Kala bukanlah tipikal orang yang mau merusak kesehatan tubuhnya dengan dengan begadang dan hanya menggunakan waktu dua jam terakhir untuk tidur sebelum pagi menjelang namun semenjak empat setengah tahun lalu, pola hidup yang Kala jalani berubah total.
Merokok dan mabuk menjadi hal yang selalu Kala lakukan. Setiap minggu, Junior, Rae, atau Dito harus rela membuang uang dan segera berangkat ke Surabaya untuk membopong Kala yang mabuk.
Kala sudah bisa merasakan perubahan buruk dalam tubuh namun niat untuk berubah belum juga Kala jumpai. Ia menikmati cara membunuh dirinya perlahan-lahan.
Pukul 1.46 menit Kala masih betah berbaring di kursi dekat kolam renang yang ada di belakang rumah Ayahnya. Mata Kala tertutup begitu vape tertempel sempurna dalam mulut, menyesap dalam kemudian menghembuskannya. Badan Kala remuk meronta untuk segera beristirahat hanya saja seisi pikiran Kala menolak. Enggan meminta diistirahatkan, benang kusut dalam otaknya seakan ingin terus diselesaikan tapi semakin banyak cara yang Kala coba, semakin kusut saja benang itu.
Sampai Kala harus berada di titik, di mana dia harus memotong sebagian benang untuk mencegah benang itu semakin kusut.
Kala membuka matanya begitu mendengar suara decitan pintu kaca yang memisahkan antara ruang makan dan kolam. Lelaki itu memasang senyum pada seorang wanita yang tengah mengenakan daster disertai lapisan cardigan putih tulang sedang membawa nampan.
"Kala kok belum tidur?" Suara itu masuk ke indra pendengarannya.
"Biasa Bun. Anak muda," ujarnya sembari tertawa singkat. Wanita itu tersenyum sembari meletakkan nampan pada nakas yang dihimpit oleh dua kursi santai.
"Hot chocholate, Kak," tawarnya.
Kala dengan senang hati bangkit dan mengambil segelas coklat panas yang dibawakan oleh Naira–wanita yang kerap ia sapa Bunda. Wanita berambut hitam itu duduk tepat di depannya.
"Kak ada yang ganggu pikiran Kakak, ya?" Kala menyesap sedikit coklat hangat. Memberikan kenyamanan pada jemarinya yang sejak tadi mati kedinginan.
Kala mengangguk.
"Kala Bunda tau dan percaya sama kamu. Bunda paham kamu sudah cukup dewasa buat nyelesain semua masalah yang ada di kepala kamu sekarang." Naira memandang lekat kepada Kala. Tersenyum hangat pada anak sulungnya.
"Tapi kalau saja Kakak masih belum bisa selesaikan semuanya setelah segala upaya yang kamu coba. Bunda ada di sini Kak. Tepat dan selalu disamping kamu." Posisi keduanya tidak berubah. Naira masih terus memandangi Kala.
Kala meremas jemari setelah meletakkan gelas yang sudah ia habiskan isinya. Berulang kali cowok berlapis kaos biru tua menghela napas dalam. Ia tidak punya cukup tenaga untuk bisa menatap Naira sekalipun pancaran ketenangan selalu hadir di kedua netranya.
"Bun." Mendengar panggilan si sulung, Naira memajukan sedikit badannya.
"Hari pertama aku di sini. Rasanya udah banyak hal yang aku lewati. Aku ketemu Riri, Bun." Kening Naira mengernyit. Ia sangat kenal Riri. Naira tahu segala sikap denial Kala ketika mereka mengakhiri hubungannya.
Helaan napas berat kembali terdengar kali ini bulir keringat juga ikut keluar dari Kala.
"Dan Mama." Naira tidak terkejut. Dari awal ia tau kalau masalahnya ada di sini. Luka hati yang tak kunjung Kala temukan penyelesaiannya.
"Bun." Kala berdiri mendekatkan dirinya kemudian menyamakan tinggi dengan Naira. Cowok berusia 23 tahun itu memegang tangan Naira. "Maaf kalau Kakak belum bisa sepenuhnya terbuka. Untuk sekarang aku rasa, i still can handle this things."
