Bab 6 - Dia lagi?

136 52 74
                                        

Dalam setiap kekuatan, ada kelemahan.
Dalam setiap ketakutan, ada keberanian.
Dalam setiap kebaikan, ada keburukan.
Dan dalam setiap cahaya, ada bayangan.

 Dan dalam setiap cahaya, ada bayangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Suasana kelas begitu hening, seolah setiap tarikan napas pun terdengar jelas. Kesunyian dipenuhi oleh suara-suara kecil: goresan bolpoin di atas kertas, detak perlahan jarum jam di dinding, dan dehaman ringan dari beberapa murid yang berusaha mencari konsentrasi di tengah soal-soal matematika yang menguras otak.

Kia duduk tegak di bangkunya, tubuh sedikit condong ke depan, mata fokus menatap lembar ulangan di hadapannya. Tangan kanannya menari cepat, menuliskan angka demi angka, rumus demi rumus. Tapi di tengah-tengah konsentrasinya yang nyaris penuh itu, sebuah kenangan menyeruak tanpa aba-aba. Kilasan perjumpaan dengan Dewangga kemarin melintas begitu saja.

Bagaimana Dewangga tiba-tiba muncul di rak buku, dengan senyum tenang khas dirinya. Cara ia menyapa Kia dengan suara lembut, seolah dunia di sekitar mereka mendadak melambat. Percakapan singkat mereka, tatapan mata yang saling bertaut meski hanya sebentar. Semuanya kembali terputar di kepala Kia, seperti cuplikan film yang tak ingin ia hentikan.

Tanpa sadar, senyum kecil terbit di wajah Kia. Matanya menerawang sebentar, bolpoin di tangannya berhenti bergerak.

“Dih, ngape lu nyengir-nyengir gitu? Sejak kapan rumus matematika bisa ngelawak?” tanya Kiran dengan nada rendah.

Tanpa menoleh, Kia tetap melanjutkan kegiatan menulisnya sambil berusaha menyembunyikan senyuman yang telah disadari oleh teman sebangkunya. “Siapa yang senyum-senyum?”

“Elu!” Telunjuk Kiran teracung. “Pipi lo juga merah gitu.”

Kia menaikkan alis. “Masa?”

Kiran lantas merogoh tasnya, mengambil cermin kecil. “Lihat aja nih, pipi lo merah-merah udah kayak  abis ditabokin emak tiri aja.”

Spontan Kia memegangi pipinya dan melirik ke arah cermin itu, “gak ada kok, biasa aja.”

Mata Kiran memicing. Di kepalanya timbul dugaan. “Lo lagi jatuh cinta, ya?” Telunjuk Kiran mengarah pada wajah Kia, hampir menyentuh hidungnya, “cowok mana yang bikin lo kayak gini?”

Kia terbelalak. “Kamu teh ngomong apa sih? Orang aku biasa aja kok.” Kalau saja ada di taman, Kia pasti sudah menggunakan intonasi nada setinggi mungkin, agar meyakinkan Kiran.

“Ya elah... gak ngaku. Lo kira gue gak tahu, apa?”

“Ya...  emang gak ada kok.” Kia masih berkilah. “Aku... cuma... seneng aja karena soal ulangannya lumayan gampang, jadi gak bikin pusing. Teu kudu capek-capek mikir!”

Dalam benak Kia tersimpan niatan untuk mengutarakan kisah perihal apa yang dirasakannya. Namun, ia ragu. Untuk sementara waktu ia simpan cerita ini sampai nanti.

ANTITESISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang