[04]

11 1 0
                                    

Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang hidup dengan bersosialisasi, saling tolong menolong satu sama lain. Namun, tak semuanya menganut hal serupa, banyak dari mereka memilih menjauh dari manusia lainnya karena permasalahan yang sulit dimengerti. Salah satunya adalah Jeno.

Remaja itu bukan tak ingin berbaur, tetapi beberapa kisah masa kecilnya yang membuat dirinya ketakutan. Di mana Jeno melihat dan merasakan sendiri betapa kejamnya Ayahnya, pria dewasa itu merenggut segala kebebasan yang Jeno inginkan.

Tak masalah memang, dengan begitu Jeno lebih bisa mengerti arti batasan. Tapi lagi-lagi, Jeno selalu tampak tak berdaya di bawah kendali Ayahnya. Memohon bagai pengemis, hingga merunduk bagai budak.

Hidup dengan segala keterbatasan yang dibuat-buat, Jeno bisa hidup berlandaskan secuil kebebasan. Ia tak lagi membantah, ia tak lagi memberontak. Jeno bangga akan itu, ia bahkan berhasil menyingkirkan panggilan istimewa yang diberikan oleh Ayahnya. Bajingan Kecil.

Ya, Jeno yakin akan satu hal. Tentang apa yang harus ia relakan untuk meraih tujuan hidupnya, dan Jeno merelakan tubuhnya pada Ayahnya. Tidak pernah sekalipun ia merasa menyesal, Jeno bahkan akan dengan mudahnya menyebarkan kabar tersebut. Memberitahukan kepada dunia, bahwa Jeno milik Ayah.

Kedua matanya memandang kosong langit-langit, tak ada pergerakan sejak dirinya membuka mata beberapa saat lalu. Jeno masih saja betah berbaring tanpa mengenakan atasan, udara dingin yang tercipta dari benda di atas dinding tak membuat Jeno bangkit.

Sorot cahaya matahari dari celah gorden membuat kamar miliknya sedikit bercahaya, Jeno memang suka tidur dalam kegelapan. Ia terbiasa oleh hal itu, Jeno memang telah terbiasa akan banyak hal. Salah satunya, menjauh dari sahabat kecilnya.

Ia hanya takut, Ayah tak pernah main-main dengan ucapannya. Jeno memang berbeda dan Ayah benci itu, Jeno takut jika Renjun akan terluka karena dirinya.

"Jeno! Apa kau masih saja menggulung dirimu?!" Jeno menutup matanya sesaat, ia bangkit seraya memungut kaos putih yang berada di sudut ranjang. Mungkin, jika tak ada yang berteriak di pagi hari, Jeno akan tetap dalam posisinya.

"Y-ya, Jeno sudah bangun, Ayah," gumamnya pelan, Jeno yakin sang Ayah tak mendengar balasan tersebut.

Bergerak perlahan turun dari ranjang, ia kenakan kaos putih kusut itu untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Punggung dan bahu miliknya memang tak lagi kokoh, setelah kecelakaan beberapa tahun lalu menciptakan sebuah luka yang melintang panjang di punggungnya.

Tangan kanannya meraih gagang pintu, menekan dan menariknya hingga terbuka. Kedua matanya tertutup, sorot cahaya lampu dari luar menusuk retinanya. Tangan yang berada di gagang semakin menguat, Jeno mematung sesaat di depan pintu kamar menetralkan mata.

"Kenapa lama sekali, Jeno?!" Ia dengan tak rela hati melepaskan genggamannya, berjalan perlahan keluar kamar menuju bagian bawah rumah. Jeno masih saja setia menutup matanya, ia terlalu sering melakukan hal serupa hingga dirinya paham betul sudut rumah.

Hingga kakinya menginjak lantai bawah, kedua kelopak matanya baru saja terbuka. Bukan ingin sombong, Jeno kembali menoleh ke arah atas, melihat puluhan anak tangga yang ia pijak tanpa melihat.

Hanya persiapan saja, jika Ayahnya mengabulkan ucapannya beberapa tahun silam. Tentang bagaimana perasaan saat mati rasa, tuli, hingga buta sekali pun. Jeno hanya akan terus berlatih, hingga dirinya hafal segala keterbiasaan dan batasan.

"Sebentar, Ayah," ujar Jeno dengan tangan kanan merambat pada dinding, menyentuh segala sesuatu yang ia lewati untuk menuju ke ruang makan.

"Kau ini lama sekali! Ingin membolos, hah?! Jangan buang uangku hanya untuk menyekolahkan dirimu, Bodoh!" sentak Ayah sembari menaikkan telunjuknya, menodong Jeno yang baru saja tiba di ruang makan dengan sarkas.

Sebuah Bukti✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang