05

142 27 4
                                    

       Jendra kali ini benar-benar menuruti permintaan Rania untuk istirahat selama beberapa hari sampai luka ditangannya sembuh. Ia hanya akan sekolah di pagi hari dan pulang di sore hari. Setelahnya anak itu memilih untuk berada di kamar hingga menjelang esok pagi.

"Bun, itu bocah belum sembuh juga?"

"Adek bang, bocah-bocah....seenaknya manggil anak bunda kayak gitu." Ujar Rania sembari fokus dengan acara memasaknya di dapur.

"Iya bun Hanan salah. Jangan ngambek dong....cantiknya bunda nanti hilang...." Hanan memeluk sang ibu dari belakang. Sedangkan Rania hanya bisa menghela napas pelan dengan tingkah putranya.

"Jevan kemana? Kok nggak pulang bareng?"

"Nggak tahu, Hanan sama Jean tungguin di parkiran, tapi anaknya nggak muncul-muncul. Ya sudah kami pulang duluan." Jawab Hanan yang masih betah memeluk tubuh sang ibu.

      Tak jauh dari mereka berdua, berdiri seorang remaja yang kita kenal dengan Jendra. Anak itu hanya berdiam diri melihat interaksi antara Rania dan Hanan.

       Putra pertama Rania itu menyadari kehadiran sosok lain di antara ia dan ibunya. Dilihatnya di sudut dapur Jendra sedang menatapnya dalam diam. Hanan sedikit canggung untuk berkomunikasi lebih dengan Jendra. Anak itu memilih tersenyum singkat dan pamit pada Rania untuk bermain basket di lapangan yang lumayan jauh dari rumah mereka.

       Setelah Hanan menghilang, Jendra mendekat ke arah Rania. Ia membawa nampan berisi piring kotor dan satu gelas yang telah dipakai. Rania sedikit terkejut dengan kehadiran tiba-tiba dari Jendra. Wanita itu sekilas mengusap dadanya dengan pelan.

"Ya ampun sayang, bunda kira siapa. Eh udah selesai makannya? Kenapa turun ke bawah? Biar bunda aja yang ambil di kamar kamu. Oh ya gimana? Lukanya masih sakit? Bunda bener-bener kaget waktu dokter bilang harus dijahit lengan kiri kamu." Rania meraih nampan yang ada di tangan Jendra. Diletakkannya pada wastafel dekat kompor. Rania merangkul tubuh Jendra dan menggiringnya ke salah satu kursi yang ada.

"Tunggu di sini. Cookies bunda sedikit lagi jadi. Kamu harus jadi orang yang pertama kali cobain cookies buatan bunda hari ini." Rania kembali menuju dapurnya. Wanita itu terlihat begitu lihat dengan berbagai macam alat dapur yang ada. Jendra tersenyum getir melihatnya.

'Bahkan bunda Nara nggak pernah sekalipun masak buat kami. Bunda nggak pernah sentuh dapur itu.....'

_________________________________

       Hari telah berganti dengan malam. Sesuai agenda yang telah ditetapkan istri Jeffri Dirgantara, malam ini adalah jadwal mereka untuk kumpul bersama di ruang keluarga. Rania mencoba untuk mempererat hubungan antaranggota keluarga. Wanita itu juga ingin menyampaikan hal penting kepada anak-anaknya terkait jabang bayi yang kini tengah bersemayam di dalam rahim.

"Hari ini bunda ingin memberi kabar bahagia untuk kalian semua." Ujar Rania ditengah keheningan mereka.

"Kabar apa bunda?" Tanya Jean sembari mengerutkan keningnya.

"Kalian akan punya adik...."

       Semua mata sontak tertuju pada Rania, bahkan Jendra yang awalnya menyibukkan diri dengan game ponselnya telah menjatuhkan benda pintar itu setelah mendengar apa yang diucapkan oleh istri baru sang ayah.

"Maksudnya sedang hamil?" Terlihat guratan kecewa nampak pada raut muka Jendra. Benar untuk saat ini ia belum bisa menerima hadirnya anggota baru lagi. Apalagi posisinya sebagai anak bungsu akan tergeser dalam waktu cepat.

"Iya Jendra, bundamu sedang mengandung, dan ayah harap kalian bisa ikut membantu untuk menjaga bunda serta adik bayi." Jeffri menatap bahagia ke arah Rania. Pasutri itu telah berdiskusi mengenai kapan mereka akan memberitahukan mengenai ini pada anak-anak.

Silent [Renjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang