"So how's he?" Jihan menghentikan pergerakan tangannya yang sedang mengetik. Gadis itu tidak perlu waktu lama untuk memikirkan pertanyaan yang dilemparkan oleh Shanay.

"Nothings different, Nay. Still Kala–"

Shanay terkikik pelan. "Still Kala that you love?"

"Heh!" Jihan menegur tidak terima dengan pertanyaan tiba-tiba dari Shanay.

Semakin keras saja suara tawa Shanay yang keluar dari speaker handphonenya. "Reaksi nyokap lo gimana, Han?"

"Pokoknya lebih heboh dari gue Nay! Kala tadi bilang Mama sempet gandeng tangannya sama foto-foto juga di Bandara– Nay bentar." Suara ketukan dari pintu kamar mendistraksi Jihan. Gadis itu berdiri dan langsung membukakan pintu.

"Kenapa, Pah?" Jihan sudah hafal dengan perilaku sang Ayah. Kalo pintu kamarnya diketuk sudah pasti itu Ayahnya karena kalo Rita atau adiknya bisa langsung nyelonong masuk.

"Papa tadi nggak sengaja denger kamu. Mama gandeng tangannya siapa?" Jihan tersenyum jahil. Ia celingak-celinguk perlahan.

"Selingkuhannya, Pah–" Belum selesai deretan kalimat yang akan keluar dari mulut Jihan. Suara Rita muncul entah dari mana.

"Sembarangan! Enggak Pah, itu mantan nya Kakak, Itu lho si Kala." Rita mengambil handphone nya dari kantong. Mencari letak foto yang ia ambil tadi.

"Ganteng banget, kan." Pria dengan gelar spesialis bedah itu menatap foto Kala sambil mengangguk-anggukan kepalanya setuju dengan ucapan sang istri.

"Anaknya sekarang lagi nunggu hasil wawancara di PT Widjaja, Papa tahu, kan?" Jihan memicingkan matanya dari mana Rita tahu? Mulut Jihan terbuka, kaget.

"Mama tadi denger aku sama Kala ngomong di mobil?!"

Rita balas tersenyum jahil kepada Jihan. "Iyaa! HAHAHAHA" Tawa Rita pecah dan segera berjalan cepat menuju belakang punggung suaminya. Meminta dilindungi dari terkaman Jihan.

-o0o-

"Gue ketemu Riri." Mendengar rentetan kalimat yang keluar dari mulut Kala menarik perhatian ketiga sahabat SMA-nya. Junior yang baru saja duduk di sudut lapangan futsal dengan muka memerah dan sedikit ngos-ngosan menatap Kala.

"Your ex, right?" Kala mengangguk sebagai respon dari pertanyaan Junior.

"How's she?" tanya Raesangga.

"She's doing really-really well." Kala beralih posisi, berbaring di lapangan futsal. Menatap langit langit yang penuh dengan lampu. Diikuti oleh ketiga temannya.

"And i'm proud of her." Ardhito salah satu teman Kala-- terkekeh singkat mendengar itu.

Kala menoleh. "Kenapa lo?"

"Gue inget empat tahun lalu. Lo nangis-nangis di kosan sampe gue, rae harus kabur dari latihan. Junior harus ninggalin kelas pagi trus pas kita sampe ke kosan, lo lagi ngambilin sempak lo yang jatoh di balkon orang sialan." Keempatnya tertawa.

"Kocak banget kalo diingat-ingat. Mana pas sempaknya diambilin, Bapak kosnya ngomong ke gue. Dek Kala nangis karena sempaknya ilang, ya?" Kala menutup matanya karena malu dengan perkataan Rae.

"Kal." Dito memanggilnya.

"Kalo Riri nggak balik gimana?" Kala sontak membuka matanya.

"Gue nggak masalah, To. As long as Riri happy with the man that she loved." Ketiga sahabatnya melirik Kala yang sedang menatap atap lapangan indoor ini. "Gue yang buat Riri harus ambil keputusan ini. Gue juga yang mau buat jauh dari Riri."

Rae tertawa singkat. "Maba yang nangis nangis dulu udah gede, ye sekarang."

"Najis," ujar Kala yang merasa jijik dengan omongan Raesangga. Terlalu capek dengan permainan sepak bola 2 vs 2 ala mereka. Mata keempatnya tertutup.

-o0o-

Dada Kala sesak ketika melihat sosok wanita beruban di depannya. Tubuh wanita yang telah melahirkannya itu kurus kering. Wajahnya terlihat jauh lebih tua dari umurnya. Seharusnya sekarang Daisha–begitulah sang Ibu kerap dipanggil–menikmati masa tuanya. Kala pernah sekali membaca buku diary Ibunya. Tertulis Jepang akan menjadi rumah wanita itu di masa tua. Namun tampaknya Daisha harus merelakan impiannya penyakit yang dideritanya akan sangat menyulitkan.

"Kamu siapa?" Itu hal pertama yang Kala dengar keluar dari mulut wanita yang sedang duduk di kursi roda.

"Kamu mau datang culik saya?!" Daisha memberontak. Suara wanita itu bergetar. Ketakutan. Tangan yang berlapis tulang itu berusaha menutupi wajahnya enggan melihat wajah Kala.

"Pergi kamu! Pergi!" teriak Daisha..

"Mah." Suara sumbang yang sangat kecil untuk tertangkap oleh runggu keluar dari bibir Kala. Matanya memerah menahan tangis. Kala akan dengan sangat lantang mengakui kalau ia adalah anak yang mudah menangis di balik title badan gede dan anak teknik yang melekat padanya.

"Ini aku. Kala." Kala meremas jemarinya matanya memandang lurus pada Daisha. Baik jiwa maupun batinnya kompak ingin segera pergi meninggalkan Daisha. Hanya saja, lewat mata Kala dapat menemukan dengan jelas Daisha perlahan menemukan kembali memori yang telah terkubur bertahun-tahun yang lalu.

Kursi roda itu perlahan maju sampai berada di depan Kala. Pertahanan Kala runtuh. Tubuhnya jatuh ke lantai. Lelaki itu menopang tubuhnya dengan lutut. Menyamakan tingginya dengan sang Ibu.

Mungkinkah Daisha akan menerimanya. Memeluknya lembut, Seperti yang selama ini Kala inginkan. Mengisi posisi yang Kala selalu sediakan dengan senang hati untuknya.

Untuk pertama kali, Kala melihat Daisha berusaha menggapainya. Meletakkan tangannya di pipi Kala, menghapus jejak air mata disana sebelum melayangkan tamparan kuat di pipi itu. Cincin berlian yang dikenakan oleh Daisha melukai pipinya, Kala bisa merasakan perih terpatri di sana.

Tangisan Kala menjadi.

Perasaan takut itu kembali menghantuinya. Segenap kekuatan yang masih tersisa ia kumpulkan untuk bisa kembali bangkit dan berdiri sebagaimana Ghanakala yang semua orang tau.

-o0o-

Labyrinth At 11.10Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang