3 - The Golden Cage

66 9 5
                                    

Teror menerpa nggak lama setelah aku membuka mata dan menemukan panggilan serta pesan beruntun dari Mama. Menyadari hari masih terlalu dini—it was 7AM for God's sake!—seluruh pengingat tentang brunch aku abaikan, setidaknya hingga perutku terisi. Selepas menghabiskan satu gelas smoothie—daun bayam, kale, nanas, apel, pisang, susu kedelai, dan seruas jahe merah—serta duduk di balkoni apartemen sembari menikmati matahari pagi, aku membalas satu pesan Mama.

Kemudian aku menyiapkan mental dan fisik demi menghadapi pagi yang lebih panjang. Meditasi selalu aku lakukan sebelum memulai aktivitas, lantas dilanjutkan dengan yoga selama setengah jam. Sehabis itu, aku mandi, dan dengan berat, menyeret kaki keluar dari apartemen untuk turun ke parkiran.

Seraya memanaskan mesin mobil, aku mengabari Mas Bathara, memberitahu kakak laki-lakiku bahwa aku akan sedikit terlambat. Aku mengambil risiko diceramahi Papa dan Mas Bathara soal ketepatan waktu dibanding harus ada di Bay Wind Golf & Resort demi mendengarkan lebih dini kalimat-kalimat menyakitkan yang akan dilayangkan kepadaku.

Papa selalu melibatkan Mas Bathara sejak dulu untuk setiap aktivitas yang menuntut ketahanan fisik. Main golf, memancing, berkuda, berlayar ... you name it. Saat masih remaja, mereka berusaha menanamkan pandangan bahwa pria di keluarga Tedja harus aktif dengan kegiatan seperti itu. Namun mendekati akhir SMA, apalagi setelah kuliah di Australia, aku memilih mangkir setiap kali diajak. Mereka nggak lagi berbasa-basi selepas aku coming out. Jika bukan demi menjaga image, nggak ada keraguan mereka akan melupakanku. Terlalu riskan bagi bisnis dan persona Papa jika sampai tersiar kabar bahwa anak laki-laki Arjuna Tedja yang satu nggak pernah kelihatan bersama. That is my father's worst nightmare.

Sepanjang perjalanan, aku memanjakan telinga dengan gubahan Dario Marianelli untuk Atonement. Sebuah pilihan yang suram untuk hari Sabtu yang sangat cerah. Namun aku membayangkan diri seperti Robbie, yang terjebak dalam peperangan tanpa bisa kembali. Yang berbeda adalah aku terperangkap dalam sarang emas sekalipun pintunya terbuka dan aku bisa keluar. But I chose to stay.

Memasuki Bay Wind Golf & Resort, seorang valet dengan sigap langsung bersiap bahkan sebelum mobilku berhenti. Pemuda itu dengan ramah menyapaku ketika keluar dari mobil. Karena tempat ini adalah salah satu properti Papa, nggak mengherankan banyak staf mengenali sosokku. Ada sebuah imajinasi tolol yang berkelebat dalam pikiranku setiap kali mendapatkan perlakuan istimewa hanya karena aku menyandang nama Tedja. Apakah perlakuan mereka akan sama jika aku bukan siapa-siapa?

Sembari menunggu golf cart, aku menunggu di teras lobi dan menulis pesan singkat untuk Gaia.

My phone will not be active from 2 PM

I have to turn it off for my peace of mind

Tanpa menunggu balasan, aku memasukkan ponsel ke dalam saku celana tepat ketika sebuah golf cart menghampiri. Tersenyum ramah, aku langsung naik dan mengatakan kepada pria yang aku taksir masih di awal 20-an, untuk membawaku ke lounge daripada ke lapangan golf. Nggak ada pertanyaan yang diajukan oleh pemuda itu selain mengiyakan permintaanku.

Tempat ini dibangun Papa tepat ketika aku berangkat ke Australia. Kepergianku ternyata merupakan sebuah berkah karena pembangunan Bay Wind Golf & Resort sempat menemui beberapa kendala. Namun nggak ada masalah yang bisa menahan tekad seorang Arjuna Tedja. Sampai sekarang tiap kali pembahasan mengenai tempat ini mencuat, aku merasa muak. Mungkin lain kali aku cerita.

Sesampainya di lounge, aku mengucapkan terima kasih dan menyelipkan satu lembar seratus ribu ke saku golf attendant tersebut. Perkiraanku nggak meleset. Papa dan Mas Bathara memang masih bermain golf, dan itu memberiku waktu untuk menenangkan diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE GREATEST KISSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang