[01]

41 9 5
                                    

Puluhan kendaraan berlalu-lalang, suara klakson bersahutan. Langit jingga kemerahan di atas sana semakin menghitam, tanpa takut gelap keduanya masih duduk diam pada kursi besi, menunggu bus sore yang tak kunjung datang.

Khawatir saat bus yang mereka tunggu telah berlalu, keduanya saling menghayal. Berkelana pada dunia sendiri hingga melupakan lainnya, terlalu egois memang tapi tak bisa ditinggalkan. Seperti sudah menjadi agendanya setiap hari, di mana memiliki waktu senggang akan mereka gunakan dengan bijak hanya untuk membangun kerajaan fantasi.

Menjadi raja yang mungkin butuh ratu, menjalankan beberapa bidak catur yang butuh komando. Mereka meninggalkan angan yang diharapkan nyata, untuk saat ini. Sebisa mungkin mereka hanya akan berangan bebas, berharap-harap dengan sedikit aksi agar terkabul.

Menjadi kebiasaan buruk saat membayangkan beberapa hal aneh, tanpa tahu waktu hingga tiba-tiba saja sudah hampir gelap. Jeno hanya sesekali sadar, melirik Renjun yang seakan nyaman dengan dunianya. Tak ada niatan menganggu sang sahabat, terkecuali saat bus yang mereka tunggu mendekat.

Hingga pada akhirnya, dengkusan kasar Jeno membuyarkan kerajaan fantasi Renjun. Berangan memukul punggung temannya itu, tapi melihat raut wajah Jeno membuatnya berdecak kesal.

"Jalan aja, yuk," ucapnya tiba-tiba, Jeno turun dengan kasar dari kursi besi, mengajak Renjun untuk berjalan kaki. Agaknya memang benar bus yang mereka tunggu, sudah terlewat sejak tadi.

"Besok kita ada olahraga, loh, Jen," tutur Renjun mengingatkan, agar saat tiba tidak terlalu menyesali karena berjalan jauh. Jeno menggeleng pelan, menolak mentah-mentah ucapan Renjun.

"Kalau capek, besok enggak usah berangkat aja," ujar Jeno, ia kini sedang berbagi ide gilanya pada Renjun. Keduanya diam, Renjun memikirkan ajakan Jeno yang sedikit meragukan, sedangkan sang pemilik ide hanya mendesah kasar.

Renjun terlalu banyak berpikir, semakin malam jika mereka tak segera berjalan. Jeno tidak ingin seperti anak hilang nanti, walau kenyataannya memang begitu. Bukan hilang arah, mereka tahu di mana ini tetapi payah dalam beberapa hal.

"Okey, deh. Tapi nanti ingatkan aku buat beli pesenan Mama." Kepala Jeno mengangguk semangat, ia lelah menunggu bus yang tak kunjung datang. Renjun turun dari kursi besi, berjalan beriringan di atas trotoar. Sorot lampu dari tiang-tiang menerangi keduanya, entah berjalan ke arah mana sesuai insting abal-abal mereka.

Penantian lama mereka tak membuahkan hasil, sedikit kecewa saat bus itu tidak menjemput. Merelakan kedua tungkai mereka untuk berjalan jauh, sembari merutuki nasib mereka yang malang ini. Bahkan tidak ada dalam agenda mereka, rencana pulang dengan kaki memang dadakan.

"Apa kita beli data dulu, Jen?" celetuk Renjun, matanya menatap toko seberang dengan etalase berisi kertas dengan kode, rencananya kali ini harus berhasil.

"Uangku mana cukup," ucap Jeno, tangan kanannya merogoh saku celana biru tuanya. Menggeledah ruang sempit tersebut, hingga dua kertas berbeda nominal yang kusut dan empat keping koin ditemukan. Lain halnya dengan Renjun, ia berjongkok dengan tangan mencari sesuatu di dalam tas.

Hingga kedua matanya berbinar, tangannya berhasil menemukan beberapa lembar uang yang sering ia tinggal di dalam tas. Renjun memekik girang, menghitung jumlah uang keduanya semangat. Sedikit harapan mulai terlihat, jika begini mereka tak akan susah berjalan jauh.

"Bisa, kok!" serunya, menunjukan lembaran uang keduanya. Jeno membulatkan matanya sempurna, tidak sia-sia rupanya ia menyisihkan uang saku yang jarang diberikan.

"Uang pesenan Mama?" Suara lirih Jeno terdengar, ia melirik pelan kertas bernominal itu yang terkumpul. Sebuah petuah yang beberapa saat lalu diberikan ibu Renjun membuat Jeno seketika ragu, Renjun tidak bisa mengingkari janji yang dibuat pada ibunya.

Sebuah Bukti✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang