Di bawah atap yang menahan rintihan tangisan sang semesta, ku goreskan tinta hitam di atas lembaran putih yang tertulis kisah tak terlupakan meski selama apapun waktu telah berlalu.
Ku buka kaca jendela dan membiarkan dinginnya udara sore hari menerpa wajahku.
Ujung bibirku terangkat kala dapat menghirup udara dengan damai. Dia yang tak terlihat, ternyata begitu berharganya dalam hidup ini. Kehadirannya begitu berarti hingga tanpanya beberapa menit saja mungkin sudah menghilangkan banyak nyawa.
Menatap langit mendung yang sebentar lagi akan menenggelamkan sang surya. Aku mencoba mencari pelangi yang mungkin masih ada harapan untuk muncul meskipun sepertinya sang senja'lah yang akan menampakkan diri.
Aku tak menyukai senja, dia yang memberi keindahan tak terlupakan untuk sementara sebelum menghadirkan kegelapan.
Berbeda dengan pelangi, meskipun sebelumnya langit menangis dan meraung dengan suara yang membuat banyak orang ketakutan, tapi setelahnya ia memberikan keindahan lalu tak lama langit menunjukkan kecerahan sepanjang hari.
Hujan pembawa berkah. Dia yang ditakuti banyak orang karena petir dan bencana banjir yang akan dibuatnya, padahal memberikan sumber kehidupan di muka bumi.
Banjir terjadi karena ulah orang tak peduli lingkungan. Sedangkan petir yang mengerihkan ada agar kita lebih mendekatkan diri pada orang-orang tersayang, saling menghangatkan dan memberi ketenangan.
Melihat apa yang aku lakukan saat ini, membuatku teringat pada kejadian yang berhasil membuatku dejavu.
Dulu, ku selalu memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela agar dapat dengan jelas menatap pemandangan di lapangan dari lantai dua.
Terkekeh pelan, ku usap lelehan air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir begitu saja saat mengingat sosoknya yang tak bisa ku miliki.
Sosoknya yang memang tidak ditakdirkan untuk menjadi milikku. Diriku hanyalah figuran yang menjadi saksi terhadap kisah hidupnya yang begitu mengagumkan.
Teringat kembali momen itu, ku kembali menggoreskan tinta di atas lembaran putih yang terbuat dari kayu yang telah memberikan makhluk hidup udara bersih menyejukkan agar dapat dihirup.
Kala itu, aku merutuki diriku yang selalu memilih diam tanpa melakukan sesuatu. Hanya sekedar memandang dan mengagumi yang bisa ku lakukan.
Jujur saja, aku tak bisa menjadi seperti lebah yang membantu dalam proses penyerbukan. Aku takut saat ku sentuh benda yang indah itu, aku justru menghancurkannya. Hal itu tak hanya membuat bunganya hancur, tapi juga perasaanku akan ikut hancur bersamanya.
Tapi rasanya lebih sakit saat bunga itu perlahan rontok dan berkembang menjadi buah yang segar tanpa adanya peranku. Aku ingin menyimpan bunga itu, ku tak ingin ia rontok.
Membasahi tenggorokanku yang terasa kering, aku mengatupkan bibirku saat rasa sesak itu kembali muncul kala ku mengingatnya.
MASA FLASHBACK...
Di hari itu, hari pertama mereka berinteraksi dengan kesan mendalam yang sulit terlupakan.
Untuk pertama kalinya ku melihat sosok ketua osis yang selama ini lebih banyak diam dan memerintah dengan singkat memberikan pukulan pada siswa biasa yang bertindak kurang ajar.
Aku ketakutan, tapi ku coba menepis rasa takut itu agar bisa memberikan kekuatan pada sosok gadis yang berada dalam dekapanku, dengan keadaan tubuhnya yang bergetar ketakutan dan air mata yang tak berhenti mengalir.
"Aku takut_" lirih Nada memejamkan matanya.
Ku tatap sosok pemuda bertubuh tinggi yang menarik kerah pemuda di hadapannya yang baru saja ia pukuli.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENTANG PESAWAT KERTAS [HIATUS]
Teen Fiction"Jodoh itu seperti pesawat kertas. Jatuh di tempat dan waktu yang beda dengan perkiraan kita. Seberusaha apapun kau menerbangkan pesawatmu ke tempat yang kau inginkan, nyatanya pesawat kertas buatanmu hanya akan mengikuti arahan angin" Sesuatu yang...