Quatrième: Cause

4 0 0
                                    

Jam telah menunjukkan pukul 11 malam. Lelaki itu telah tanpa henti mempekerjakan dirinya sendiri selama tujuh jam terakhir. Ia benar-benar serius mengenai olimpiade ini. Olimpiade pertamanya telah menunggu esok hari.

Ethan mengakhiri sesi belajarnya malam itu dengan menegak habis kopi pahit di sebelahnya. Ia berjalan menuju kasur dan membaringkan diri.

"Aku takut mengecewakan ayah dan ibu."

Tatapannya kosong, berbanding terbalik dengan keadaan pikirannya saat ini. "Will I do well? Is this gonna be my first and last?"

Terus menerus mempertanyakan kemampuan dirinya sendiri, Ethan merengkuh bantal di sebelahnya. Ia menangis.

"Sumpah demi Tuhan, aku takut."

Air matanya semakin deras, membasahi bantal di pelukannya. Lelaki itu tak memiliki siapapun di sisinya, hanya ada Tuhan bersamanya.

Malam itu diakhirinya dengan suara tangisan, dengan bantal yang basah kuyup diguyur air matanya. Ethan benar-benar takut.

Esok harinya, pagi-pagi sekali Ethan bangun. Setelah mandi, dirinya segera bersiap untuk berangkat ke sekolah.

"Shaenette, kamu sudah siap?" Lelaki itu memastikan bahwa kawan satu-satunya di olimpiade ini sudah berangkat melalui panggilan video.

"Ini belum ada jam enam, Ethan." Terlihat Shaenette masih berada di atas tempat tidurnya, panggilan video kawannya itu membangunkan tidurnya.

"Lalu? Bukankah kita harus sampai di sekolah jam tujuh?"

"Kita diminta hadir jam tujuh. Lagipula Mr. Billy jarang-jarang menepati janjinya. Kemarin saja janjian jam tujuh, tapi dirinya baru sampai jam setengah delapan. Aku berdebu menunggunya. Kemungkinan aku akan berangkat jam tujuh. Kamu sudah siap?!"

Ethan geleng-geleng mendengarnya, "Baiklah-baiklah. kabari aku kalau kamu akan berangkat, ya. Iya, aku hanya perlu memakai sepatu. Ku rasa aku masih punya waktu untuk belajar. Kamu cepat siap-siap."

"Ya, ya." Shaenette langsung mematikan panggilan video mereka.

Lelaki itu kembali duduk di hadapan meja belajarnya, menghela nafas. "Baiklah, aku akan belajar sampai menerima kabar dari manusia itu."

"Besar sekali tasmu." Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Shaenette ketika akhirnya melihat Ethan di hadapannya.

"Tasmu yang kecil sekali."

"Lagipula aku mau bawa apa? Hanya ponsel, pulpen, dan airpods."

Ethan mengedikkan bahunya, tak peduli dengan perkataan perempuan di hadapannya.

"By the way, Ethan." Lelaki itu menoleh.

"Boleh titip papan jalanku?" Shaenette dengan senyuman menyebalkannya memohon kepada lelaki itu.

Ethan menghela nafas, lalu mengambil papan jalan perempuan di hadapannya. "Baru beberapa detik lalu kamu bertanya kenapa aku membawa tas sebesar ini."

Shaenette hanya tertawa tak bersalah, membuat lelaki di hadapannya ini geleng-geleng kepala dengan tingkahnya.

Rupanya perempuan itu benar. Lihat saja, sekarang pukul tujuh lewat lima belas, dan semua peserta olimpiade sudah tiba di sekolah. Namun Mr. Billy belum terlihat batang hidungnya.

"Selalu saja seperti ini. Untung guru itu sadar diri dan membelikan kita minuman." Aleea, salah satu dari peserta olimpiade hari ini mengeluh.

Beberapa menit kemudian, mulai terdengar suara motor Mr. Billy. Guru itu sudah telat hampir setengah jam, tapi tak terlihat tampang bersalahnya sama sekali.

"Maaf, anak-anak. Saya harus mengurus beberapa hal dulu." Ada-ada saja alasannya.

"Baiklah, sekarang saya akan pesankan kalian mobil untuk menuju ke sana. Aleea, saya percayakan kamu untuk memimpin teman-teman kamu."

"Bagaimana dengan uangnya?" Anak tidak mau rugi.

"Mobilnya sudah saya bayar, kita hanya perlu menunggu. Sekitar tujuh menit lagi."

Ethan sedari tadi sibuk dengan ponselnya, membaca lagi materi yang perlu dipelajari.

