King of My Heart

186 27 9
                                    


"My perfect sky."

Sejak mengetahui arti namaku dalam bahasa Inggris, Ezio selalu menyelipkannya setiap kali kami bertemu. Dia menganggapnya sebagai sebuah panggilan sayang, terlepas dari status kami yang nggak terikat hubungan apa pun. Awalnya aku sempat menganggap Ezio berlebihan, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku merasa ada yang hilang jika dia nggak mengucapkannya. Lagipula nggak pernah ada yang memberiku panggilan seromantis itu selama 27 tahun.

"Ezio Cesare Landi."

Nggak mau kalah, aku selalu membalas Ezio dengan menyebutkan nama lengkapnya. Pertama kali mendengarnya, dia tergelak. Bahkan detik ini pun, Ezio menundukkan wajah, jelas berusaha menahan tawa. Ezio pernah bilang, belum ada pria yang sanggup membuat dia terhibur hanya dengan menyebutkan nama lengkapnya.

"I'm going to miss the way you pronounce my name," ujar Ezio seraya memajukan langkah hingga jarak di antara kami terpotong. "Are you nervous, Sam?" tanyanya dibarengi sebuah senyum.

"Sedikit, tapi aku yakin kamu jauh lebih gugup."

Ezio mengangguk pelan. "You always understand me."

Mencapai final King of My Heart adalah sebuah realita yang terlalu absurd untuk dipercaya. Namun buktinya aku adalah satu dari dua pria yang berhasil menarik minat Ezio, menyingkirkan sepuluh pria lainnya. Aku masih nggak mengerti alasan Ezio terus memilihku karena kontestan lain jelas lebih ingin berada di sini dibandingkan aku.

"We have so much in common, Sam. I wonder if you're destined to be here to be my other half." Kalimat Ezio memang terdengar romantis, tetapi dia nggak akan mengatakannya jika hanya ada aku di hadapannya. Romantisme bukanlah karakter utama yang dimiliki Ezio. Dia terlalu pragmatis. "The thing is, can you see yourself with me in the next ten years? Because I definitely can see myself with someone like you."

Kalimat tersebut persis seperti yang diucapkan Ezio ketika kamera masih belum dinyalakan. Ada briefing dan gladi resik yang harus kami lakukan. Menjadi salah satu kontestan reality show ternyata memang nggak jauh dari yang aku bayangkan. Semuanya hanyalah kepura-puraan yang dibalut oleh drama serta ilusi akan realita. Aku yakin, nggak ada kepalsuan yang lebih hakiki dibandingkan reality show. But here I am nonetheless.

"We are still two different people, Ezio. We have differences that are impossible to ignore because we share many things. Are you ready to compromise?"

Perbedaanku dan Ezio jauh lebih mendalam dari sekadar warna kulit, budaya, dan kewarganegaraan. Keluarga kami boleh sama-sama bersinonim dengan old money serta nama belakang yang identik dengan warisan yang nggak akan ludes dalam tujuh turunan, tetapi kami punya pandangan yang cukup bertolak belakang untuk hal-hal yang bersifat prinsipiel. Menemukan kompromi akan menjadi tantangan bagi kami.

"Semuanya akan bisa dihadapi dengan cinta, kan? Love always trumps every obstacle. Aku percaya kita punya kemampuan untuk itu."

Jika Ezio mengatakannya tanpa ada kamera, aku dengan cepat akan mengajukan argumen bahwa cinta tetaplah butuh logika. Namun Ezio juga nggak akan menyuarakan hal sedangkal itu andai kami berada di situasi yang berbeda. It's all for a show. Aku hanya nggak bisa memberikan pandangan pribadi saat ini.

"With you, it will be. I do not doubt it."

I'm a romantic at heart, but even for me, that sentence is super cringy.

"Rasanya ingin bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama kamu, Sam. What we've had is not enough." Ezio lantas memajukan tubuhnya hingga wajah kami berada dalam jarak yang begitu dekat. Dia tersenyum sebelum mendaratkan kecupan di pipi. "Aku tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang seperti kamu. Where have you been all my life?"

"In Indonesia."

Jawaban pendekku kembali ditanggapi Ezio dengan tawa. Dia membelai pipiku dengan lembut dengan pandangan yang menyiratkan hanya akulah yang dipikirkannya saat ini. Kami pasti berciuman andai nggak ada kamera yang mengepung dari segala arah. It could have been the greatest kiss in my entire existence.

"You'll forever be my perfect sky."

Sedetik kemudian, Ezio memundurkan langkah. Tatapannya secara bergantian tertuju kepadaku dan Devon, seolah Ezio masih menimbang siapa yang akhirnya dia pilih.

Reality show memang bukan dunia yang aku pahami dengan baik, tetapi dunia hiburan bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Semuanya selalu bermuara pada keuntungan. Ezio nggak akan memilihku karena nggak ada keuntungan yang bisa diraup King of My Heart di Indonesia. Acaranya bahkan nggak akan tayang di Asia! Nggak peduli misalkan kami sama-sama saling menyukai, ada realita yang mustahil diabaikan. Ini adalah sebuah reality show, bukan kehidupan yang sesungguhnya.

Ezio berdeham pelan, sebelum berujar, "It's been a pleasure and honor to get to know both of you. Kalian adalah pria yang sangat luar biasa. Jika bisa, aku pasti sudah memilih kalian berdua, tapi aku hanya punya satu golden pin." Ezio menarik napas panjang. "And I hate to disappoint one of you, but I have no choice." Ezio memainkan pin emas berbentuk mahkota di tangannya. "Sam, Devon, aku benar-benar minta maaf karena satu dari kalian pasti akan membenciku."

Aku memberikan senyum paling tulus kepada Ezio, berharap pria itu tahu bahwa aku akan baik-baik saja jika dia memilih Devon.

"And the man I want to put this golden pin on is ...."

~~~

Dear readers, 

What do you think about this opening? Semoga mengobati kangen ya, at least  buat kalian yang emang kangen tulisan saya, sih, hahahaha. 

Have a great weekend and stay tuned for the next part!

Baci,

Abi

THE GREATEST KISSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang