Bab 1: Setelah Kepergianmu

177 12 3
                                    

"Sidang perceraian kita sudah diurus pengacaraku." 

Andra berujar dingin ketika ia mengantar Mei pulang ke rumah orangtuanya. Enam tahun bersama, renjana di hati Andra telah padam. Pria itu memilih mengakhiri pernikahan. Meski Mei tahu, semua karena sekretaris Andra yang diam-diam menyelinap ke dalam kehidupan mereka lalu mencuri Andra.

"Beneran nggak ada jalan lain selain pisah, Mas?" 

Hati Mei seperti balon meletus. Ia menyesal terlalu percaya pada sekretaris Andra sampai tidak sadar jika perempuan itu diam-diam menyimpan bom yang setiap saat bisa meledak. Bom itu meledak setahun lalu. Hanya ledakan kecil dan Mei masih berusaha bersabar dan mencari bukti. 

Lantas, enam bulan lalu ledakan besar terjadi. Mei harus tercabik-cabik mendapati foto, video, juga bukti transfer uang dengan jumlah tidak sedikit ke rekening perempuan itu. 

"Kukira hanya itu jalan satu-satunya. Tidak ada gunanya menjalani pernikahan tanpa cinta." 

Mei menatap ranting pohon mangga yang bergoyang dipeluk angin. Pada akhirnya ia harus berdamai dengan kenyataan kalau Andra memang sudah tidak menginginkannya. 

"Oh, iya, aku minta maaf tidak bisa datang sidang. Aku lagi banyak kerjaan. Rumah mulai di-renov besok pagi. Aku bakal repot banget kalau harus bolak-balik sidang." 

Mendengar kata-kata Andra, Mei teringat ucapan perempuan itu tempo hari. "Aku akan menghapus semua jejakmu di rumah ini, Mbak. Aku harus pastikan semua tentangmu lenyap tak bersisa." 

Ingatan itu membuat dada Mei nyeri. Sangat nyeri sampai ia harus memegangnya sembari menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. 

"Tapi kamu tidak perlu khawatir. Aku akan buat semuanya jadi mudah. Kita tetap bisa  bercerai secepatnya tanpa aku harus datang." 

"Setahuku ada jadwal mediasi, Mas. Kita harus datang.." 

Mei menatap sisi wajah Andra yang menatap lurus ke depan. Sejak tadi pria itu sama sekali tidak menatapnya seolah dirinya adalah hama paling berbahaya yang harus dihindari dan diberantas sampai habis. Ia benar-benar sudah tidak berarti di mata Andra. 

'Kita tidak butuh mediasi," tukas Andra cepat. "Tak ada lagi yang perlu dibicarakan lagi, Mei. Daripada bersama, tapi saling menyakiti, lebih baik kita pisah."

Mei menghela napas. Ia pernah mendengar selebriti mengucapkan kalimat serupa saat berpisah dengan suaminya. Mei mengira lakon itu tidak akan terjadi padanya, ternyata ia pun harus merasakan. 

Sesaat kepala Mei tertunduk. Diusapnya hidung beberapa kali. Sekuat tenaga Mei bertahan agar tidak menangis. Sudah cukup air matanya keluar. Ia tidak ingin lagi mengiba di depan Andra. 

"Oke, kalau itu yang Mas Andra inginkan," ucapnya setelah berhasil mengumpulkan kekuatan.

Bukan, bukan Mei tidak berusaha mempertahankan pernikahan, tetapi usahanya bertepuk sebelah tangan. Mei lelah, lalu memilih menyerah.

"Aku pamit. Setelah ini kita bisa bahagia dengan hidup masing-masing." Andra berdiri. Ia hanya melihat sekilas pada Mei sebelum mengayunkan kaki menuruni beranda rumah menuju mobil. 

Tak lagi ingin merespons ucapan Andra, Mei hanya tersenyum getir. Enteng sekali Andra bicara seolah enam tahun bersama tak berarti apa-apa bagi kehidupan mereka, seolah enam tahun bersama tak memberi bahagia. 

Andra berjalan tanpa menoleh. Beberapa kali kakinya menginjak daun-daun kering yang berjatuhan di tanah hingga menimbulkan bunyi gemeresak. Bersama tiupan angin, mobil Andra menghilang.

"Yo, wis, Nduk. Jodoh kalian hanya sampai di sini. Tidak apa-apa. Diikhlaskan, Nduk." Tangan tua Pak Ahmad, ayah Mei, menyimpan tubuh kurus sang putri dalam pelukan.  Deraan masalah telah menyusutkan berat badan Mei. Dielusnya punggung Mei dan membiarkan putrinya menumpahkan luka hingga membasahi baju Pak Ahmad. "Yang penting kamu tetap husnuzon pada Allah. Semua takdir-Nya pasti baik."

