"Gw Unaira" Unaira menyodorkan tangannya yang segera di terima oleh Faiqha.
"Dia Arinda, dan dia Sifa" Faiqha mengangguk, Unaira mempersilahkan Faiqha untuk duduk.
Faiqha duduk di sofa yang berada dekat jendela yang langsung menghadap ke jalanan kota.
"Un-Unaira" atensi ketiga orang yang berada di ruangan tersebut menoleh ke arah ranjang.
"Vel" Unaira berlari memencet tombol yang berada di dekat ranjang. Tak lama dokter Aira datang bersama suster di belakangnya.
"Pasien berhasil melewati masa kritisnya, cobalah ajak pasien untuk berbicara" jelas dokter Aira yang di angguki ketiga orang tersebut.
"Namun pasien belum bisa terlalu banyak bergerak karena jahitan nya masih basah" dokter Aira membungkukkan sedikit badannya dan melangkah keluar dari ruangan.
"Sebentar!" Seru Arinda membuat langkah dokter Aira terhenti.
"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Dokter Aira berbalik menatap Arinda, Unaira, Faiqha, dan Sifa yang menatapnya.
"Aira" satu kata itu mampu membuat Arinda dan Unaira menyadari sesuatu.
"Hey! Aira" Aira tersenyum dan melanjutkan langkahnya keluar.
"Sialan tu anak! Belum juga minta nomornya!" Umpat Unaira sambil menatap Vel yang mencoba membuka matanya.
"Vel? Butuh sesuatu?" Tanya Unaira pelan.
"A-air" dengan sigap Unaira mengambil air putih yang berada di atas nakas.
Unaira membantu Vel meminum airnya. Setelah itu Unaira kembali menaruh air putih tersebut kembali ke atas nakas.
Vel mengedarkan pandangannya, Vel tersenyum sendu yang di sadari Unaira.
"Kenapa?" Unaira menatap gadis itu dengan tatapan iba. Vel menggeleng pelan.
Unaira mengangguk dirinya tidak mau memaksa Vel untuk menceritakan masalahnya.
"Vel gw pulang mandi dulu yaa" Sifa beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan.
"Vel, maaf gw nggak bisa lama lama, gw duluan ya" Vel mengangguk.
"Em, Vel gw sama Arinda keluar bentar ya, bentar ajaa" Vel hanya bisa mengangguk.
Setelah mereka semua pergi, bulir bening jatuh dari mata Hazel milik Vel.
Di saat gw sakit kok mereka nggak datang? Apa mereka masih mengira gw yang membunuh saudara gw sendiri? Batin Vel.
Vel merasa sesak hebat di dadanya, Vel mengangkat tangan yang tidak di infus dan memukul dada nya kuat.
"AAAAAARRGGHHH VE CAPEK KAKAK! VE CAPEK! VE MENDERITA KARENA PENYAKIT INI!" Dirinya tidak perlu khawatir karena ruangannya kedap suara.
Vel mengangkat tangannya dan memukul kepalanya, menjambak rambutnya sendiri berusaha menghilangkan suara suara dari kepalanya.
KAMU PEMBUNUH!
SAYA TIDAK SUDI MENGAKUI KAMU SEBAGAI ANAK SAYA!
VEL! KAMU KAN YANG SUDAH MEMBUNUH VERO?!
PEMBUNUH!
MATI SAJA KAMU! DUNIA BAHKAN TIDAK SUDI MENERIMA PEMBUNUH SEPERTI KAMU HIDUP DENGAN TENANG!
"STOP! STOP! AAAARRRRGGHHH, VE BUKAN PEMBUNUH! BUKAN VE YANG MEMBUNUH VELLIA SAMA VERO!" Teriak Vel sambil memukul dirinya sendiri.
Vel menoleh ke samping dirinya melihat pisau dapur. Vel mengambil pisau tersebut dan menyayat tangannya sendiri.
Saat melihat darah mulai mengucur dari tangannya Vel menjadi sedikit tenang.
Vel kembali menyayat tangannya, menatap darah yang menetes ke atas kasur nya.
Sret..
Vel kembali menyayat tangannya dengan tatapan kosong.
"VELSHYA! APA YANG KAMU LAKUKAN?!" Vel menoleh ke arah pintu itu Chairunnisa — anggota DF— Vel menatap Nisa dengan tatapan kosong.
Chairunnisa menangis begitu melihat Vel.
"Vel! Lo kenapa? Gw bilang kalo ada apa apa cerita ke gw! Jangan kayak gini!" Vel hanya diam saat Nisa memencet tombol.
"Ya ampun! Vel!" Itu dokter Aira.
"Berikan tanganmu!" Vel malah menyembunyikan tangannya.
"Vel!"
"Keluar!"
"Nggak!"
"KELUAR AAARGGHHH" Dokter Aira mengambil obat bius dan menyuntikkan obat itu ke Vel.
"KELU–" Vel tidak mampu melanjutkan kata katanya.
Nisa dan Aira menangis melihat keadaan sahabat kecil mereka.
"Siapa yang bikin Lo kayak gini Vel?" Nisa terduduk di sofa, Aira mengambil perban dan membalut luka Vel dengan air matanya yang setia mengalir.
"Sesakit itukah sampe Lo kayak gini?"
"Andai waktu itu gw nggak ke Amerika buat ngelanjutin sekolah dokter gw di sana, pasti waktu itu Lo nggak bakal di fitnah kayak gini" sesal Aira sambil meletakkan tangan Vel.
"Vel!" Nisa dan Aira menoleh ke arah pintu, di sana ada Arinda dan Unaira yang baru balik.
"Loh? Nisa? Ngapain Lo di sini? Dan sejak kapan Lo tau Vel masuk rumah sakit?" Tanya Unaira bertubi tubi.
Nisa bangkit dari duduknya dan berjalan pelan ke arah mereka.
"Dari mana aja lu pada?"
"Baru abis beli ini" jawab Unaira sambil mengangkat kantong kresek di tangannya.
"Ngapain ninggalin Vel sendiri?" Keduanya diam.
"Gw yang beli ini, sedangkan Unaira dia ke markas bentar" Nisa mengangguk.
Plak...
Dokter Aira maju menampar Unaira, Unaira yang tidak siap pun terhuyung namun untung Arinda sigap menahannya.
"Loh apa apaan ini?" Emosi Unaira sambil mencengkram kerah baju milik Aira.
"LO LIAT! LIAT TANGANNYA! LO TAU KAN VEL TU NGGAK BISA DI TINGGAL SENDIRI, SIALAN! LO TAU KAN VEL PUNYA TRAUMA! KALO LO TAU KENAPA LO NINGGALIN DIA SENDIRI, HAH? LO PADA MAU NGEBUNUH DIA PERLAHAN?" Unaira menatap tangan Vel yang di perban.
Arinda menutup mulutnya, dia kira Vel berhasil sembuh dari traumanya yang dulu, namun dia salah!
Vel memendamnya sendiri!
"Aira tenang Ra!" Nisa menarik pelan kerah baju Aira hingga Aira jatuh terduduk di sofa.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
4 BADGIRL?!
Ficção Adolescente"ewh, look at that boy" "He looks like bastard" "Come on, kata bastard masih terlalu sopan" "How about, jerk?"