Waktu telah berlalu tanpa suatu yang istimewa. Aku menjalani kehidupan membosankan seperti biasa di usiaku yang hampir kepala tiga.
Untuk wanita seusiaku saat ini tentu saja sering mendapatkan cibiran dari para tetangga tentang pasangan hidup.
Bahkan pernah suatu ketika Ibuku beserta Kakakku mengajakku ke tempat orang ahli agama karena mengira aku diganggu jin sehingga tak segera mendapat pasangan.
Nyatanya tak ada yang salah dengan diriku.
Yang salah adalah persepsi mereka tentang perempuan yang harus segera menikah agar tidak menjadi perawan tua.
Aku yakin jodoh sudah ada yang mengatur. Jika memang tak bertemu jodoh di dunia, maka mungkin jodohku sudah menungguku di akhirat.
Sebelum berangkat bekerja, aku menyempatkan diri memakai minyak wangi pada tubuhku lalu memasukkannya dalam tas untuk berjaga-jaga jika bau tubuhku tak enak saat bekerja dan mengganggu pelanggan atau rekan lain.
Menatap foto di pojok kaca ruanganku, bibirku terangkat saat mengingat kucingku yang meninggal tiga tahun lalu karena memakan tikus yang diracun tetangga.
Saat itu aku sangat sedih. Teman curhat, sekaligus satu-satunya kenangan tentang dia telah pergi meninggalkanku sendirian di saat temanku pun memilih berumah tangga.
Menghela pelan, ku putuskan untuk segera berangkat bekerja sebelum terlambat.
Aku keluar kamar dan menyapa Ibuku yang berada di ruang makan. Menikmati secangkir kopi bersama roti hangat sebagai sarapan.
"Mau berangkat? Makan dulu," katanya ku angguki pelan sebelum mendudukkan diriku.
Ku lihat jam diponsel, masih ada waktu sekitar lima belas menit sebelum ke tempat kerja. Tak ada salahnya aku menyarap terlebih dahulu.
"Rumah besar yang dibangun di lingkungan kita itu ternyata nanti ditempati sama Kakaknya Usman yang punya konveksi besar di desa sebelah. Katanya dia sebelumnya jadi tki di luar negeri, terus sekarang mau pulang. Dia juga beli ladang sawit sama kopi coklat, terus buat minimarket juga di depan," kata Ibuku yang entah mendapat informasi dari mana.
"Yaudah biarin," kataku membalas seadanya.
Selesai menyarap, aku berdiri. Berjalan keluar rumah bersama Ibuku yang mengantarku berangkat kerja.
Hampir sampai aku berjalan menuju tempat kerja, sebuah motor berhenti tepat di sampingku.
Ku tolehkan wajahku, melihat siapa sosok yang menghentikan kendaraannya di sampingku itu.
"Bareng Cha"
"Nggak usah Mas, cuman depan kok," tolakku halus pada atasanku itu.
"Nggapapa, tempat yang dituju sama aja lho"
Aku tersenyum ramah sembari menggeleng pelan sebagai penolakan.
"Maaf Mas," sopanku menolak membuatnya menghela pelan sebelum mengangguk paham dan menjalankan kembali motornya.
Yang barusan bernama Ardian. Dia bekerja di pertamina, tempatku bekerja juga. Bedanya dia dibagian kantor, sedangkan aku di depan melayani langsung para pemilik kendaraan yang kehabisan bahan bakar.
Dia bukan ramah atau baik hati. Aku tau dia mendekatiku. Tapi aku tak menyukai sifatnya.
Tak hanya aku. Beberapa anak pertamina yang sudah keluar karena menikah banyak yang sebelumnya menjalin hubungan dengannya karena termakan godaannya, lalu tak lama diputuskan begitu saja.
Entah bagaimana dia berakhir menggodaku yang masih bertahan diusia hampir tiga puluh tahun disaat seumuranku sudah berumah tangga dan keluar dari pekerjaan.
Menghela pelan, sampai di tempat kerja, aku langsung mengambil tempat untuk melayani pelanggan.
"Harusnya kantor buat peraturan baru nggak sih? Bahaya kalau Mbak Matcha sampai tua kerja di sini perkara dia belum nikah, kan persyaratannya pekerja cewek harus keluar dari tempat kerja kalau udah nikah. Nah ini Mbak Matcha bisa sampai tua di tempat ini. Harusnya peraturannya sekarang berdasar umur, bukan status"
Aku terdiam mendengarkan candaan teman kerja yang enam tahun lebih muda dariku. Candaan yang bagiku tak lucu sama sekali, tapi dia berkata dengan wajah sumringah dibarengi tawa ringan.
Mencoba menutup telinga, ku coba tersenyum hangat menyambut pemilik kendaraan lain yang ingin mengisi minyak.
Sampai kendaraan mobil mewah dan terlihat baru dibeli berhenti di depanku. Aku terdiam, menunggu sang pengemudi membuka kaca jendelanya dan berkata harus ku isi berapa mobilnya yang perlu bahan bakar ini.
Merasa tak kunjung memberi kejelasan, ku beranikan diriku untuk mengetuk pelan kaca jendelanya.
"Maaf, diisi berapa ya?"
Tak membalas atau membuka kaca, pria itu justru keluar dari mobilnya.
"Ah maaf... tolong isi penuh"
Aku mengangguk ragu. Entah kenapa justru pria itu yang terlihat gugup.
Aneh....
Apa ini pertama kalinya dia mengisi bahan bakar? Kenapa harus segugup itu hanya untuk mengatakan tujuannya.
Selesai mengisi, dia memberikan uang dan pergi setelah mengucap terima kasih.
Memiringkan kepalaku, aku merasa pernah melihat wajah itu. Tapi dimana? Ku gelengkan kepalaku pelan, menepis beban yang mengganggu pikiran.
Sampainya jam tujuh malam, waktu kerjaku telah usai.
Jarak dari tempat kerja dan rumah yang dekat membuatku memilih berjalan kaki untuk sampai rumah.
Sampainya aku di depan pekarangan rumah, aku bisa melihat rumah baru yang tak jauh dari rumahku telah ramai mobil penghantar barang-barang berat seperti kursi, lemari, kulkas, mesin cuci, dan lain-lainnya sebagai perlengkapan rumah. Benar kata Ibuku, rumah itu akan segera dihuni.
Menggidikkan bahu tak peduli, ku coba kembali melangkah memasuki rumah.
Tanpa disadari, bahwa sosok yang berada di depan teras rumah itu tengah menatap dalam pada perempuan yang baru masuk rumah.
___
Cerita yang saya buat semata-mata hanya untuk menghibur dan tidak untuk menyinggung pihak manapun. Maaf jika ada salah yang tidak saya sengaja ataupun tidak saya ketahui.
____Huh...
Kayaknya judul cerita ini agak melenceng deh. Awalnya pengen berhenti cuman sampai Deka meninggal. Tapi kok dikit banget dan kurang puas. Makanya saya lanjut sampai permasalahan bener-bener klimaks dan memuaskan untuk Matcha.Gapapa judulnya tetap itu? Atau mau ganti aja apa ya? Menurut kalian gimana?
Oh iya... Saya juga mau bilang.
Untuk part selanjutnya saya mau bikin pakai sudut pandang penulis kayak cerita yang lain, bukan dari sudut pandang Matcha (aku) Karena part selanjutnya gak bakal cuman nyeritain Matcha aja, makanya mau saya ganti sudut pandangnya
___Udah sekian dulu~
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote & komen ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
BENTANG PESAWAT KERTAS [HIATUS]
Ficção Adolescente"Jodoh itu seperti pesawat kertas. Jatuh di tempat dan waktu yang beda dengan perkiraan kita. Seberusaha apapun kau menerbangkan pesawatmu ke tempat yang kau inginkan, nyatanya pesawat kertas buatanmu hanya akan mengikuti arahan angin" Sesuatu yang...