetahui lebih lanjut kenapa bisa ada paket tanpa ada orang yang mengirimnya, seolah si pengirim ini bisa menghilang dalam sekejap mata.

Sementara itu, jasad Widuri telah dibawa ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan proses autopsi. Sebelumya ibu Widuri telah mengizinkan saat petugas polisi meminta izin untuk dilakukannya prosedur autopsi, guna mencari tahu senjata yang di gunakan untuk melakukan pembunuhan. Serta untuk mengakali kalau-kalau pelaku meninggalkan jejak atas tindak kejahatannya.

Lokasi dimana paket itu ditemukan telah diberi garis polisi agar tidak ada warga sekitar yang merusak tempat kejadian perkara atau yang biasa lebih dikenal dengan TKP.

"Pak Polisi, saya yakin orang yang telah membunuh putri saya dengan cara yang begitu kejam adalah si psikopat gila itu!" Teriakan ibu Widuri membuat semua yang hadir di lokasi hampir saja melepas jantungnya.

"Benar! Saya juga setuju dengan apa yang dikatakan oleh ibu Widuri. Bagus pasti yang melakukan pembunuhan ini, makanya dia melarikan diri dari rumah untuk melancarkan aksinya."

"Siapa yang anda maksud?" tanya salah satu dari petugas tersebut pada ibu Widuri.

"Loh, kok malah tanya balik? Bukannya sudah ada laporan kalau orang yang di duga melakukan tindak penculikan itu sudah melarikan diri," ucap ibu Widuri. Kemudian dia juga menceritakan keadaan di kediaman Bu Retno.

"Kami belum mendapat laporan kehilangan seperti apa yang anda katakan."

Ibu Widuri lalu bertanya pada rekan wali murid yang lain, ketika salah satu dari mereka menghubungi ibu Risa barulah mereka tahu bahwa ibu-ibu tersebut juga kembali ke rumah masing-masing.

"Begini saja, Ibu. Kami akan melakukan penyelidikan secara menyeluruh. Saat anda menemukan kejanggalan lainnya segera hubungi kami, begitupun dengan anda Pak RT."

"Baik, Pak Polis."

Kerumunan massa yang menonton penemuan paket berisi mayat itu akhirnya di bubarkan oleh pihak kepolisian, kerumunan massa itu membuat situasi menjadi tidak kondusif sehingga menghambat proses penyelidikan.

"Eh, gimana kalau kita pamit pulang duluan yuk, perasaan ku kok nggak enak gini. Kalau Widuri saja kali dengan kondisi seperti itu, lalu gimana dengan nasib anak-anak kita?" tanya ibu Nia.

"Benar juga, kita balik saja yuk. Di sini juga kita nggak ngapa-ngapain 'kan, mending kita pamit saja sama ibu Widuri dan polisi," sahut ibu Lulu.

"Aku sih, ayok saja. Aku setuju banget dengan usul ibu Nia ini, hatiku dari tadi nggak enak banget loh."

"Ibu Nia, coba deh Ibu yang izin dengan Pak Polisi. Tanyakan juga apakah ada kabar tentang anak-anak kita," ucap ibu Lulu.

"Loh, kok aku sih. Kenapa nggak Ibu saja? Bukannya Ibu itu selalu membanggakan diri punya kerabat yang kerja jadi tentara, dan meremehkan kerja polisi?" Ibu Nia tidak sudi dijadikan kacung oleh ibu Lulu.

Sebab ibu Lulu sebelumnya menertawakan dirinya saat Nia hilang, saat itu ibu Luli dengan sombongnya mengatakan kalau saudaranya yang tentara itu bisa langsung menemukan Lulu, jika seandainya Lulu hilang seperti Nia.

Waktu itu ibu Lulu juga menganggap remeh usahanya untuk melaporkan kehilangan putrinya itu ke polisi, ibu Lulu mengatakan kalau lapor polisi itu hanya buang-buang waktu saja. Sebab citra polisi di mata masyarakat sudah tercoreng, akibat ulah oknum-oknum polisi yang hanya memanfaatkan pekerjannya dan juga jabatannya. Buntut dari kasus-kasus seperti itu lah masyarakat awam memandang polisi.

Belum lagi praktek hukum yang tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Maka dari itu polisi sekarang pamornya kalah jauh dari pada tentara. Padahal baik itu polisi, tentara, dokter, perawat, guru, atau bahkan buruh bangunan sekalipun. Kalau orang itu bukan tipe orang yang bisa menempatkan diri dan berdedikasi terhadap pekerjaannya, maka semuanya itu sama saja.

"Dih, ibu Nia nih malah ngelamun pulak. Buruan deh, kita kan juga harus mengetahui keadaan di rumah kita sendiri. Mau sampai kapan kita disini terus?" cecar ibu Lulu, ketika ibu Nia yang sedari tadi dia ajak bicara malah tengah asik melamun hingga ke langit ketujuh.

"Ah, Ibu mah! Kalau nggak sabaran tuh pergi saja sendiri, bawel banget sih! Sudah nyuruh, bukannya ngomong baik-baik ini malah ngatur-ngatur nggak sabaran banget sih jadi orang," gerutu ibu Nia.

Mau tidak mau ibu Nia pun menurut juga, meski dirinya masih terus ngedumel dan terkadang juga ikut mengumpat.

"Hm, begini Pak Polisi, kalau misal kita pulang dulu. Lagian kita juga disini sudah?" tanya ibu Nia pada salah petugas polisi yang tengah melakukan penyelidikan di lokasi kejadian.

"Sudah selesai kalian ngegosipnya?" tanya polisi yang tadi diajak bicara oleh ibu Nia. "

"Hehehe, kami sudah selesai ngerumpi, Pak. Boleh ya Pak, izinkan kamu memeriksa kondisi rumah kami. Lagi pula interogasi terhadap kita, telah selesai dilakukan oleh anda juga. Jadi kami tidak punya kewajiban untuk terus berada disini," ibu Nia yang zaman sekolah dulu itu sering menyambet juara debat, tentu saja bukan masalah yang besar bagi ini Nia.

Setelah kedua polisi itu saling bertukar pendapat, akhirnya memutuskan ibu-ibu itu bisa pulang terlebih dahulu, dengan syarat ketika pihak berwajib ingin meminta kerja sama mereka tentu saja mereka harus datang untuk memberikan kesaksian atau menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Terima kasih banyak, Pak Polisi. Anda memang terbaik!"

The Twins Secret (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang