Sixième: Two Souls Melted Into One

11 0 0
                                    

Keduanya masih dalam posisi yang sama. Ethan dalam pelukan Shaenette. Perempuan itu memandangi matahari yang terbenam di barat. Tebing yang tempat mereka berada menghadap barat, memudahkan keduanya untuk memandangi matahari terbenam.

Fokus Shaenette buyar ketika mendengar kawan lelakinya terbatuk lagi. Air matanya turun lebih deras.

"Shaenette..."

"Jaga dirimu baik-baik. Aku akan terus menjagamu. Jangan menangisi kepergianku. Tetaplah menjadi Shaenette yang aku dan semua orang kenal. Jangan berubah hanya karena aku tak lagi berada di sisimu..."

Perempuan itu menyeka air matanya sendiri, "Baiklah."

Ethan tersenyum, "Aku sangat senang dapat mengenalmu. Bilang pada Tuhanmu, aku sangat berterimakasih sudah diberi kesempatan untuk dekat denganmu."

Shaenette hanya dapat mengangguk mendengarnya.

"Aku pergi. Goodbye."

Dua puluh lima Maret dua ribu dua puluh tiga, pukul tujuh belas lewat lima puluh lima, Ethan menghembuskan nafas terakhirnya dalam pelukan Shaenette.

Perempuan itu membawa tubuh yang sudah tidak bernafas itu lebih dalam ke pelukannya, dengan lembut mengelus rambutnya.

"Terimakasih."

"Tunggu aku di keabadian, ya?"

Shaenette menghabiskan sisa malam itu dengan merokok dan menangis, sembari memandangi taburan bintang di langit malam.

Dirinya tersenyum ketika melihat setitik yang lebih terang di langit, "Ethan Lee. Aku sangat, sangat menyayangimu."

Tubuh kawannya yang sudah tidak berfungsi itu tidak membuatnya takut sama sekali, ia memilih untuk tetap memeluk tubuh itu sepanjang malam.

Shaenette terbangun di dalam ruangan bernuansa putih. Kamar rumah sakit. Hal pertama yang ia cari adalah Ethan, namun ia terlihat menjadi satu-satunya pasien di dalam ruangan itu. Ibunya berada di sana dengan seorang dokter dan suster, berbincang.

Ibunya berlari memeluknya sambil menangis, "Astaga, nak. Ibu mencarimu kesana kemari tadi malam."

"Ethan dimana?" Mulut Shaenette terasa sangat sakit, kepalanya juga sangat pusing.

"Ethan Lee, ia telah meninggal dunia." Terdengar dang dokter yang berbicara.

"Tadi malam ibumu menemukan kalian di sebuah tebing dan melarikan kalian ke rumah sakit. Dari kondisinya saat itu, Ethan Lee sudah meninggal dunia sekitar enam sampai delapan jam sebelum ditemukan."

"Kami ditemukan jam?"

"Tiga dini hari. Apakah kamu tahu mengenai ratusan goresan di sekujur tubuhnya, puluhan lebam, dan tetesan darah kering?"

Perempuan itu mengangguk, gesturnya meminta kertas dan pulpen.

Sang suster dengan cepat memberikannya pada Shaenette, dirinya terlihat menuliskan sesuatu yang panjang.

Luka goresan dan darah kering adalah hasil Ethan menyakiti dirinya sendiri. Lebam karena dipukuli orang tuanya.

"Terimakasih. Tubuh Ethan Lee akan segera kami kirimkan ke rumah duka." Sang dokter hendak meninggalkan Shaenette bersama ibunya, sebelum tangannya ditarik oleh perempuan itu.

Ia memberikan kertas yang sama. What's the cause of his death? I'm curious.

"Dari luka-luka yang ditemukan, dugaan kami adalah bunuh diri."

Shaenette tersenyum, menundukkan kepalanya sebagai gestur terimakasih. Bibir dan lidahnya masih sakit untuk digunakan bicara.


Pemakaman Ethan diadakan sore harinya. Perempuan itu datang menggunakan kursi rodanya dan busana serba putih.

Ia senang karena kawannya itu akhirnya bisa lepas dari segala beban kehidupan yang selama ini ia rasakan. Namun, ia juga sedih karena seseorang yang berjanji akan pergi bersamanya itu malah pergi lebih dulu. Menghadapkan diri pada Tuhannya.

"Maaf telah kehilangannya, Shae." Ia mendengar Najzellya berkata.

Berita kematian Ethan dengan cepat menyebar di sekolah, maka dari itu tak heran jika terlihat beberapa orang-orang dari sekolah yang datang.

Acara pemakaman berjalan lancar. Setelahnya, perempuan itu meminta untuk tetap di samping tempat peristirahatan terakhir kawannya untuk beberapa jam berikutnya.

Seluruh tamu undangan sudah kembali ke rumah masing-masing, sementara itu Shaenette dan Najzellya masih berada di samping makam Ethan.

"Ethan, kamu pergi cepat sekali. Aku bahkan tidak dapat menyatakan cintaku dengan benar sebelum kamu pergi. Maafkan aku, aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku juga tidak bisa mencegahmu pergi. Luka yang kamu alami selama di dunia terlalu berat. Aku kira kita akan meninggalkan dunia ini bersama, nyatanya kamu meninggalkan aku sendiri."

Shaenette berkata seperti itu dalam hatinya, bibirnya masih terlalu sakit. Air matanya terus saja mengalir deras, namun tak terdengar isakan dari perempuan itu.

Tak lama, ia mendengar Ethan membalasnya, "Halo Shaenette. Terimakasih telah membiarkanku pergi. Jangan takut, aku masih akan menjagamu. Aku akan selalu ada disampingmu. I loved you too much to let you suffer all alone in this world. I'm sorry that I realized it late. But I love you, Shae."

"I love you too, Ethan. I hope you finally feel the happiness you've always hoped for, ya. Please wait for me."

"I told you, Shae. Do not come after me. I'm not going anywhere, kok. I'm still here. I will still be in your heart. Don't cry over this. You don't deserve me."

Shaenette dengan keras menggelengkan kepalanya. Najzellya yang berada di sebelahnya namun tidak dapat mendengar percakapan keduanya itu hanya mampu mengelus punggung kawannya dan memeluknya.

"You're everything I've ever wanted."

"Thank you, my dear."

Perempuan itu turun dari kursi rodanya, berjongkok di sebelah nisan kawannya. Ia memeluk nisan itu dengan erat. Air matanya terus saja mengalir. Nazjellya masih terus mengelus punggungnya dengan lembut.

"Sudah?" Tanya Najzellya setelah beberapa menit Shaenette memeluk nisan Ethan.

Shaenette mengangguk, lalu kawannya itu membantunya untuk kembali duduk di kursi rodanya. Mereka akan kembali ke rumah sakit.

de nouveauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang