29

2.4K 201 10
                                    

Ezra mencari-cari Alfian di sekolah. Ia tidak ada di kelasnya, padahal hari ini tidak ada pelajaran. Ia khawatir dengan Alfian, yang kemarin pergi tanpa pamit. Ia sudah menunggu Alfian sejak malam, tapi tidak ada kabar darinya.

Ia bertemu dengan Anggie, ketua kelas IPS 5. Gadis itu sedang berjalan bersama saudara kembarnya, Shaka, dan temannya, Livi. Mereka tampak seperti trio yang tidak akur.

“Lo jangan ngelak lagi, ya! Lo harus bisa nurut jadi juri lomba. Ini kan tugas lo sebagai ketua kelas juga orang yang pernah ikut lomba biola di Australia,” ujar Shaka dengan tegas. “Lagian, gue masih bertanggung jawab sebagai ketua MPK sampai gue selesai masa jabatan. Gue masih punya tanggung jawab untuk ngurus hal ini. Lo sebagai kakak kembar  harus bantu gue.”

Anggie menolak dengan keras. “Gue udah bilang nggak mau tau! Gila aja lo! Gue masih ada kesibukan yang harus diurus sendiri. Lagian, lo itu udah nggak jadi Ketua OSIS lagi yang berarti nggak ngurusin cuman awasin kegiatan mereka aja. Lo itu cuma dimanfaatin adik kelas aja. Lo itu bego Shaka!”

Shaka terdiam. Ucapan kakaknya menusuk hatinya. Ia tahu bahwa itu benar. Tapi ia tidak mau mengakuinya. Ia masih ingin berpegang teguh pada tujuannya agar sekolah ini menjadi lebih baik.

Ezra yang melihat dari kejauhan, batuk-batuk kecil. Ia tidak peduli dengan pertengkaran mereka. Ia punya hal yang lebih penting untuk dilakukan. Ia harus mencari Alfian dan meminta maaf padanya sebelum terlambat. Ia tidak mau ada kesalahpahaman antara mereka.

Kedatangan Ezra membuat mereka berhenti berdebat. Ekspresi wajah mereka terlihat suram karena berpegang teguh kepada pendapatan mereka masing-masing. Namun, berbeda dengan Livi yang menyambut dirinya tersenyum.

"Bapak tidak akan ikut campur dengan urusan kalian berdua sebagai keluarga. Tapi Bapak ada urusan ke Anggie," kata Ezra dengan senyum sopan.

Anggie yang sedang tidak mood hanya menatap sekilas saja. Ia bahkan tidak menyahuti perkataan dari gurunya sendiri. Rasanya cukup muak melihat kedua wajah di dekatnya sekarang ini.

Justru Shaka yang melihat kejadian itu segera menarik kepala kakaknya agar menatap wajah sang guru. Ia tidak suka dengan sifat kakaknya yang sangat tidak sopan dan menghargai orang yang lebih tua. Ibaratnya seperti tidak ada yang mengajarkan mereka sopan-santun walaupun itu kebenarannya.

Ezra hanya menggelengkan kepalanya berkata, "Anggie apa kamu ada melihat Fian? Dari tadi saya lihat dia tidak ada di kelas begitu juga tasnya. Soalnya dari malam tadi Fian tidak pulang ke rumah. Orang rumah khawatir dengan anak itu."

Anggie justru mengerutkan keningnya lalu tertawa. "Bapak itu bodoh atau gimana? Kalau tasnya nggak ada, berarti dia nggak datang ke sekolah, dong. Itu kan logis. Lagian, kenapa Bapak tanya sama saya? Saya ini kan bukan saudara atau istri dari Fian, jadi saya nggak tau Alfi di mana."

“Kenapa Bapak nggak nanya sama teman Bapak yang juga kakak Fian? Bukannya kemaren katanya Fian dibawa pulang sama Pak Austin? Jadi tanya saja sama beliau, Pak! Bapak itu laki-laki atau bukan, sih? Katanya laki-laki itu suka berpikir pakai logika, kok Bapak nggak kayak gitu. Oh, atau Bapak takut sama Pak Austin? Wah, Bapak pengecut juga, ya?” sindir Anggie sambil tertawa kecil.