"Serius sekali. Ini bukan OSN, santai saja." Shaenette bersandar pada pundak kawan lelakinya, sambil menatap ponselnya.

"Ini olimpiade pertamaku. Tentu saja aku sangat serius dengan kesempatan ini."

"Kamu tidak mau belajar lagi?" Tanya Ethan.

Perempuan itu menghela nafasnya, "Tidak boleh. Kata ibuku, kalau sudah hari kompetisi tidak boleh materi buku lagi. Artinya tidak siap."

Lelaki yang disandari bahunya itu terkekeh pelan, "Benar juga. Tapi aku sangat gugup."

"Kalau sertifikat menangnya bisa dipakai untuk masuk SMA, aku akan belajar lebih serius." Perempuan itu menggoyangkan kakinya.

Ethan geleng-geleng dibuatnya. Ada-ada saja.

"Anak-anak, ayo berangkat. Mobilnya sudah sampai. Lakukan yang terbaik. Saya percaya dengan kemampuan kalian." Ucapan Mr. Billy menyadarkan Shaenette, menarik kepalanya dari pundak kawan lelakinya.

Ethan dan Shaenette duduk tidak jauh dari satu sama lain, membuat keduanya lebih mudah untuk berkomunikasi selama olimpiade berlangsung. Lebih tepatnya, Shaenette yang mengajak Ethan bicara. Dengan kawannya yang duduk di kiri belakangnya, sang perempuan dapat lebih mudah menarik perhatian Ethan. Lagipula, ini bukan olimpiade yang dijaga ketat. Membuat seluruh pesertanya mudah berkomunikasi.

Olimpiade telah dimulai, membuat atmosfer dalam ruangan itu menegang. Namun hal tersebut tidak menghalangi Shaenette dari berbicara pada kawan lelakinya.

Seperti saat ini, saat keduanya sedang sibuk dengan kertas jawaban masing-masing, Shaenette malah menghadapkan wajahnya pada Ethan, menanyakan keadaannya.

"Sialan, soal macam apa ini. Jauh berbeda dengan kisi-kisi." Shaenette terkekeh kecil akibat keluhan Ethan yang merupakan fakta.

"Kamu mengerti soal ini?" Lelaki itu menggeleng sebagai respon.

"Aku juga." Lalu keduanya menahan tawa, waspada takut ketahuan pengawas.

Nyatanya tidak sama sekali. Shaenette seringkali menangkap kawannya itu sedang menatap ke arahnya, dengan ekspresi tidak percaya. Entahlah ia sedang menatap soal di layar atau menatap sang perempuan.

"Aku tidak menyangka akan ada grafik seperti ini. Tidak tertulis di kisi-kisi. Dasar kisi-kisi tak berguna." Shaenette terkekeh kecil dengan tingkah Ethan saat ini.

Begitu saja terus sampai waktu mengerjakan soal selesai. Keduanya keluar ruangan dengan raut wajah kesal. Shaenette masih saja meluapkan kekesalannya pada Ethan, begitupun sebaliknya.

Segala hal yang bisa dikomentari mereka komentari. Mulai dari AC dan kipas angin yang dinyalakan bersamaan di dalam ruangan tadi, dinding yang terlihat sudah berjamur, lantai lapangan yang mengelupas, dan sebagainya.

"Padahal sekolah swasta, tapi kenapa jelek sekali, ya?"

Shaenette tertawa tertahan, "Memang. Ini tangga juga kecil sekali. Sekecil harapanku memenangkan olimpiade tadi."

Ethan tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Sekarang mereka berada di lapangan sekolah tersebut, dengan malas menonton penampilan solo vocal di atas panggung.

Ethan menangkap basah Shaenette memandangi sebuah booth minuman di hadapan mereka. "Beli, sana. Aku tidak tega melihatmu."

Perempuan itu tersenyum menyebalkan, "Belikan."

Lelaki itu menghela nafas lalu benar-benar memberikan selembar uang dua puluh ribu ke tangan Shaenette, "Kembaliannya berikan padaku."

"Kamu mau juga?" Ethan menggeleng.

"Terimakasih, Ethan! You're the best!" Selanjutnya perempuan itu membeli sebotol minuman dari booth yang sedari tadi dipandanginya.

Setelah beberapa saat, perempuan itu kembali menghadap Ethan, memberikan uang kembaliannya.

"Thank you so much, ya." Ujar sang perempuan dengan senyuman manisnya.

Ethan ikut senyum melihatnya, "Sama-sama."

de nouveauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang