Tak ada senyum menawan, tak ada senyum memuakkan. Duduk terdiam beberapa saat, melupakan sebuah tab dengan penanya yang berada di pahanya. Entahlah sampai kapan dirinya harus berada dalam lingkup menyesakkan ini, lukanya sudah pulih tetapi tidak ada tanda-tanda untuk diperbolehkan pulang.
Kedua retinanya menggercap pelan, terjengit saat sadar dirinya melamun tanpa adanya masalah. Kepalanya menoleh ke arah samping, mengesampingkan tab dan penanya ke atas nakas. Tempat yang seharusnya menjadi alas untuk beberapa buah dan segelas air, kini terisi tumpukan game dan balok-balok berwarna yang dapat berputar.
Tak jauh dari tempatnya duduk dan bersandar, sang Mama sedang merunduk sibuk dengan laptop yang sejak ia datang ke dunia sudah menjadi pusat kehidupannya. Renjun memandang sendu wanita itu, ia beberapa kali memergoki Mama yang tertidur dalam posisi duduk dengan laptop yang masih terbuka.
Ia sedikit merasa bersalah atas tindakan bodohnya, Renjun tak suka saat Mama selalu berkutat dalam dunianya tentang uang. Hingga tabrakan itu terjadi, mungkin karena sempat mengurus dirinya, waktu milik Mama tersita banyak dan membuat ibu dua anak itu sibuk.
Renjun hanya diam, ia tidak terlalu mengerti apa yang pantas menjadi bahan obrolan di tengah sunyi ini. Canggung yang menyesakkan, Renjun merasa berada dalam ruangan dengan orang asing, padahal Mama adalah wanita yang berperan penting dalam pembuatan dirinya.
Hingga dirinya kembali pasrah, meraih tab-nya kembali dan melanjutkan goresan tipis berwarna dengan pena. Renjun memang suka cara didik orang tuanya, mereka membebaskan para anaknya untuk memilih sendiri apa yang Renjun mau.
Namun, beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku dan mewajibkan Renjun patuh pada sang Mama atau Papa. Tak masalah, hanya perlu duduk menurut bak anak anjing, yang terpenting ia mendapatkan apa yang Renjun mau.
"Jeno," gumamnya pelan, tetapi terdengar hingga telinga sang Mama. Mungkin sebab ruangan yang senyap, jadi tak aneh saat Renjun hanya bergeser mencari kenyamanan pasti terdengar. Renjun menggoreskan penanya pada tab, menciptakan garis yang dapat dibaca samar karena warna yang ia pilih hampir serupa dengan latarnya.
"Ren bilang apa?" Bohong, Mama pasti mendengarnya, Renjun yakin. Ibunya hanya membual, ia tahu itu. Renjun tetap menunduk dan fokus pada tujuannya, menggambar dua anak dengan jarak jauh di padang rumput yang penuh ilalang. Ia menggeleng pelan, membiarkan ibunya kembali berkutat pada laptop.
"Nanti Kakak akan ke sini menjagamu, Mama ada urusan dengan Papa nanti malam," katanya dengan nada terlewat santai, Renjun kemudian mendongkak dengan mata memancar ketidaksetujuan.
"Ren sudah besar, Mama pergi saja dengan Papa," ujar Renjun sebagai pembelaan, ada atau tidak adanya seseorang yang menemaninya sama saja. Renjun tidak terlalu merasa perbedaan jika ada yang menjaganya, sunyi seperti tadi sudah menunjukkan bahwa lebih baik hanya ada dirinya dalam ruangan.
"Kenapa? Ren juga harus dijaga, Mama tidak bisa terus-terusan menunggumu, Kakak juga sedang tidak ada kesibukan." Keduanya memberikan tatapan tak mengenakan, saling tusuk menusuk dalam bentangan jarak. Renjun tahu siapa dan dari mana sifatnya datang, Mama sangat mendominasi cara berpikirnya.
"Ada suster yang menjaga," ucap Renjun menengahi, ia kembali berusaha menyibukkan diri dengan tab miliknya. Renjun tak yakin dengan pembelaannya yang mampu membuatnya menang, Mama itu sangat taat pada apa yang ia ucapkan.
"Mereka tidak bisa diandalkan, selalu berkeliaran seakan sibuk mengurus pasien yang nyatanya hanya berkeliling mencari bahan obrolan," ucap Mama penuh keyakinan, ia menutup laptop tiba-tiba, kemudian memasukkan benda tersebut ke dalam tas yang berada di samping tumpukan kanvas.
Renjun memang suka menggambar, tapi ia juga benci menggambar saat ibunya selalu mengalihkannya pada kegiatan tersebut. Seperti semalam contohnya, Renjun hanya bertanya di mana Jeno karena bocah itu tak menampakkan mata sipit atau hidung panjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Bukti✓
Teen FictionBy ; Archavinzz ❛❛Jeno, kita masih teman bukan?❞ Jeno sendiri tak tahu harus berujar apa, rentetan frasa yang biasanya terpintas tanpa beban kini hilang. Suaranya tercekat, bahkan hanya sekedar anggukan atau sebaliknya saja tidak bisa. Jeno benar-b...