Perkataan Anggie lagi-lagi tampak menohok orang di sekitarnya. Ezra hanya diam tanpa menolak kasar ucapan dari muridnya. Ia tahu jika bahwasanya Anggie saat ini sedang lagi tidak ingin diganggu.

Ezra berterima kasih kepada Anggie yang memberikan jawaban walaupun kurang memuaskan. Setidaknya ia harus kembali menanyakan kebenaran sekali lagi kepada Austin. Tampaknya tadi Austin sedang membohongi dirinya.

Di tempat ketiga remaja tadi. Anggie hanya mendesis kesal melihat sang gurunya. "Dasar nggak peka! Nyusahin orang lain lagi."

"Hust, nggak sopan kak ngomongin guru kayak gitu," tegur Shaka dengan menoyor kening kakaknya.

Anggie balas memukul pundak Shaka dan berkata, "Lagian, ya! Dia itu nggak peka sama sekali. Dia itu udah salah besar sama Fian, tapi tuh orang pura-pura nggak ngerasa bersalah. Rasanya pengin gue ulek tuh guru!"

Shaka yang mendengarkan hanya pasrah. Ia tidak bisa lagi melawan ucapan cewek yang katanya selalu benar. Jika debat masalah perasaan kakaknya akan lebih mendominasi dibandingkan dirinya.

"Tapi ... gimana tadi? Lo harus ikut jadi lomba juri!" seru Shaka yang kembali mengibarkan bendera perang. Kemudian mereka kembali berdebat dengan dua lawan satu.

***

Ezra menuju ruang guru untuk mencari Austin yang katanya sedang berada di sana untuk makan siang. Pria itu tampak santai waktu makan dan tidak menyadari ada yang mendekatinya. Ezra hanya duduk di depannya dengan tatapan tajam.

“Austin, gue mau bicara dengan lo,” ucap Ezra dengan nada dingin.

“Oh, lo ternyata. Gue kira cuman murid yang mau ngasih tugas,” sahut Austin dengan senyum sinis. “Apa yang mau lo omongin? Langsung aja, jangan basa-basi. Gue nggak suka hal yang ribet.”

Ezra hanya mengangguk-angguk saja. Ia menunggu Austin selesai makan agar pembicaraan mereka tidak terganggu karena pembicara ini agak sensitif bagi keduanya. Ia melihat wajah Austin yang penuh misteri.

Austin meletakkan sendoknya dan membersihkannya dengan tisu. Ia juga mengelap bibirnya dengan tisu. Gerakannya terlihat lembut juga sangat anggun.

Mata Austin menatap Ezra dengan senyum palsu. Ia melihat Ezra yang juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua sama-sama menyimpan rasa kesal di hati, tapi tidak mengungkapkannya.

“Jadi, apa yang ingin lo tanyain ke gue?” tanya Austin dengan dingin.

“Lo bohong sama gue. Lo pasti tau di mana Fian sekarang. Lo udah sembunyikan dia dari gue,” tuduh Ezra dengan senyum tipis. Jarinya mengetuk-ngetuk meja berkali-kali. Suasana ruang guru yang ramai menjadi lebih tegang dengan suara ketukan itu. “Lo adalah orang terakhir yang ngebawa Fian pulang kemaren.”

Austin mengangkat alisnya dan berkata, “Dan apa masalahnya? Dia kan adek gue, wajar saja gue yang ngebawa dia pulang.”

Ezra tertawa kecil dan berkata, “Baiklah, itu wajar. Tapi yang gue tanya sekarang adalah di mana lo sembunyikan Fian. Gue yakin lo udah sembunyikan dia dari orang tua lo juga  gue. Gue cuman pengen tau di mana dia, agar gue nggak khawatir lagi.”

Austin hanya tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia tidak akan memberitahu keberadaan adiknya begitu saja, meskipun ia tahu. Ia akan menjaga rahasianya.

“Cari tahu sendiri, Ezra. Lo itu suaminya atau bukan? Kalau lo suaminya, harusnya lo bisa mencari Alfi sendiri. Jangan manja.” Itu adalah kata-kata terakhir yang Ezra dengar sebelum Austin pergi meninggalkannya sendirian di meja makan.

***

Jangan lupa vote dan komen :v
Up lagi😋🙌
Lanjut!!

I Believe You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang