ALASCA's POV
Memendam rasa, memperjuangkannya, dan dengan mudahnya menghapusnya.
Itulah cinta yang ku rasakan. Harus seperti apa agar bisa menjadi milikmu?
Aku bangun dari tidur pada jam 4 pagi. Turun ke lantai bawa, mencari sesuatu yang bisa di makan di kulkas.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh bagian rumah. Mataku terhenti melihat sosok yang sedang duduk menghadap laptop di ruang kerja papa. Aku melangkah menghampirinya, mencolek bahunya dan dengan gusar dia menghadapku. Wajahnya yang awalnya gelisah kini berubah menjadi senyum hangat."Lo kenapa ? Lagi galau ? Sini ngomong." Dia tetap tersenyum sambil mengarahkanku untuk duduk di kursi sebelahnya.
Aku langsung duduk dan menghadapnya. Yang ada di pikiranku adalah, percaya dan bercerita kepadanya atau berpura-pura insomnia biasa.
"Kak, gue cuma bingung. Gue ga ngerti kenapa gue harus ngalamin ini."
"Kenapa? Memangnya kalo kakak boleh tau siapa sih dia sampe buat lo jadi gila?" Dia tersenyum mengejek. Aku benci itu. Tapi memang benar, dia membuatku semakin gila.
"Is apaansih. Orang lagi serius juga diajak becanda mulu."
"Yaudah. Nape lo? Cerita sama kakak."
"Gue cuma mau nanya, kakak dulu sering php in cewek ya?"
Wajah hangatnya berubah menjadi tegang. Dia tak bisa menjawab pertanyaanku.1 menit
5 menit
15 menit
30 menit
"Maafin kakak, ini mungkin yang di bilang temen-temen kakak." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Aku tak mengerti, namun air mukanya menjadi sedih seperti ingin menangis.
Dia tak lagi menghadapku, dia hanya menatap kosong laptop yang ada di depannya.
Tak mau berpikir lagi, aku berdiri dari tempat duduk dan menuju kamar.
Aku mematikan lampu kamar, namun tak memejamkan mata. Mulutku terus mengunyah dan mengecap manisnya makanan ini. Berharap hidupku akan menjadi se manis coklat ini.
****
Hampa. Itulah yang ku rasakan. Aku tau, aku terus berjalan dan tersenyum. Tapi itu hanya senyum yang mengembang karena tuntutan bukan senyum yang terukir dari hati.Tuntutan untuk berpura-pura bahagia agar tetap menjalin hubungan baik dengan realita.
Aku berjalan menyusuri koridor sekolah yang kosong dengan mata yang terbuka lebar. Fisik memang merasa sangat lelah, tapi mata tak ingin dipejam.
Ini efek dari cairan bening yang kutetes tadi pagi agar softlens beningku tidak mengering. Aku memilih memakai softlens daripada kacamata. Karena akan terlihat seperti nerd jika memakai kacamata.
Sekolah ini seperti tak ada kehidupan. Ya, karena ini masih jan 6 pagi. Dan ini hari minggu. Hanya aku yang berada di tempat ini.
Entah mengapa otakku membuat langkahku menuju tempat ini.
Tempat dimana semuanya terjadi. Tempat yang membuat hati menjadi hampa. Tempat orang-orang munafik dan egois bertumbuh. Tempat dimana menjadi bukti akan kenyataan yang berbanding terbalik dengan perasaan dan impian.
Saat hendak melangkah lagi, perutku terasa begitu perih. Perih yang sudah tak ku rasakan 4 tahun terakhir. Aku tidak ingin itu membuatku lemah seperti dulu. Namun sepertinya otakku tak bisa bekerja apabila perutku masih menusuk. Dan di saat itulah semuanya gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFFICULT
Teen FictionTelah 2 tahun dia menunggu, tapi tak pernah mendapatkan. Dia berjuang mati-matian untuk merasakan sesuatu yang bernama cinta, tapi tidak dapat merasakannya, justru orang lain yang santai dia yang mendapatkannya, instan. "Cinta itu terlalu rumit unt...