Bagian 7|| Dia Tak Tahu Namaku

213 25 0
                                    

Setelah menetap di UKS selama beberapa saat, aku memutuskan untuk keluar dan masuk kelas guna mengikuti pelajaran sekaligus mengizinkan Nada yang masih mengeluh pusing.

Sampai di depan perpustakaan, aku melihat Kak Deka tengah membawa sosis siap makan ke suatu tempat.

Tanpa sadar kakiku melangkah mengikuti kemana pemuda itu akan pergi di jam pelajaran. Hingga langkahku terhenti kala melihatnya menghampiri induk kucing bersama dengan satu anaknya di belakang mushola sekolah.

Senyum manisnya yang jarang terlihat itu kini terlihat sangat tulus ketika tangan besarnya yang telah mendapatkan luka bekas cakaran kucing itu mengelus sayang kepala sang induk kucing yang terlihat kurang suka dengan kehadirannya.

Satu hal yang membuatku terpikat. Bahkan di saat tangan itu memiliki beberapa bekas luka, juga tak seputih tangan orang lain. Namun tetap terlihat indah dengan pesonanya sendiri.

Kulitnya tak seputih susu, juga tak sehitam kopi. Terlihat seperti warna kayu pada sebuah pohon, dengan beberapa urat menonjol. Jangan lupakan jemari panjangnya yang kini memberikan belaian lembut pada hewan berbulu itu.

"Jadilah Ibu yang baik. Lihatlah, dua anakmu meninggal karena terus kau ajak bermain. Jangan sampai anak terakhirmu ikut pergi. Saat hujan bersembunyilah di depan gedung sekolah, jangan pergi dan hujan-hujanan," ucapnya ditujukan pada makhluk kecil berkumis di hadapannya.

Aneh... Apakah dia waras? Mengajak bicara hewan yang tak mungkin membalasnya. Jangankan membalas, mengerti saja sepertinya tidak.

"Nah sekarang makanlah!"

Kak Deka memberikan sosis yang ia bawa pada dua kucing di hadapannya. Sungguh! Bagaimana dia terlihat tak masalah dengan luka yang dibuat oleh sang induk, seolah itu tak menyakitkan sama sekali baginya. Padahal jika itu aku, mungkin akan menjauhinya ataupun berlari menjauh begitu melihatnya.

"Aku akan pergi. Besok aku akan datang menemuimu lagi," katanya memberikan elusan terakhir sebelum berdiri.

Melihat Kak Deka beranjak dari tempat duduknya, buru-buru aku pergi dari tempat tersebut sebelum dia menyadari keberadaanku yang memperhatikannya sejak tadi.

"Temannya Nada!"

Sial... Baru saja beberapa langkah, aku mendengar suara seorang memanggilku.

Memejamkan mataku kuat. Tanpa berani berbalik badan, aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahku.

Aku harus bagaimana sekarang??

"Kenapa?" tegurnya kini sudah berada tepat di belakangku.

Meneguk kasar ludahku, ku coba memberanikan diri untuk berbalik dan menatapnya meskipun dengan kaki yang tak bisa diam di tempatnya.

Jemari tanganku saling bertautan, melukai satu sama lain sebelum membentuk kepalan kuat untuk menghentikannya.

"Ah_ iya Kak maaf"

Kak Deka mengangkat satu alisnya bingung. "Kamu mau solat dhuha?"

Mengerjap bingung, aku yang solat wajib terkadang masih bolong ini merasa sangat berdosa jika mengiyakan ucapannya. Namun sungguh! Aku tak memiliki alasan lain saat ini.

Semoga Tuhanku memaafkan kebohonganku.

Mengangguk gugup sebagai jawaban, Aku bisa melihat Kak Deka mengangguk mengerti.

Bagaimana ini hukumnya? Apa aku akan mendapat dosa? Atau justru pahala karena telah melaksanakan sunah untuk menghindar.

"Mau ke mushola? Kenapa tadi balik?"

"Itu_ ada Kak Deka"

Bagus... Alasan yang cukup bagus untuk gadis introvet tak tahu diri sepertiku.

Dengan kepala tertunduk, aku bisa mendengar suara kekehan pelan yang berasal dari sosok di depanku.

"Kenapa kalau ada aku? Tenang aja, gak gigit kok Dek. Lagian tempat solat cowok sama cewek terpisah," katanya tak sedingin sebelumnya.

"Yaudah sana ambil wudhu kalau mau solat, aku juga mau solat ini," ucapnya sebelum pergi.

Dengan ragu aku mengikutinya, tentu saja aku akan berbelok ke tempat wudhu putri setelahnya. Tak mungkin aku mengikuti pria itu sampai ke tempat wudhu pria.

Menghela pelan, ku ambil air wudhu sebelum melaksanakn solat sunah yang bahkan sebelumnya tak pernah ku laksanakan.

Selesai melaksanakan solat, aku keluar dari mushola. Tak langsung kembali ke kelas, karena aku tadi melepas kaus kaki juga sepatuku sebelum melaksanakan sunah yang entah terhitung sebagai pahala atau tidak.

Saat menunduk memakai sepatu, aku merasa seorang duduk tak jauh dariku.

Melirik ke samping, ku dapati sosoknya yang masih dengan wajah berseri dan rambut basahnya tengah menggunakan sepatu. Sama seperti yang ku lakukan sebelumnya.

Rasanya begitu disayangkan jika tidak dipandang. Hingga aku tak sadar jika pemuda itu sudah selesai, sedangkan aku yang memakai pertama kali justru belum menyelesaikannya.

Buru-buru ku tundukkan kembali kepalaku saat dia berdiri.

"Duluan ya," katanya berpamitan padaku sebelum pergi.

Ku sentuh jantungku yang berdetak kencang. Bagaimana mungkin aku begitu menyukai dia yang bahkan tak tahu namaku dan hanya sekedar mengetahuiku sebagai teman dari gadis yang dia sukai.

Rasanya menyesakkan...

Tapi entah kenapa aku bersyukur karena pria yang aku sukai memang pantas untuk itu, meskipun dia tak tahu tentang perasaan ini.

Aku tak akan menyesal pernah menyukainya. Di kemudian hari, belum tentu aku menemukan sosok sepertinya lagi.

Meski begitu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk mencoba mencintai seorang yang akan menjadi pendamping hidupku nanti. Terlepas dari siapapun dia.

___
Cerita yang saya buat semata-mata hanya untuk menghibur dan tidak untuk menyinggung pihak manapun. Maaf jika ada salah yang tidak saya sengaja ataupun tidak saya ketahui.
____

Nyesek banget gak sih di panggil 'temennya Nada' ? Dia aja gak tau nama kamu, bisa-bisanya kamu ngarepin dia

Hah... Ya sudah. Jangan lupa tinggalin jejaknya ya ♡

BENTANG PESAWAT KERTAS [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang