"Sam, sebelah sini!"
Dalam hitungan detik, mataku disilaukan oleh cahaya flash dari beberapa fotografer yang memintaku berpose dengan Mama. Senyumku terpasang tanpa cela sementara Mama mengapit lengan. Aku bisa membayangkan berita seperti apa yang akan beredar esok hari.
Sejujurnya tubuhku sudah sangat lelah. Yang aku inginkan hanyalah pulang ke apartemen dan berendam sembari ditemani satu gelas Nebbiolo hingga kantuk menyerang. Namun tentu saja aku harus berada di acara ini hingga Mama memutuskan kami harus pergi. Aku nggak pernah punya suara memutuskan apa pun.
Mama dengan antusias mengenalkanku kepada anak-anak dari kenalannya, perempuan-perempuan cantik yang berburu suami dari sesama kalangan borjuis. Meski tanpa disertai kalimat apa pun, aku hafal tujuan Mama: mencarikanku jodoh.
Homoseksualitasku bukan merupakan rahasia bagi Mama, Papa, serta keluarga inti, tetapi mereka tetap saja menginginkanku menikah. Alasannya cuma satu, meneruskan warisan keluarga.
"Kamu lagi sibuk ngapain sekarang?"
Aku sedang berdiri di depan salah satu perempuan bergaun merah dengan sampanye di tangan dan dandanan yang nggak berlebihan. Mataku justru tertuju pada kalung yang melingkar di lehernya, terutama karena tatahan rubi berwarna senada dengan gaunnya terlihat begitu menyilaukan mata.
Aku bahkan nggak ingat siapa nama perempuan ini.
"Sedang dalam proses restorasi satu film Indonesia yang udah cukup lama dipercaya nggak ada kopinya," jawabku singkat tanpa lupa memamerkan senyum ramah yang sayangnya nggak keluar dari hati.
Pertanyaan senada selalu aku balas dengan penjelasan singkat dan umum. Nggak pernah ada perempuan yang menunjukkan ketertarikan serius dengan apa yang aku lakukan. Mereka hanya mengincar nama belakang keluargaku.
"I heard you were never interested in taking over the family business. I find that's quite surprising."
"Words travel fast, don't they?" balasku sebelum menyesap white wine yang rasanya sudah berubah karena terekspos udara dalam waktu yang cukup lama. Ingin rasanya memuntahkan kembali wine yang baru aku sesap ini.
"You're one of the most eligible bachelors in town," ucapnya. "Semua tentang kamu pasti jadi berita, cepat atau lambat."
Perempuan tersebut menyelipkan rambut sebahunya ke belakang telinga sembari memandangku penuh arti. Sekalipun nggak punya niat membawa percakapan kami ke sebuah kencan, aku cukup tahu arti dari beberapa body language perempuan yang ingin menarik lawan jenisnya.
"I don't recall getting an award for that," candaku berbalut sarkasme yang tentu saja nggak ditangkap oleh lawan bicaraku.
Perempuan di depanku tertawa dengan sangat anggun, seperti layaknya mereka yang lahir dari keluarga berkelas. "Aku nggak tahu kamu bisa juga bercanda."
"Masih banyak yang nggak diketahui orang tentangku."
Setelah bertahun-tahun, kemampuan berbasa-basiku dengan natural tanpa terlihat dipaksakan sudah terlatih dengan baik. It has become my second nature.
Belum sempat perempuan itu menjawab, Mama sudah berdiri di sampingku. "Jennifer, maafin Tante, ya? Tante harus nyulik Sam ketika kalian lagi asik ngobrol. Tapi Tante udah simpen nomor kamu. Nanti biar Sam yang hubungin kamu."
"Nggak apa-apa, Tante."
Dengan senyum lebar, aku mencondongkan wajah untuk mengecup kedua pipi Jennifer. "It's been nice talking to you, Jennifer. I'll see you around."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE GREATEST KISS
Romance"Are you out of your mind?" Begitulah reaksi orang-orang terdekat Sam ketika mengetahui bahwa dia berniat menjadi salah satu kontestan reality showpencarian jodoh. Di atas kertas, nasib Cakrawala Sampurna berbanding lurus dengan nama belakangnya: ta...