Naira tersenyum lebar. "Kak. Bunda beruntung banget ya punya kamu." Wanita itu beralih memeluk Kala.
"Terimakasih udah mau nerima Bunda, Kak."
-o0o-
Berulang kali Jihan menggerutu. Bibirnya cemberut bukan main di balik masker. Hujan disertai petir yang melanda Ibu Kota memaksa Jihan untuk tetap tinggal di rumah sakit padahal shiftnya sudah selesai. Gadis itu berdiri di ruang tunggu dekat pintu masuk. Tangannya dilipat di depan dada.
"Makin bungkuk deh gue," ujarnya menyadari berat ransel yang ia gendong.
"Hadeh." Suara itu keluar dari mulut Jihan begitu suara hujan justru jadi semakin keras. Sebenarnya Jihan bisa berlari sampai ke mobilnya tapi buku dan alat elektronik yang termuat di tas akan sangat beresiko. Belum lagi tas tangan berisi baju yang ia letakkan tepat di sampingnya.
Gadis itu memilih duduk di kursi. Setelah shift panjang yang Jihan lalui semalam hanya ada dua hal di otaknya saat ini; pulang dan tidur.
Duduk di kursi besi khas ruang tunggu ini perlahan-lahan membuat Jihan nyaman. Kantuk yang menyerang semakin tak tertahankan.
"Iya, sebentar, ini saya masih di rumah sakit."
Asal suara itu tidak jauh dari Jihan, ia mengenal si pemilik suara. Kala.
Gadis itu membuka matanya perlahan. Tidak menunggu waktu lama untuk membuat Jihan benar-benar terbangun karena Kala sudah berada tepat di depannya.
"Sorry-sorry." Kala terlihat panik begitu sadar ia mengagetkan Jihan.
"Oh nggak apa-apa." Jihan memperbaiki posisi duduknya begitu Kala duduk di sebelahnya.
"Kok tidur di sini?" tanyanya.
Jihan menunjuk hujan dengan lirikan matanya. "Nunggu hujan reda."
Belum lama duduk Kala justru memilih untuk bangkit menuju meja resepsionis. Mengambil payung yang ia letakkan di dekat meja.
"Ayo bareng," ujarnya setelah berada di depan Jihan.
Jihan hanya mengangguk. "Thanks."
Gadis itu berjalan beriringan dengan Kala. Sebelah kanan tangan Kala memegang tangkai payung dan sisi lainnya berinisiatif mengambil barang bawaan Jihan.
"Gue pegangin." Jihan tersenyum hangat.
Dengan hati-hati Kala dan Jihan berjalan menembus hujan. Gadis itu menunjuk letak mobilnya untuk memberi tau Kala dimana tujuan mereka.
"Kala makasih ya," ujar Jihan begitu masuk di dalam mobil.
"Sama-sama." Kala menarik kedua sudut bibirnya. Dia nampak sangat manis dengan mata yang membentuk lengkungan tipis. Tanpa Jihan sadari lengkungan itu juga hadir di bibirnya. Tapi tidak berlangsung lama ketika netra Jihan jatuh di bahu Kala. Sweater abu-abunya basah setengah. Hanya pada bagian kiri.
"Gue duluan, ya," ujar Kala. Jihan mengangguk masih setia dengan diamnya. Jihan beralih menatap keadaannya tidak ada satupun yang basah kecuali sepatu yang ia gunakan.
Senyum yang tadi belum juga sirna. Jihan rasa perasaan itu tidak akan pudar. Sebesar apapun hal yang Jihan tidak ketahui tentang Kala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labyrinth At 11.10
FanfictionTrauma yang mendalam itu mendekap pemilik nama Ghanakala Pratama Widjaja dengan kuat tanpa memberikan jeda bagi Kala untuk bisa mengambil napas dan bertahan. Seisi kepalanya berantakan tidak karuan, benang kusut di dalam sana meminta untuk diselesai...