Tidak ada kata yang terucap sebab semua huruf telah tersedot oleh tangis. Mei tidak pernah menggugat Allah. Me hanya merasa menjadi perempuan paling buruk di dunia karena tidak bisa mempertahankan Andra. Apalagi saat satu dua omongan tetangga mampir di telinga Mei.  Beberapa kali ia mendengar mereka mengatakan kalau kepergian Andra karena ia tidak becus mengurus suami. 

Mei hanya merasa dunia tidak adil. Ia korban, tetapi justru jadi pesakitan. Mei marah, sakit, sekaligus juga malu. Ribuan putaran jarum jam dibutuhkan Mei untuk menyembuhkan luka dan kembali mengurus bisnis makanan sehat dan sayur organik yang sempat dialihkan pada kakak iparnya. Atas sarannya pula Mei melanjutkan kuliah dan mengambil program magister agribisnis.

Hari ini, setelah enam tahun berlalu, Mei bersiap ke Yogyakarta. Minggu depan mulai kuliah perdana dan ia memilih datang lebih awal karena masih harus beradaptasi dengan teman serumah juga lingkungan sekitar kampus dan kontrakan. 

Tergesa, Mei menyeret koper. Rangga, adiknya, sedikit terlambat mengantar ke stasiun. Kalau melihat jadwal, ia masih punya waktu sepuluh menit. Meski demikian, Mei tetap merasa agak panik. 

Mei mengayunkan kaki secepat mungkin menuju pemberhentian KRL tujuan Yogyakarta. Penumpang dan pengunjung Stasiun Jebres silih berganti melewati sisi kiri dan kanan Mei. Hari masih pagi, tetapi cuaca sangat panas. Beberapa kali Mei harus mengusap dahi yang berpeluh. 

"Aduh, Maaf, Pak," seru Mei gugup ketika tak sengaja menubruk seorang pria. "Saya nggak sengaja." Mei mengambil buku milik pria itu yang jatuh di dekat kakinya. 

"Nggak apa-apa." Pria berkacamata itu mengambil buku miliknya. "Lain kali hati-hati. Kalau jalan jangan sambil baca wa," lanjutnya. Ia membetulkan topi kemudian meninggalkan Mei yang masih berdiri gugup.

Dorongan salah satu calon penumpang KRL menyadarkan Mei. Ia meneruskan langkah, bergabung dengan pengunjung stasiun yang menyemut di depan pintu gerbong. Mei menarik napas lega ketika akhirnya ia bisa masuk dan duduk dengan nyaman. Kebetulan ia mendapat tempat duduk di samping jendela, tempat yang sangat disukainya jika bepergian dengan kereta. 

Hari Senin, Mei sudah tiba di kampus jam tujuh pagi meski jadwal kuliahnya masih nanti jam sembilan. Ia harus bertemu dosen pembimbing akademik untuk menerima penjelasan roadmap perkuliahan selama dua tahun ke depan dan apa saja yang harus dilakukan agar studinya efektif. 

Mei berhenti di depan ruang rapat Departemen Agribisnis. Dilihatnya arloji, masih ada waktu lima menit sebelum jam tujuh. Mei mengetuk pintu kemudian mendorongnya ke dalam ruangan. 

"Selamat pagi, Pak." Mei berdiri di ambang pintu, memasang senyum sehangat mentari pagi. Namun, lengkung bibir Mei seketika hilang tatkala melihat lelaki yang duduk di balik meja tepat di tengah ruangan. Meski pria itu tengah menunduk, tetapi Mei masih bisa mengenalinya. 

"Selamat pagi." Lelaki berkacamata itu mendongak. "Anda datang tepat waktu. Silakan duduk." Ia melihat jam dinding sekilas lalu tersenyum pada Mei. 

"I-iya, Pak. Terima kasih." Dengan dada berdebar, Mei memilih kursi terjauh. Detik itu, ia berharap menjadi debu paling halus yang tidak bisa dilihat mata. 

"Sepertinya kita pernah ketemu, ya?" Wajah lelaki itu sedikit berkerut. Lalu, selarik senyum terbit di wajahnya. "Anda yang menabrak saya di Stasiun Jebres, kan?" 

Mati aku!   

Menikahi Bujang Karatan (Tamat di Karyakarsa dan KBM App)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang