Helaan napas dalam terdengar begitu mobil putih itu telah berhasil diparkirkan oleh sang pemilik–Riana Jihan. Gadis berusia 23 tahun itu melirik jam yang ada di radio mobilnya. Pukul 10 lebih seperempat. Masih ada waktu tiga puluh menit sampai sang Ibu selesai dengan segala urusannya di Bandara. Gadis itu segera mengaplikasikan concealer untuk memperbaiki penampilannya. Menjadi seorang dokter muda yang ditugaskan di salah satu rumah sakit tersibuk di Jakarta membuatnya kesulitan untuk mendapatkan waktu tidur. Sabtu pagi seharunya healing, kan? Bagi Riana Jihan kata healing di hari sabtu sudah terhapus di kamusnya.

Selesai dengan concealer, Jihan menambahkan sedikit blush on di bagian pipi juga sedikit ia gunakan untuk kelopak mata. Bedak tipis juga sedikit liptint tak lupa ia gunakan.

Gadis itu mengganti sepatu dengan sandal wedges khas orang-orang rumah sakit. Kakinya bergerak mendekati pintu kedatangan. Deringan handphone menghentikan kegiatannya.

"Ma, aku udah sampe."

"Iya-iya ini Mama udah di depan pintu. Kak kamu harus tau mama ketemu sama.." Jihan sudah tidak lagi mendengar suara sang ibu dengan jelas begitu netranya menangkap sosok laki-laki tinggi dengan sweater abu-abu sedang menyeret sebuah koper berwarna merah tua yang dikenalnya.

"Kak!" Panggilan itu mengusik Jihan membuatnya langsung menoleh dan mendapati seorang wanita yang kerap ia sapa 'Mama' berada tepat di belakang pria itu.

"Kala." Nama itu keluar dari mulutnya tanpa disadari.

"Iya Kak, Mama ketemu tadi. Kala yang bantuin mama bawa koper sama oleh-oleh." Jihan tertarik kembali setelah berkutat cukup lama hanya memandangi perubahan Ghanakala Pratama Widjaja semenjak keputusan terberat yang mereka ambil empat tahun lalu.

Laki-laki itu meletakkan sejenak barang bawaan wanita berhijab tersebut. Tangannya diulurkan. Jihan cukup terkejut saat ini untuk menerima jabatan tangan dari Kala. Hingga raut kecewa terpatri di wajah Kala.

"Hai!" sapa Jihan seadanya sambil melemparkan senyum. Seharusnya Kala tidak secanggung ini di hadapan Jihan, tapi mungkin terpisah empat tahun mampu menciptakan jarak sebesar ini diantara mereka.

"Kak kebetulan Kala nggak dijemput, nanti kita makan bareng dulu di resto Mama sekalian mama mau turun di situ terus kamu lanjut anter Kala." Suara wanita bernama Rita itu terdengar memecahkan keheningan yang sempat terjadi.

"Tante nggak perlu–"

"Nggak repot! Udah ayo, panas nih." Rita berada di depan hendak menyebrang menuju parkiran sebelum Kala menghentikannya.

"Biar saya ambil mobilnya." Senyum Rita terbit. Begitu juga dengan Kala. Untuk kedua kalinya Kala mengulurkan tangannya mengambil kunci mobil dari Jihan.

"Kak, udah Mama tanyain, available dia," ujar Rita sembari menatap punggung Kala.

Jihan memutar malas kedua bola matanya. "Available apaan, hotel dia?"

"Kenapa? Udah pengen langsung hotel kamu?" Jihan menatap tidak percaya.

"Ih, aku laporin Papa." Rita terkikik sembari mencoba meraih handphone milik Jihan yang hendak melaporkan tingkah jahil Ibunya.

"Iya-iyaa maaf, maksud Mama itu biar koas ada yang nyemangatin. Emang kamu nggak mau?"

"Nggak perlu Ma."

"Yaudah deh. Besok-besok aja." Ketimbang harus merusak mood sang putri, wanita itu lebih memilih untuk menyudahi percakapan mereka.

-o0o-

Selama di perjalanan, hanya hening yang menyelimuti ketiganya. Perjalanan dari Padang membuat Rita kelelahan dan berakhir dengan tertidur.

"Tidur aja, Ji." Jihan hanya tersenyum sembari mengangguk. Panggilan Riri untuk Riana Jihan tampaknya telah sirna bagi Kala.

Perihal kata 'tidur' itu hal yang sangat ingin Jihan lakukan saat ini namun hadirnya Ghanakala Widjaja di dekatnya sukses mengusir rasa kantuk yang beberapa jam lalu berusaha ia tahan.

Jihan menghela napas panjang yang sialnya langsung ketahuan oleh Kala.

"Nggak bisa tidur?"

Jihan berdehem sebagai jawaban.

"Koas lo gimana, Ji?"

"Yaa gitu deh, chaos." Kala tertawa kecil merespon ucapan Jihan.

"Lo tetep mau ambil sp.KK?" Kala melirik dari spion tengah mobil. Jihan tampak sedang memikirkan pertanyaannya.

"Sebenarnya masih cukup jauh buat kesana tapi sebelum wisuda gue sempat kepikiran buat ngambil kesehatan jiwa." Kala mengangguk.

"Keren."

"Biasa aja, anyway thank you. Lo gimana sekarang?" Jihan sedikit tertegun saat mengucapkan kalimat tadi. Agak aneh rasanya melemparkan pertanyaan seperti itu kepada Kala.

"Gue sempat magang di perusahaan bokap sebelum wisuda trus sekarang lagi nunggu hasil test wawancara." Jihan terkejut saat mendengar ucapan Kala.

"Bokap lo salah satu pendiri PT. Widjaja, trus anaknya harus ngelewatin tahapan reguler kayak gitu?"

Kala tertawa singkat. "Justru karena itu. Karena bokap gue salah satu pendirinya."

Jihan mengangguk-anggukan kepalanya. Mobil putih yang dibawa Kala sampai di rumah makan Padang. Ketiganya turun dengan Rita yang berada di depan, bersemangat melihat para karyawannya.

Jihan hanya menggeleng-geleng melihat tingkah sang Ibu diikuti dengan Kala yang ikut-ikutan tersenyum.

"Udah lama, ya, gue nggak dateng ke sini lagi," ujar Kala dengan pandangan yang meneliti bangunan dengan atap berbentuk rumah adat gadang.

Jihan hanya tersenyum. "Oh ya, By the way Bunda gimana?" Untuk pertama kalinya Jihan berani menoleh lurus hingga mencapai netra Kala.

"Masih sama, Han."

"Lo jangan lupa kontrol pola makannya Kal."

"Iya." Kala menjawab seadanya yang langsung dimengerti oleh Jihan. Gadis itu paham Kala terkadang tidak nyaman membahas tentang Ibunya. Keduanya duduk di meja terdekat dengan kasir. Tempat paling strategis untuk Rita mengecek keuangan sembari mengisi perutnya yang lapar.

-o0o-

Labyrinth At 11.10Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang